Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Prof. Fahmi Amhar: RUU Omnibus Law tidak Layak secara Akademis dan Berbahaya terhadap Konstitusional

 


Jakarta, Visi MuslimProfesor Riset dan Intelektual Muslim Prof. Dr.-Ing. Fahmi Amhar menyatakan RUU Omnibus Law tidak layak secara akademis dan berbahaya terhadap konstitusional. “Jadi secara kesimpulan saya ingin mengatakan bahwa RUU Omnibus Law Cipta Kerja ini tidak layak secara akademis dan berbahaya terhadap konstitusional,” ucapnya dalam Live Event:Menimbang Dampak UU Omnibus Law, Sabtu (10/10/ 2020) di kanal YouTube Forum Doktor Peduli Bangsa.

Menurut Fahmi, pembuatan UU Cipta Kerja tersebut tidak memperhitungkan semua resiko, misalnya resiko kesehatan, resiko keamanan, lingkungan, resiko moral dan budaya dan sebagainya. “Jadi pokoknya mengharapkan investasi cepat masuk resikonya nanti saja,” ucapnya.

Padahal, menurutnya, dalam pembuatan UU semua yang terkait dengan resiko itu harus diperhitungkan di depan. “Di depan kita perhitungkan benar resiko sosiologi, resiko lingkungan, resiko yuridis dan sebagainya itu harus diperhitungkan,” tegasnya.

Bahkan pada draf awal UU ini ada pasal yang ia istilahkan sebagai “pasal karet sapu jagad”. Pasal ini memberi wewenang kepada pemerintah pusat untuk mengubah ketentuan UU ini, sehingga bisa menjadikan presiden sebagai diktator konstitusional. “Tapi untungnya dalam draf final pasal ini sudah tidak ada, walau begitu masih tersembunyi di banyak sekali peraturan turunan yaitu PP/Perpres,” paparnya.

Menurutnya, DPR saja tidak mengetahui siapa siapa tim penyusun RUU ini. “Saya mengikuti persoalan ini mulai dari bulan Februari sebenarnya ya, DPR itu tidak mengetahui tim penyusun RUU ini siapa? Naskah akademisnya siapa yang membuat? Dan tampaknya pemerintah melakukan ini dengan agak rahasia dan tergesa-gesa,” ujarnya.

Ia juga menjelaskan banyak substansi yang menyimpang dari UU asal yang selama ini dianggap menghambat investasi. Di antaranya adalah kewenangan daerah dalam tata ruang seperti diatur UU Penataan Ruang (UU 26/2007) dalam Omnibus Law diambil oleh pusat.

Fahmi memberikan contoh ketika Pemerintah Pusat menginginkan reklamasi tapi Pemprov DKI tidak memberi izin maka reklamasi itu tidak akan jalan, maka dengan UU Omnibus Law perizinan akan bisa di-bypass semua oleh pemerintah pusat.

Menurutnya hambatan investasi yang paling berat di Indonesia itu adalah korupsi. “Jadi kita bikin Undang-Undang Cipta Kerja seperti ini dengan pola Omnibus Law kalau korupsinya masih gila-gilaan ya omong kosong,” pungkasnya.[] Agung Sumartono

Posting Komentar untuk "Prof. Fahmi Amhar: RUU Omnibus Law tidak Layak secara Akademis dan Berbahaya terhadap Konstitusional"

close