Cara Islam Mewujudkan Ketahanan Pangan
Oleh : Nelly, M.Pd. (Akademisi dan Pemerhati Sosial Masyarakat)
Negeri yang dengan bangganya disebut dengan gemah rifah loh jinawi tata tenteram kerta raharja kini faktanya tak seindah julukan tersebut. Betapa tidak, negeri yang memiliki kesuburan tanah, hamparan lautan,kekayaan alam melimpah ruah dari Sabang sampai Merauke, namun mirisnya untuk urusan pangan saja bisa terjadi kelangkaan dan harus impor. Terbaru tahu dan tempe mulai menghilang dari peredaran. Tahu dan tempe sangat sulit ditemukan di pasar tradisional atau penjual keliling.
Bahkan, di beberapa pasar tradisional di Kota Tangerang, Banten, tahu dan tempe tidak lagi dijual. Ternyata, penyebab tahu dan tempe menghilang karena harga kedelai yang tinggi. Naiknya harga bahan baku kedelai impor membuat para perajin tahu di Bogor hingga se-Jabodetabek melakukan libur produksi massal mulai 31 Desember 2020 hingga 2 Januari 2021. Hal tersebut dilakukan sebagai bentuk protes kepada pemerintah karena tidak ada perhatian pada perajin tahu dan tempe mengenai kenaikan harga kedelai (republika.co.id).
Hingga hari ini belum terlihat langkah maupun inisiatif dari pemerintah untuk menstabilkan harga bahan pangan dan mencari solusinya. Padahal dengan adanya kenaikan harga bahan pangan jelas berdampak pada keluarga, kesehatan anak, tumbuh kembang fisik dan mental warga masyarakat. Ironinya, negeri ini tak pernah lepas yang namanya impor barang pangan. Di mana yang namanya impor jelas akan merugikan para petani di dalam negeri dan dari segi harga tentunya akan mudah terjadi kenaikan dikarenakan mengikut harga luar.
Mengapa Kebutuhan Dalam Negeri Harus Impor?
Jika ditelisik lebih jauh, permasalahan naiknya harga barang kebutuhan pangan, kasus impor, bukanlah kali ini saja terjadi. Indonesia memang dikenal dunia sebagai surganya impor barang, bahkan garam, bawang saja negeri ini harus impor. Ditambah lagi kebijakan yang terbaru sangat terlihat membuka kran impor besar-besaran.
Seperti dilansir dari media tirto.id, bahwa dalam UU Cipta Kerja yang diusulkan pemerintahan Joko Widodo dan disahkan DPR RI pada 5 Oktober lalu berpotensi membawa Indonesia terjebak dalam kebiasaan impor produk pertanian. Jelas kebijakan ini akan membuat para petani dalam negeri pun waswas dibuatnya.
Hal ini juga diperkuat dengan pernyataan Ketua Umum Serikat Petani (SPI) Indonesia Henry Saragih yang mengatakan pelonggaran impor pangan tampak jelas dalam revisi UU 19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani (Perlintan). UU Cipta Kerja menghapus frasa pasal 30 ayat (1) beleid itu yang berbunyi: “setiap orang dilarang mengimpor komoditas pertanian pada saat ketersediaan komoditas pertanian dalam negeri sudah mencukupi kebutuhan konsumsi dan/atau cadangan pangan pemerintah.”
Dalam UU Cipta Kerja versi 812 halaman, pasal 30 ayat (1) diubah menjadi: “Kecukupan kebutuhan konsumsi dan/atau cadangan pangan pemerintah berasal dari produksi dalam negeri dan impor dengan tetap melindungi kepentingan petani.
Frasa “mengutamakan produksi pertanian dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional” dalam pasal 15 juga ikut dihapus. Sanksi bagi orang yang mengimpor saat kebutuhan dalam negeri tercukupi dalam pasal 101 juga ditiadakan.
UU Cipta Kerja juga melonggarkan impor produk hortikultura dalam revisi UU 13/2010. Beleid setebal 812 halaman itu menghapus ketentuan “ketersediaan produk hortikultura dalam negeri dan penetapan sasaran produksi dan konsumsi” dalam pasal 88 sebagai aspek yang wajib dipertimbangkan dalam impor produk hortikultura. Ini jelas berdampak pada petani dalam negeri. Tidak ada lagi ketentuan kewajiban mengutamakan produksi pertanian dalam negeri,” ucap Henry dalam keterangan tertulis, Rabu (14/10/2020).
Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santoso mengatakan aturan itu bermasalah meski maksudnya mengintegrasikan sistem pangan Indonesia ke pangan dunia, memenuhi ketentuan World Trade Organization (WTO) Agreement of Agriculture. Ia mengingatkan kesalahan yang sama pernah dilakukan pemerintah di tahun 90-an.
Dwi yang juga adalah Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) mencontohkan pada tahun 1990-an Indonesia sudah mencapai swasembada bawang putih dan kedelai. Namun tahun 2000-an pemerintah membuka keran impor untuk keduanya. Akibatnya, saat ini sekitar 90 persen kebutuhan bawang putih dipenuhi dari luar, tepatnya Cina.
Sekitar 80-90 persen kebutuhan kedelai Indonesia juga dipenuhi dari impor karena waktu itu importir Indonesia mendapat banyak fasilitas dari Amerika Serikat.
“Konsep itu sudah mematikan petani bawang putih. Menyebabkan petani kedelai hilang juga,” ucap Dwi kepada reporter Tirto, Kamis (22/10/2020). Sejak tahun 2000-an dibuka keran impor dan Indonesia sekarang full impor.”
Dwi mengingatkan ketergantungan pada produk pangan luar negeri akan membuat Indonesia rentan terhadap gejolak harga komoditas pangan dunia. Pemerintah akan mengulangi kesalahan negara-negara di Afrika Utara dan Timur Tengah yang saat ini menjadi importir.
Sekretaris Jenderal Aliansi Petani Indonesia Muhammad Nuruddin juga mengaku khawatir lantaran pelonggaran impor produk pertanian dapat berdampak pada petani lokal. Saat impor masuk tanpa memperhatikan pasokan dan musim panen, maka harga di tingkat petani mudah terganggu. “Impor jadinya bisa sangat memukul harga yang diterima petani,” ucap Nuruddin kepada reporter Tirto, Kamis.
Saat harga terganggu, bagaimana mungkin petani dapat tetap sejahtera apalagi mencari untung.
Praktis, semakin sedikit juga masyarakat yang ingin tetap menanam apalagi menjaga produksi.
Maka dari sini jelas masalah ini harus segera di atasi oleh bangsa ini. Naik turunnya harga pangan karena besarnya jumlah impor bisa diatasi dengan keseriusan menghentikan ketergantungan impor.
Cara Islam Menghentikan Ketergantungan Impor dan Mewujudkan Kemandirian Pangan
Adanya lonjakkan impor pangan yang terus membanjiri negeri memang patut untuk dipertanyakan. Sebab, kedaulatan pangan menjadi satu dari sembilan program prioritas pemerintahan yang tertuang dalam Nawacita. Bahkan pemerintah sendiri menargetkan kedaulatan pangan lewat swasembada bisa terlaksana dalam tiga tahun.
Namun, yang terjadi sangat berbeda jauh panggang dari api. Alih-alih swasembada pangan, komoditas pangan impor malah membanjiri Indonesia setiap tahunnya. Yang perlu juga dikritisi pada lonjakan impor yang terjadi saat wabah. Para punggawa pun berdalih dan mengklaim bahwa produksi lokal turun hingga untuk memenuhi kebutuhan rakyat.
Akan tetapi yang mengherankan, kenapa dalih pada saat pandemi menjadikan adanya pelonggaran syarat impor. Dari segi pemenuhan kebutuhan rakyat memang harus dipenuhi oleh negara, namun tidak harus dengan impor barang.
Sebab kita tahu bahwa rakyat juga mampu untuk menghasilkan barang pangan tersebut, tinggal bagaimana pemerintah memberikan support pertanian hingga mampu memproduksi dengan jumlah melimpah.
Adanya perbedaan siakap antara kementerian perdagangan dan pertanian dalam soal impor di masa wabah.
Ini menegaskan bahwa tidak ada kebijakan yang terintegrasi untuk memenuhi kebutuhan pangan rakyat. Karenanya rencana swasembada atau kemandirian produksi pangan tidak sejalan dengan peluang cukai yang ingin didapat oleh kementerian perdagangan dan kepentingan pebisnis yang mendorong pelonggaran syarat impor.
Jika ditelisik impor barang adalah cara yang paling mudah, murah dan cepat untuk mengatasi kekurangan suatu komoditi dalam sebuah negeri. Hanya saja, adanya impor justru akan membuat masalah baru dengan meningkatkan ketergantungan terhadap negara lain dan mematikan produksi di dalam negeri.
Dalam masalah impor ini kalau kita lihat sebenarnya tidak lepas dari kebijakan liberalisasi ekonomi (ekonomi neolib) yang diambil oleh rezim. Ekonomi neoliberal mengacu pada filosofi ekonomi politik akhir abad 20 yang prinsip dasarnya adalah menolak intervensi pemerintah dalam ekonomi.
Ekonomi neoliberal memfokuskan pada pasar bebas dan perdagangan bebas. Merobohkan semua hambatan untuk perdagangan internasional dan investasi. Maka jadilah rezim penguasa di negara berkembang sebagai fasilitator diterimanya berbagai bentuk agreement perdagangan bebas, yang kena dampaknya pastilah rakyat itu sendiri.
Berbagai bentuk agreement perdagangan bebas tersebut dipaksakan melalui lembaga dunia-World Trade Organization (WTO). Sejak WTO digagas di Peru tahun 1994, dominasi AS dan Uni Eropa nampak dominan dalam setiap pengambilan keputusan WTO. Masih tingginya domestic support negara maju dan kuatnya tekanan kepada negara berkembang untuk membuka pasar (market access) membuat negara-negara berkembang yang mengandalkan pertumbuhan ekonomi dari sektor pertanian harus menghadapi pertarungan yang asimetris dengan negara maju.
Institusi tersebut telah memaksa negara-negara miskin untuk membuka pasar mereka sebelum produsen lokal memiliki kapasitas untuk berkompetisi. Konsekuensinya kekuatan ekonomi yang timpang antarnegara maju dan negara-negara berkembang dan miskin yang tergabung dalam WTO didorong untuk beradu dalam ring pasar bebas. Ibarat petinju kelas berat yang berhadapan dengan petinju kelas bulu, negara-negara maju dengan mudah menganvaskan negara berkembang ke sudut ring.
Menurut Abdul Qadir Zallum, tujuan utama dari kebijakan liberalisasi perdagangan tidak lain agar negara-negara berkembang di seluruh dunia dapat membuka pasar mereka terhadap barang dan investasi negara-negara maju yang memiliki superioritas dari negara-negara berkembang.
Akibatnya negara-negara berkembang terus menjadi konsumen utama dari komoditas dan investasi negara-negara maju.
Di sisi lain kebijakan tersebut membuat struktur perekonomian negara-negara berkembang sangat sulit dalam membangun fondasi ekonomi yang tangguh sebab terus bergantung kepada negara-negara industri. Dengan demikian mereka tidak akan bergeser menjadi negara industri yang kuat dan berpengaruh.
Lalu bagaimana strategi agar pangan tetap bisa memenuhi kebutuhan masyarakat, tanpa adanya kelangkaan dan harga yang mahal.
Tsunami impor akan terus menggerus negeri ini selama rezim tetap berpegang pada kebijakan ekonomi neolib. Untuk menghentikannya dibutuhkan negara yang punya visi jelas, pemerintah yang berperan sebagai pelayan bukan pebisnis, serta sistem ekonomi syariah bukan ekonomi yang prokapitalis.
Islam memperbolehkan negara untuk mengimpor komoditas-komoditas yang memang dibutuhkan oleh rakyat. Namun demikian, harus benar-benar dipilih dan ditentukan komoditas strategis nasional.
Oleh karena itu, pemerintah perlu ada perbaikan dari sisi supplay chain atau rantai pasok agar berbagai produk dimasyarakat, seperti komoditi pangan, bisa cukup diproduksi dan didistribusi secara merata sehingga impor-impor pangan bisa dihindari. Adapun tata cara peningkatan produksi dan pemerataan distribusi bisa dilakukan dengan intensifikasi, ekstensifikasi, efisiensi tataniaga, pembangunan infrastruktur dan sistem informasi pasar yg memadai.
Pemerintah juga harus menguatkan pengawasan terhadap praktik-praktik kecurangan atau mafia impor yang merugikan masyarakat dan memberikan sanksi yang membuat jera, bukan hanya sekedar ancaman basa basi atau hukuman yang bisa dibeli dengan uang.
Namun demikian, yang lebih penting dari itu semua adalah adanya paradigma sistem dan kepemimpinan yang sahih yang dimiliki oleh negara dan masyarakat didalamnya yaitu Islam. Karena visi-misi dalam sistem Islam bahwa negara adalah tugasnya untuk melayani dan bertanggungjawab terhadap masyarakat.
Dengan penerapan sistem Islam yang kaaffah menyeluruh baik dalam permasalahan ekonomi dan ketersediaan pangan dan harga yang murah.
Seperti diketahui bahwa faktor penyebab kenaikan harga pangan ada faktor yang tercipta secara alami antara lain yaitu langkanya ketersediaan bahan pangan tertentu akibat gagal panen, serangan hama, jadwal panen dan lain-lain.
Kemudian bisa saja karena penyimpangan ekonomi yang diterapkan negeri ini dengan neoliberalnya dan ini tentu saja menyalahi dari hukum-hukum syari’ah Islam, seperti terjadinya ihtikâr (penimbunan), permainan harga (ghabn al fâkhisy), hingga liberalisasi yang menghantarkan kepada ‘penjajahan’ ekonomi.
Jika melambungnya harga saat ini karena faktor alami yang menyebabkan kelangkaan barang, maka disamping umat dituntut bersabar, Islam juga mewajibkan negara untuk mengatasi kelangkaan tersebut dengan mencari suplay dari daerah lain.
Jika seluruh wilayah dalam negeri keadaannya sama sedang defisit pasokan pangan, maka bisa diselesaikan dengan kebijakan impor dengan masih memperhatikan produk dalam negeri.
Namun jika melambungnya harga disebabkan penerapan sistem ekonomi kapitalisme neoliberal, maka penguasa harus mengatasi agar hal tersebut tidak terjadi. Hal ini pernah dicontohkan oleh kepemimpinan Islam selama kurun waktu 1300 tahun lebih, masa itu pernah Rasulullah saw sampai turun sendiri ke pasar untuk melakukan ‘inspeksi’ agar tidak terjadi penipuan harga maupun penipuan barang alat tukar, beliau juga melarang untuk menimbun barang.
Hal yang paling urgen adalah tanggungjawab pemerintah, dalam Islam pemimpin harus memaksimalkan upaya dan antisipasi dengan intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian sehingga negara tidak boleh kosong dari riset dan penemuan baru dibidang pangan.
Bahkan, pemerintah seharusnya memberikan perhatian terhadap sarana dan prasarana yang menunjang distribusi hasil pertanian misalnya penyediaan alat transportasi yang memadai serta perbaikan infrastruktur jalan karena pertanian merupakan salah satu pilar ekonomi negara, bahkan negara bisa mengalami kegoncangan jika pertanian dikuasai ataupun bergantung pada negara lain. Pemerintah harus menyediakan bibit tanaman, pupuk yang murah dan segala fasilitas untuk memudahkan dan mendukung para petani.
Negara yang betul-betul mengayomi masyarakat dengan sepenuhnya amanah seperti ini hanya kita dapatkan dalam sistem Islam yang menerapkan Islam secara sempurna hingga dalam pengaturan kenegaraan termasuk dalam menangani permasalahan kelangkangan pangan dan soal harga. Maka sudah saatnya kita kembali pada aturan Islam agar mendapatkan keberkahan dan tentunya dapat mengatasi segala problem yang terjadi di negeri ini.
Wallahu a’lam bis showab
Posting Komentar untuk "Cara Islam Mewujudkan Ketahanan Pangan"