Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Negeri Pajak atau Negeri Palak?



Oleh: Abu Mush'ab Al Fatih Bala (Penulis Nasional dan Pemerhati Politik Asal NTT)

Negeri yang kuat adalah negeri yang bebas dari utang dan pajak. Semakin banyak utang dan pajak semakin kuruslah kekuatan negeri tersebut.

Apalagi bila ditambah dengan penyedotan SDA yang seharusnya milik rakyat malah dibawa ke luar negeri. Ibarat manusia yang hartanya dirampok orang sedangkan dirinya harus kerja keras membanting tulang untuk membayar sewa rumah.

Pola pikir penguasa harusnya seperti seorang Ayah yang melindungi istri dan mengasuh anak-anaknya. Ayah harusnya khawatir jika meninggalkan istri dan anak-anak dalam keadaan lemah dan miskin melarat.

Ayah harusnya mencegah harta keluarga dirampok orang asing. Ayah harus mengelola hartanya dan berbisnis agar harta keluarga berkembang dan keuntungannya untuk menghidupi keluarga.

Uangnya bisa dipakai untuk tabungan pendidikan keluarga, biaya kesehatan dan investasi bisnis lainnya. Keuntungannya juga bisa dipakai untuk melunasi utang rumah tangga. 

Begitu juga dengan sebuah negara, SDA harusnya tidak diserahkan ke asing, agar keuntungannya bisa dinikmati oleh seluruh rakyat dalam bentuk pendidikan, kesehatan dan keamanan gratis.

Bukan dengan membebani rakyatnya dengan berbagai macam utang dan pajak. Hubungan penguasa dengan rakyat bukan hubungan pebisnis dan customer.

Pajak bukan lahan bisnis. Dimana semua hal ingin dijadikan komoditas pajak. Rakyat sudah letih menghadapi beban hidup karena pandemi, seperti PHK dan kenaikan harga barang, ditambah lagi berbagai macam pajak.

Mulai dari pajak penghasilan, pertambahan nilai, penjualan atas barang mewah, bea materai, pajak bumi dan bangunan. Belum ditambah lagi dengan wacana akan ada pajak bagi pesepeda. 

Rakyat tentunya tambah pusing, bukan karena pajak saja tetapi juga pusing memikirkan cara melunasi utang (bagi yang berutang). Dan mereka juga pusing bagaimana membayar biaya asuransi kesehatan dan biaya pendidikan bagi anggota keluarganya yang semakin mahal.

Rakyat ingin bebas pajak dan utang. Rakyat ingin negara maju dan bebas dari dugaan banyaknya pemalakan. Cuma bagaimana caranya?

Dalam Islam jelas ada solusinya. Islam mengharamkan pajak ketika jenis usaha halal lainnya bisa dilakukan. Misalnya dengan mengambil alih SDA dan menggiatkan sektor perdagangan. Dengan demikian pajak bisa dihindari.

Islam juga menutup peluang untuk berutang dengan cara riba. Utang ribawi sangat susah dilunasi dan sering menjadi cara bagi negara pengutang untuk menindas dan mengendalikan negara yang berutang. 

Inilah kuncinya mengapa ketika suatu negara menerapkan Islam, penduduknya makmur tanpa utang dan pajak. Rakyatnya berlomba-lomba dalam berinfaq seperti masa Khilafah Islam dulu, dimana orang-orang kaya melimpah dan berwakaf Masjid, Pesantren dan Observatorium Bintang. Bahkan Benua Afrika menjadi benua kaya yang disana tidak dijumpai orang miskin yang berhak menerima zakat.

Semoga masyarakat dan negeri-negeri kaum Muslimin terhindar dari pola pikir kapitalis. Dan terhindar dari jebakan-jebakan pajak dan utang. []

Bumi Allah SWT, 2 Juli 2020


Posting Komentar untuk "Negeri Pajak atau Negeri Palak?"

close