Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Tes Corona Mahal, Nyawa Rakyat Jadi Tumbal


Oleh: Ragil Rahayu, SE

Bayi mungil menggemaskan itu akhirnya meninggal sebelum sempat menatap wajah sang ibunda. Ervina Yana, sang ibu tentu amat terpukul karena kehilangan sang buah hati yang telah dikandung selama sembilan bulan. Warga Makassar, Sulawesi Selatan ini kehilangan bayinya karena tindakan operasi kelahiran yang telat akibat dia harus menjalani proses pemeriksaan Covid-19. Ervina ditolak tiga rumah sakit karena biaya rapid dan swab testnya tidak ada yang menanggung. Sehingga di RS terakhir, anak dalam kandungannya meninggal. 

Sebagaimana diberitakan bbcindonesia (15/6/2020), Ervina merupakan peserta BPJS penerima bantuan iuran (PBI) dan rutin melakukan pemeriksaan di puskesmas. Dia harus melakukan operasi kehamilan karena punya riwayat diabetes mellitus dan bayinya cukup besar sehingga riskan melalui persalinan normal. Namun, Ervina ditolak dengan alasan RS tidak memiliki alat operasi kelahiran lengkap dan alat uji tes virus corona. Lalu Ervina menuju ke RS swasta lainnya dengan kondisi hamil tua dan kembali ditolak dengan alasan yang hampir sama. 

Ervina pun kembali mengunjungi RS swasta lainnya dan menjalani rapid test dengan membayar Rp600.000. Hasilnya, reaktif atau positif virus corona dan kemudian disarankan menjalani swab test dengan biaya sekitar Rp2,4 juta. Namun pasien tidak sanggup bayar tes yang mahal itu lalu keluarga membawa ke RS lainnya. Saat dicek bayinya sudah meninggal.

Komersialisasi Wabah

Kasus Ervina merupakan sebuah pukulan bagi dunia kesehatan di Indonesia. Ibu hamil seharusnya mendapatkan prioritas dalam pelayanan kesehatan. Bahkan dalam transportasi umum saja ibu hamil mendapatkan tempat khusus. Namun, yang terjadi saat ini ibu hamil justru tidak mendapatkan layanan kesehatan hingga kehilangan bayi hanya karena persoalan biaya. 

Kesehatan merupakan layanan dasar yang harus disediakan negara bagi rakyatnya. Namun kini kesehatan dikomersialisasi. Bagi yang punya uang bisa melakukan tes. Sedangkan yang miskin silakan mundur teratur. Kesehatan akhirnya jadi barang mahal nan tak terjangkau. Jangankan bagi orang miskin, bagi kalangan menengah saja biaya swab test terasa sangat menguras kantong. Karena kantong rakyat sudah banyak terkuras di masa pandemi yang kini menjadi resesi ekonomi. 

Mahalnya rapid dan swab test dikarenakan tidak ditanggung oleh negara. Asosiasi Rumah Sakit Swasta menjelaskan bahwa adanya biaya tes virus corona karena pihak RS harus membeli alat uji dan reagent sendiri, dan juga membayar tenaga kesehatan yang terlibat dalam uji tersebut. 

Biaya rapid test mulai dari Rp200.000 hingga Rp500.000, sementara untuk swab test (alat PCR) antara Rp1,5 juta hingga Rp2,5 juta, belum termasuk biaya-biaya lain. Padahal masa berlaku rapid test hanya tiga hari, dan swab test tujuh hari. Setelah itu, hasil tes sudah tidak berlaku dan harus tes ulang. Artinya rakyat harus merogoh kocek lagi. 

Negara bertanggungjawab untuk mengadakan tes corona secara massif pada rakyat. Langkah ini penting untuk memisahkan orang sakit dari yang sehat. Sehingga memutus rantai penularan virus. Namun biaya tes corona sangat mahal karena serba impor. Indonesia belum memiliki kit reagen produksi dalam negeri. 

Direktur Lembaga Biologi Molekuler Eijkman (LBME) Prof Amin Soebandrio, pada detik.com (23/4/2020) menyampaikan bahwa sebagian besar kit reagen masih impor. BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi) dan LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) memang sudah mencoba membuat kit reagen atau kumpulan dari beberapa reagen. Tapi sebagian besar reagennya, atau bahan bakunya masih impor juga. 

Selain itu, mahalnya tes corona disinyalir karena pemerintah tidak menetapkan harga eceran tertinggi (HET). Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menjelaskan pihaknya menerima banyak laporan dari masyarakat tentang mahalnya harga tes seperti rapid test, PCR, dan swab. YLKI meminta pemerintah menetapkan HET sehingga konsumen tidak menjadi obyek pemerasan dari oknum dan lembaga kesehatan tertentu dengan mahalnya rapid test. 

Inilah kondisi ketika negara berlepastangan dari tugasnya sebagai pengurus rakyat. Akhirnya rakyat harus pontang-panting sendiri demi memperoleh layanan kesehatan berupa tes corona. Inilah susahnya hidup di negara kapitalis, semua serba bayar dan serba mahal. Sungguh berkebalikan dengan sistem Islam. 

Khilafah Menanggung Biaya Kesehatan Rakyat 

Jaminan sistem kesehatan dalam Islam melibatkan peran individu, keluarga, masyarakat dan negara. Individu dan masyarakat menjalankan gaya hidup bersih dan sehat sehingga terhindar dari penyakit. Individu yang mampu bisa bersedekah membantu orang yang membutuhkan. Masyarakat saling menasihati untuk menjaga protokol kesehatan di masa wabah. 

Jika kemampuan masyarakat ini tak sanggup lagi mengatasinya, kewajibannya beralih ke negara.  Negara memobiliasi anggaran dari harta milik umat, bahkan bisa menggalang donasi dari bagian masyarakat yang lain yang berlebih. Termasuk tugas Negara adalah menyelenggarakan tindakan medis preventif seperti vaksinasi, dan tindakan kuratif dengan sains dan teknologi terkini.

Khilafah tidak ambil untung dalam melayani warganya.  Dalam kondisi darurat wabah, Negara bisa menggerakkan semua kemampuan negara, semisal industri berat untuk membuat APD, ventilator, alat rapid dan swab test atau alat medis lainnya secara massal.  

Anggaran yang semula masuk kategori “sunah” bagi negara, atau bahkan “fardhu” namun tidak mendesak, bisa diubah prioritasnya di bawah ri'ayah kepada rakyat terdampak wabah. Bahkan bila uang yang dimiliki masih belum cukup, Negara bisa meminjam kepada warga yang kaya (aghniya'). Negara bisa mengumpulkan sedekah atau bahkan pajak sementara, untuk bersama-sama menyelamatkan rakyat yang terdampak wabah. 

Kasus kematian bayi dalam kandungan akibat terlambat penanganan tidak akan terjadi dalam khilafah. Karena khilafah adalah negara yang berwatak melayani rakyatnya, bukan berwatak pedagang yang mencari untung. Sementara penguasa saat ini tidak memposisikan dirinya sebagai pelaksana urusan umat. Penguasa membiarkan swasta yang mengambilalih tugas negara. Akibatnya, kesehatan menjadi mahal. Sistem Islam adalah jawaban bagi mahalnya tes corona. Semoga kebaikan sistem ini makin dipahami oleh umat. Esok, semoga rakyat berduyun-duyun mendukung sistem Islam yang melindungi nyawa manusia dengan sepenuh jiwa. Wallahu a'lam bishshawab(*)

Posting Komentar untuk "Tes Corona Mahal, Nyawa Rakyat Jadi Tumbal"

close