Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Nabi Mewariskan Khilafah ‘Ala Minhaj Nubuwwah


Seorang tokoh agama yang dikenal dekat dengan kekuasaan, baru-baru ini mengeluarkan komentar sinis mengenai konsep Negara Islam. Katanya "Nabi Muhammad tidak pernah mendeklarasikan negara Islam. Melainkan civilization. Itu 15 abad yang lalu.” Ia pun tidak sepakat adanya upaya menjadikan Indonesia sebagai negara Islam. Menurutnya, Nabi Muhammad Saw tidak pernah menganjurkan berdirinya negara Islam. Hal ini ia sampaikan ketika mengisi tausiyah kader partai tertentu di Komplek Makam Bung Karno, Senin (5/6/2017).

Padahal belum lama ini, tokoh tersebut baru saja diprotes keras umat Islam, akibat tudingannya yang menyebut masjid-masjid kampus, termasuk Salman ITB sebagai sarang radikalisme, serta pernyataan bahwa menonton film porno lebih baik dari pada mendengar ceramah provokatif. Dengan rentetan kejadian ini, kepercayaan publik terhadap keulamaannya jelas semakin luntur.

Terlepas dari beragam kontroversi yang dibuatnya, penulis akan fokus mengkritisi pendapat yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad Saw tidak mengajarkan atau mempraktekan konsep Negara Islam. Kritik terhadap pendapat tersebut menjadi penting, sebab hari ini demonologi dan monsterisasi ide Negara Islam semakin marak pasca niatan pemerintah membubarkan HTI. Kalau tidak dikonter hal seperti ini akan meletupkan Islamophobia dan tentu sangat merugikan umat Islam di Indonesia.

Padahal apa yang salah dengan gagasan Negara Islam? Apakah Negara Islam adalah negara komunisme? Apakah Negara Islam adalah negara yang akan menyuburkan korupsi? Apakah Negara Islam adalah negara yang suka menjual kekayaan alam negerinya ke Asing? Apakah Negara Islam adalah negara yang suka menyengsarakan rakyatnya dengan menaikan Pajak, BBM, TDL, dan beragam kebutuhan pokok rakyat? Apakah Negara Islam adalah negara yang doyan utang luar negeri sampai ribuan triliun? Faktanya kan tidak, sebab Negara Islam baru sebatas gagasan, yang mana diyakini oleh umat Islam, gagasan ini adalah gagasan yang baik, yakni negara yang menerapkan syariah Islam yang rahmatan lil ‘alamin.

Berbicara mengenai Negara Islam, kita mesti paham, bahwa Islam menolak keras ide sekularisme, pemisahan agama dari kehidupan, yang pada gilirannya memisahkan agama dari negara dan kekuasaan. Nah, Islam tidak mengakui prinsip sekularisme ini. Sebab Islam adalah ideologi (mabda’) yang mampu mengatur seluruh aspek kehidupan.

Maka wajar jika Imam al-Ghazali secara tegas mengatakan, “Agama dan kekuasaan adalah dua saudara kembar. Agama adalah pondasi, dan kekuasaan adalah penjaga. Sesuatu tanpa pondasi pasti akan runtuh, dan sesuatu tanpa penjaga, pasti akan hilang.” (al-Iqtishȃd fi al-I’tiqȃd, 2004, h. 128).

Karena itu, pendapat yang menyatakan bahwa Nabi Saw tidak mendeklarasikan negara Islam, sebetulnya pendapat lemah dan ngawur. Sebab bertentangan dengan filosofi Islam itu sendiri yang tidak memisahkan antara agama dan negara. Bahkan dari aspek Sirah Nabawi sendiri, Nabi Muhammad Saw pasca hijrah ke Madinah, dengan sangat jelas mengatur dan mendeklarasikan sebuah negara. Buktinya bisa dijabarkan dalam beberapa hal berikut:

Pertama, memberlakukan Piagam Madinah, yang kala itu berposisi sebagai konstitusi negara, sebab memuat berbagai pasal mengenai kebijakan pengaturan kehidupan masyarakat di Madinah yang plural. Meskipun begitu, konstitusi ini tidak berlandaskan ide Pluralisme sedikitpun, tetapi konstitusi ini berlandaskan Akidah Islam. Karenanya, dalam konstitusi disebut secara jelas:

“Setiap kasus atau perselisihan yang terjadi di antara para pihak dalam dokumen ini, yang dikhawatirkan akan menimbulkan kerusakan, maka tempat kembalinya (keputusan akhir) adalah Allah dan Muhammad, Rasulullah.” (Sȋrah Ibn Hisyȃm, I/504).

Kedua, membangun struktur Negara Islam, dengan mengangkat beberapa Sahabat menduduki posisi-posisi strategis urusan kenegaraan:

1) Wakil kepala negara (mu’awin), dijabat Abu Bakar ra dan Umar bin Khattab ra (HR. At-Tirmidzi, 3613; Al-Hakim, 3002);

2) Sekretaris negara (amir as-sirr), dijabat Hudzaifah bin al-Yaman ra sang pemegang hampir semua rahasia dan kebijakan negara, serta stempel/cap negara;

3) Majlis syura (majlis umat), tempat kepala negara bermusyawarah membahas masalah politik dan kenegaraan, terdiri dari empat belas Sahabat atau lebih, dari kalangan Muhajirin dan Anshar, yakni: Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Hamzah, Ibnu Mas’ud, Abu Dzar, Bilal, Sa’ad bin Ubadah, Mu’adz bin Jabal, Abdurrahman bin Auf, Abu Ubaidah, Ubay bin Khalaf, dan Zaid bin Tsabit;

4) Badan peradilan (Qadha), menangani berbagai kasus yang diputuskan berdasarkan hukum Islam, diantara Sahabat yang menjadi hakim (Qadhi): Umar, Ali, Abdullah bin Mas’ud, Ubay bin Ka’ab, Za’id bin Tsabit, dan Abu Musa al-Asy’ari. (A. Fuad, Penjelasan Kitab Daulah Islam, 2016, h. 88-89);

5) Penguasa daerah (wali), yang kala itu terdiri dari beberapa wilayah: ‘Attab bin Asid sebagai Wali Makkah; Badzan bin Sasan, Wali Yaman-Shana’a; Utsman bin Abu al-’Ash, Wali Thaif; ‘Ala’ bin al-Hadhrami, Wali Bahrain; ‘Amru bin Hazm al-Anshari, Wali Najran; ‘Amru bin Sa’id bin al-Ash, Wali Wadi al-Qura; Yazid bin Abiy Sufyan, Wali Taima’; Farwah bin Musaik, Wali Murad, Zabid dan Madhij; Abi Rabi’ah al-Makhzumi, Wali Yaman. (Al-Kattani, At-Taratib al-Idâriyah, I/211-215);

6) Bidang administrasi, yang ditandai dengan pengangkatan juru tulis, semisal: Mu’aiqib bin Abi Fatimah, pencatatan Ghanimah; Ali bin Abi Thalib, juru tulis perjanjian antar negara; Zubair bin Awwam, pencatatan keuangan bidang zakat; Mughirah bin Syu’bah, pencatatan simpan pinjam dan muamalah; menurut Dr. Mustafa al-A’dzami, dalam Kuttab an-Nabi, pada masa Rasul Saw ada sekitar enam puluh satu (61) juru tulis administrasi;

Ketiga, melakukan aktivitas militer, dengan membagi angkatan bersenjata menjadi beberapa induk pasukan tempur (sariyyah) yang masing-masing dipimpin seorang komandan. Ketika Nabi wafat terdapat 30.000 personel angkatan darat dan 6.000 pasukan berkuda. Untuk menjaga keamanan masyarakat, beliau membentuk semacam polisi kota (Syurthah). Beliau pernah mengangkat Qais bin Sa’ad menjabat kepala polisi kota (HR. Al-Bukhari, 6622).

Dalam konteks aktivitas militer, Rasul Saw pernah mengirim Hamzah bin Abdul Muthallib, ‘Ubaidah bin al-Harits dan Sa’ad bin Abi Waqash dalam berbagai ekspedisi militer untuk memerangi Quraisy. Beliau pun mengirim Zaid bin Haritsah, Ja’far bin Abi Thalib dan ‘Abdullah bin Rawahah untuk memerangi pasukan Romawi. Beliau mengutus Abdurrahman bin ‘Auf untuk memerangi Dumatul Jandal dan mengutus ‘Ali bin Abi Thalib beserta Basyir bin Sa’ad ke daerah Fadak. Selanjutnya Rasul Saw mengutus Abu Salamah bin ‘Abdul Asad ke Qathna di Najd, mengutus Zaid bin Haritsah ke Bani Sulaim lalu ke Judzam kemudian ke Bani Fazarah di Lembah Qura terakhir ke Madyan, mengutus ‘Amru bin Al ‘Ash ke Dzatus Salasil di wilayah Bani ‘Udzrah dan mengutus yang lainnya ke berbagai daerah. Beliau sering memimpin sendiri pasukan dalam berbagai peperangan terutama perang yang sangat besar. (An-Nabhani, ad-Daulah al-Islȃmiyah, 2002, h. 123).

Keempat, melakukan berbagai hubungan luar negeri dengan sejumlah negara dan institusi yang lain. Rasulullah mengutus Utsman bin Affan untuk berunding dengan kaum Quraisy, sebagaimana beliau juga berunding langsung dengan delegasi kaum Quraisy. Beliau pun mengirim sejumlah utusan kepada para raja, sebagaimana beliau juga pernah menerima utusan dari para raja dan pemimpin negara.

Dalam sirah nabawi, disebutkan beliau pernah mengirimkan utusan ke Heraklius, Kisra, Muqauqis, al-Harits al-Ghassaani Raja Hirah, al-Harits al-Himyari Raja Yaman, Raja Najasyi di Habsyi, Kerajaan ‘Amman, Kerajaan Yamamah dan Raja Bahrain. Beliau mengajak mereka masuk Islam, maka para sahabatnya memenuhi permintaan beliau. Kemudian beliau membuat stempel yang terbuat dari perak yang terukir padanya: “Muhammad Rasul”. Dengan surat yang dibawa para utusan ini, beliau mengajak para raja tersebut masuk Islam.

Surat untuk Heraklius, beliau serahkan kepada Dihyah bin Khalifah al-Kalbi, untuk Kisra diserahkan kepada ‘Abdullah bin Hudzafah as-Sahmi, untuk Najasyi diberikan kepada ‘Amru bin Umayyah al-Dhamri, untuk Muqauqis dikirimkan melalui Hathib bin Abu Balta’ah, untuk Raja ‘Amman diberikan kepada ‘Amru bin al-‘Ash as-Sahmi, untuk Raja Yamamah diberikan kepada Sulaith bin ‘Amru, untuk Raja Bahrain diberikan kepada al-’Alla’ bin al-Hadhrami, untuk al-Harits al-Ghassaani, Raja di perbatasan Syam, diberikan kepada Syuja’ bin Wahab al-Asadi dan untuk al-Harits al-Himyari, raja Yaman, kepada al-Muhajir bin Abi Umayyah al-Makhzumi. (Ibid, h. 96-97).

Dari empat hal diatas: pemberlakuan konstitusi madinah, pembentukan struktur negara, aktivitas dan mobilisasi militer, dan pengiriman utusan mengajak para penguasa diluar Madinah masuk Islam; merupakan bukti nyata sebuah deklarasi terbuka, bahwa Madinah adalah sebuah negara berdaulat dan Rasul sebagai kepala negara yang melaksanakan aktivitas kenegaraan.

Umat Islam Wajib Menegakkan Khilafah ‘ala Minhaj Nubuwah

Setelah Rasulullah Saw wafat, negara Islam ini dipimpin oleh para Sahabat Rasulullah Saw. Daulah Islam (negara Islam) yang ditegakkan oleh para Sahabat bernama Negara Khilafah, yang didefinisikan sebagai kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin di dunia untuk menegakkan hukum-hukum syariah Islam dan mengemban dakwah Islam ke segenap penjuru dunia. Dalam sistem ini seorang Khalifah (kepala negara) diangkat melalui baiat berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya untuk memerintah sesuai wahyu yang Allah turunkan. Inilah sistem pemerintahan yang diwariskan oleh Rasulullah Saw kepada umat Islam melalui pembacaan terhadap aktivitas para Sahabat dalam menjalankan aktivitas kenegaraan.

Rasulullah Saw bersabda (artinya): “Dulu Bani Israel diurus (dipimpin) oleh para nabi. Jika seorang nabi wafat, maka digantikan nabi yang lain. Dan sungguh setelah aku (Muhammad Saw) tiada lagi nabi, namun akan ada para Khalifah, yang berjumlah banyak. Para sahabat bertanya: ‘Lalu apa yang engkau perintahkan kepada kami?’ Nabi bersabda: ‘Penuhilah baiat yang pertama dan yang pertama, berikanlah kepada mereka hak mereka, dan sesungguhnya Allah akan meminta pertanggung-jawaban mereka atas apa saja yang mereka urus.” (HR. Al-Bukhari, 3196; Muslim, 3429)

Berdasarkan aktivitas kenegaraan yang dilakukan para Sahabat, Khilafah sejatinya memiliki ciri khas yang menunjukan bahwa ia merupakan sistem pemerintahan Islam, yang berbeda dari yang lain, yakni: 1) Kedaulatan ditangan syariah (as-siyâdah li as-syar’i), yang berhak mengatur manusia hanyalah Syariah Islam, bukan hukum yang lain; 2) Menetapkan kekuasaan ada di tangan umat (as-sulthân li al-ummah), umatlah yang berhak memilih pemimpin yang dikehendakinya untuk menjalankan kekuasaan berdasarkan syariah Islam; 3) Mengangkat satu orang Khalifah adalah wajib bagi seluruh kaum muslimin, sehingga umat bersatu; Dan 4) Khalifah mempunyai kewenangan melegislasikan hukum syara’ menjadi undang-undang yang berlaku umum dan bersifat mengikat.

Karena itu para ulama sampai pada suatu kesimpulan bahwa Khilafah adalah kewajiban dan ma‘lûm min ad-dîn bi ad-dharûrah (sudah diyakini sebagai ajaran agama yang urgen).

Imam al-Mawardi (w. 1058 M) menyatakan: “Mengangkat Imamah (Khilafah) di tengah-tengah umat adalah wajib berdasarkan ijma’ sahabat...” (Al-Ahkâm as-Sulthâniyyah, h. 5). Wahbah az-Zuhaili (w. 2015) pun menyatakan: “Mayoritas ulama Islam yaitu ulama Ahlus Sunnah, Murjiah, Syiah dan Mu’tazilah (kecuali segelintir dari mereka) dan Khawarij (kecuali sekte an-Najdat) berpendapat bahwa Imamah (Khilafah) adalah perkara yang wajib atau suatu kefardhuan yang pasti.” (Al-Fiqh al-Islâmi wa Adillatuhu, 8/272).

Berdasarkan itu semua, umat Islam wajib meneladani cara Rasul Saw dalam bernegara, sebagaimana juga mengikuti langkah para Sahabat dalam menjalankan negara Khilafah Rasyidah. Umat Islam tidak diminta mengikuti selain itu, apalagi menerapkan negara demokrasi warisan Yunani kuno melalui Pilpres yang dikendalikan para Kapitalis.

Namun umat hanya wajib menjalankan Khilafah ‘ala Minhaj Nubuwah, sebuah negara yang menerapkan ajaran Islam dalam seluruh aspek kehidupan, dengan mengikuti tuntunan kenabian dan teladan para Sahabat Khulafa ar-Rasyidin. Dan Khilafah ‘ala Minhaj Nubuwah ini kelak akan kembali tegak dengan izin dan pertolongan Allah Swt. “Tsumma takûnu Khilȃfah ‘ala minhȃj an-nubuwwah (Selanjutnya akan muncul kembali masa kekhilafahan yang mengikuti tuntunan kenabian).” (HR. Ahmad, 17680). Wallahu a’lam. [VM]

Penulis : Yan S. Prasetiadi, M.Ag (Dosen dan Penulis)

Posting Komentar untuk "Nabi Mewariskan Khilafah ‘Ala Minhaj Nubuwwah"

close