Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kisah Prof. Fahmi Amhar Awal Bertemu dengan Hizbut Tahrir


Pertama kali aku berdiskusi dengan HT, aku cenderung menolak, karena aku mendapat kesan, “ini orang kok ngomong Negara Islam seperti semudah membalik tangan…"

Aku Fahmi Amhar. Lahir tahun 1968 di Magelang. Berasal dari keluarga besar Nahdliyyin. Pakdhe-ku itu murid KH Hasyim Asy'ari, pendiri NU, dan sempat 6 tahun mengajar di Tebu Ireng. Ayahku secara politisi Masyumi. Namun beberapa kakakku ikut Muhammadiyah. Di SMP aku dapat mentor seorang aktivis HMI (Himpunan Mahasiswa Islam). Waktu SMA aku ikut bergabung dengan PII, Pelajar Islam Indonesia, hingga aku menamatkan sekolah tersebut pada 1986.

Aku kemudian melanjutkan di Jurusan Fisika Institut Teknologi Bandung. Aku suka ikut kajian-kajian di Masjid Salman ITB. Namun hanya berjalan satu semester karena aku mendapat beasiswa dari Overseas Fellowship Program (OFP) Ristek yang dikenal dengan “Program Habibie” untuk menempuh studi di Austria.

Pertama Kontak

Di Eropa aku tetap konsern terhadap permasalahan Islam dan umatnya. Saat itu, aku suka dengan khutbah Jum'at yang khatibnya orang Ikhwanul Muslimin. Aku pernah mengagumi banyak pemikiran dari al-Maududi sampai Yusuf Qardhawi. Akupun pernah ikut khuruj bersama teman-teman Jama'ah Tabligh.

Di sana pulalah pertama kali aku kontak dengan orang-orang HT, tepatnya di Kota Wina, Austria tahun 1990. Tentu saja saat itu aku belum tahu bahwa mereka aktivis HT. Yang jelas mereka membicarakan topik-topik Negara Islam atau Khilafah.

Pada saat pertama kali aku berdiskusi dengan HT, aku cenderung menolak, karena aku mendapat kesan, “ini orang kok ngomong Negara Islam seperti semudah membalik tangan? Padahal kan prosesnya pasti panjang, rumit dan berliku”.

Namun mereka tetap sabar melayaniku dan mengajakku mengikuti kajian umum tentang berbagai hal, seperti bagaimana memahami dan menyikapi perbedaan mazhab, tentang fiqih perempuan, lalu tentang kasus Bosnia yang tahun 1991 itu sedang marak, dan isu hangat lainnya.

Para peserta diberikan kebebasan bertanya dan bahkan mendebat. Lama-lama aku tertarik ketika mereka menjelaskan bagaimana umat Islam itu kini bisa terpuruk, padahal dulu pernah menjadi mercusuar peradaban dunia.

Menurutku, penjelasan HT dalam masalah ini adalah yang paling logis, komprehensif, runtut dan mendalam yang pernah aku temui. Tidak sekadar simplikasi seperti “Umat terpuruk karena meninggalkan Alquran dan Sunnah” atau “Umat terpuruk akibat penjajahan”.

Jawaban-jawaban mereka bisa memuaskanku seperti pertanyaan “Bagaimana ya umat yang dulu dibangkitkan oleh Rasulullah itu bisa berangsur-angsur meninggalkan apa yang membuat mereka bangkit? Mengapa mereka jadi bisa dijajah?”.

Aku pun sangat terkesan dengan tingkat kecerdasan politis-spiritual yang tinggi para aktivis HT. Tentu saja aktivis HT juga ada bermacam-macam sebagaimana di semua komunitas. Namun aku pikir, tingkat kecerdasan politis-spiritual aktivis HT memang ada di atas rata-rata.

Yang aku maksud tingkat kecerdasan politis-spiritual adalah bahwa mereka memiliki sikap kritis yang tinggi atas segala fenomena sosial, baik di tingkat lokal maupun di dunia internasional, dan itu selalu dihubungkan dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah SAW dan para Shahabat ra.

Masalah shalat misalnya, pada awalnya adalah masalah ibadah, bukan politik. Tapi bagaimana mengupayakan agar orang-orang bisa shalat, baik di pabrik maupun di mall, itu pasti memerlukan upaya-upaya politik. Demikian juga untuk kewajiban Islam yang lain.
Terpanggil

Aku pernah dua tahun terpaksa sekamar dengan orang Nasrani, bahkan juga dengan orang komunis. Mau tak mau pernah bergulat dengan pemikiran: mengapa aku harus percaya dengan Islam. Di sinilah aku kemudian melihat kajian thariqul Iman yang diberikan HT sangat memuaskan secara rasional dan menenangkan jiwa.

Di samping itu, yang semakin membuatku terkesan, mereka berdakwah sebagai panggilan, bukan sebagai profesi untuk mencari penghidupan. Jadi aktivis HT biasanya memiliki profesi yang dengan itu mereka menghidupi dakwahnya.

Mereka pun begitu unik. Karena hanya dapat dikenali dari pemikiran atau sikapnya, bukan dari wujud fisik seperti bentuk pakaian atau tempat pertemuan yang eksklusif. Sehingga aku berfikir inilah wadah yang pas untukku berjuang. Akhirnya pada 1995 aku pun memutuskan untuk bergabung dengan HT Austria. [VM] [Kiriman dari Ust. Arif B Iskandar]

Posting Komentar untuk "Kisah Prof. Fahmi Amhar Awal Bertemu dengan Hizbut Tahrir"

close