Perpres Ekstremisme: Strategi Usang untuk Membendung Dakwah Islam, Benarkah?

 


Oleh: Liza Burhan

Santer, di tengah berbagai kemelut permasalahan politik dan bencana alam, negeri ini justru kembali digaduhkan oleh persoalan yang mengarah pada agenda penanggulangan terorisme oleh Pemerintah. Dilansir dari portal berita online CNN Indonesia pada 16/1/2021 yang bertitel: "Perpres Baru, Warga Dilatih Polisikan Terduga Ekstremis". Dalam isi pemberitaanya disebutkan bahwa, Perpres Nomor 7 Tahun 2021 yang diteken Presiden Joko Widodo mengatur sejumlah program pelaksanaan Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme (RAN PE). 

Adapun diantara program yang tercantum ialah, melatih masyarakat untuk melaporkan seseorang atau kelompok yang diduga berpola ekstremis ke polisi. Alasannya Pemerintah ingin meningkatkan efektivitas pelaporan masyarakat dalam menangkal ekstremisme. Dalam Perpres itu disebutkan, pelatihan pemolisian masyarakat yang mendukung upaya pencegahan ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah ke terorisme. Disebutkan pula, Polri sendiri yang akan menjadi penanggung jawab atas program pelatihan tersebut. Polri akan dibantu oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) selama pelatihan. 

Berdasarkan definisi ekstremisme yang diatur dalam Perundang-undangan (Perpres No. 7 Tahun 2021 tentang RAN-PE), dalam Pasal 1 angka 2 disebutkan bahwa ekstremisme adalah: "Keyakinan dan atau tindakan yang menggunakan cara-cara kekerasan atau ancaman kekerasan ekstrem dengan tujuan mendukung atau melakukan aksi terorisme". Berdasar definsi ini, maka ektremisme itu dapat berwujud keyakinan dalam bentuk tulisan, lisan dan sikap serta tindakan yang dinilai ekstrem/berbeda dengan rerata arus utama masyarakat. (Prof. Suteki, Pakar Hukum dan Masyarakat) dalam catatannya.

Adapun definisi atau tujuan dari program kegiatan pelatihan ini adalah berisi upaya yang mengarahkan masyarakat untuk terampil memolisikan sesama anggota masyarakatnya sendiri, yang diduga telah melakukan tindakan ekstremisme. Secara normatif, program itu bertujuan agar masyarakat bermitra dengan kepolisian untuk menjaga dan menanggulangi gejala dan tindakan ektremisme sejak dini sehingga tidak melebar menjadi sumber tindak pidana terorisme. 

Namun, pertanyaan kemudian muncul di benak kita, apa urgensitas dari dikeluarkannya kebijakan Perpres ekstremisme ini? Mengapa di tengah kondisi negeri yang sedang dilanda berbagai macam bencana alam, begitu pun dengan rakyat sedang dilanda krisis kesehatan dan krisis ekonomi dampak dari wabah pandemi seperti sekarang, Pemerintah lagi-lagi justru membuat suatu kebijakan kontroversial dan dapat saja memunculkan konflik horizontal. 

Bagaimana tidak, Perpres yang berisikan pelatihan pemolisian bagi masyarakat atas seseorang atau kelompok yang terduga ekstremis ini, dan dari petunjuk melalui definisinya tersebut, diprediksi kuat justru akan berpotensi memberikan dampak yang sangat buruk bagi kehidupan masyarakat, karena akan memunculkan sikap saling mencurigai hingga berujung terjadi aksi saling lapor-melaporkan. 

Pemerintah yang diharapkan dapat melakukan kebijakan atau terobosan brilian sebagai solusi atas krisis kesehatan karena wabah corona yang telah banyak menelan korban jiwa, begitu juga krisis ekonomi karena dampaknya yang telah menyebabkan pengangguran, kemiskinan meningkat, dan angka kriminalitas yang kian tinggi. Yang kesemua itu sangat membutuhkan kebijakan urgen dalam menanganinya. Akan tetapi Pemerintah malah mengeluarkan Perpres yang tidak ada kaitannya dengan persoalan umat/rakyat yang sedang dihadapi tersebut.

Sungguh ironis, di saat jutaan rakyat menunggu solusi atas segala kemelut persoalan negeri, dari mulai masalah tatanan sosial, ekonomi, kesehatan, pendidikan dll yang kian amburadul dan menyengsarakan rakyat, Pemerintah justru lagi-lagi memberikan opini lain melalui isu ekstremisme yang tidak jelas arah dan wujudnya. Sangat menarik jika kita mengingat kembali apa yang pernah disampaikan oleh Prof. Siti Zuhro, peneliti LiPI, yang menyatakan bahwa “masalah utama negeri ini bukanlah radikalisme atau ekstremisme melainkan ketimpangan sosial, ketidakadilan, diskriminasi dll.” 

Namun melalui program RAN-PE yang dikemas dalam Perpres ini Pemerintah malah terkesan ingin mengalihkan realita tersebut, dengan menggiring opini kepada masyarakat bahwa negeri ini dalam keadaan darurat ektremisme yang berhubungan erat dengan radikalisme. Dengan kata lain, benarkah hal ini semata-mata hanya untuk menutupi segala macam ketimpangan yang ada tersebut?

Jika kita coba telisik lebih mendalam, adanya kembali program penanggulangan ekstremisme dan radikalisme melalui Perpres ini, sejatinya hanyalah kelanjutan dari program deradikalisasi yang menjadi agenda utama kepemimpinan kabinet Presiden Jokowi di awal masa periode keduanya ini. Program deradikalisasi merupakan turunan dari agenda war on terorrism yang sarat dengan misi dunia GLOBAL WAR ON TERRORISM (GWOT) yang dikendalikan oleh BARAT (Amerika dan sekutunya) yang selama ini begitu tampak sedang terjangkit ISLAMOPHOBIA. 

Diketahui Perpres RAN-PE itu sendiri lahir dari proses cukup panjang. Digagas sejak tahun 2017 oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) bersama jaringan organisasi masyarakat sipil (salah satunya Wahid Foundation). Lalu pada 25 Januari 2019, presiden menyetujui penyusunan Rancangan Perpres mengenai RAN PE. 

Jadi bukanlah hal berlebihan jika program RAN-PE ini, dinilai sebagai sebuah proyek yang sangat beraroma kepentingan barat, yakni agenda untuk memerangi orang atau kelompok yang berpegang teguh pada ideologi Islam dan gencar mendakwahkan Islam, termasuk pada simbol-simbol Islam yang kerap distigma negatif sehingga harus dimusuhi atau dijadikan common enemy di tengah kehidupan masyarakat.  Maka tentu saja, langkah dari kebijakan atas agenda tersebut akan berpotensi mengusik dan mencinderai kebebasan dalam menjalankan keyakinan beragama yang dilindungi oleh konstitusi, khususnya bagi umat Islam yang aktif dalam aktivitas dakwah dan memperjuangkan kembali tegaknya syariat Islam secara keseluruhan. 

Alih-alih berdalih ingin menciptakan efektivitas keamanan dan memperkuat persatuan, Perpres ini justru berpotensi akan memecah-belah ukhuwah antar pemeluk agama dan menimbulkan rasa kecurigaan antar sesama anak bangsa. Dan yang lebih fatal adalah akan merusak jargon-jargon persatuan yang selama ini kerap didengung-dengungkan. 

Di sisi lain, diciptakannya Perpres Ekstremisme ini juga diduga kuat sebagai bagian besar dari skenario untuk melanggengkan hegemoni kapitalisme liberal, yang kian merasa terancam oleh ideologi dan cara pandang politik Islam yang kian masif dan mendominasi pemikiran umat di negeri muslim layaknya Indonesia, sehingga stigma radikal ekstremisme adalah cara ampuh yang dipilih dalam membendung eksistensinya. 

Dari situ tampak jelas bahwa, kebijakkan atas Perpres Ekstremisme ini begitu kental arahnya untuk dialamatkan kepada umat Islam. Sebagai upaya propaganda atas perilaku Islamophobia yang ditampakkan. Itulah wujud dari strategi mereka dalam membendung sekaligus memonsterisasi ajaran Islam, khususnya khilafah yang kian akrab dan difahami oleh umat di dalam perjuangan untuk mengembalikan kembali kehidupan Islam.

Lalu apa yang seharusnya masyarakat dan umat Islam khususnya lakukan dalam mengahadapi kebijakan Perpres Ekstremisme ini,? Karena dengan realitas umat Islam adalah umat mayoritas di negeri ini, maka segala kebijakan pasti akan berdampak kepada umat Islam. Apalagi dari ulasan di muka tadi, telah dijelaskan bahwa isu radikalisme terorisme ini mengarah kuat untuk menyasar ajaran dan aktivitas dakwah umat Islam. Jadi dapat disimpulkan, sejatinya agenda RAN-PE Ekstremisme ini punya kepentingan untuk memojokkan umat Islam, yang selalu coba dikaitkan-kaitkan dengan isu radikalisme, tindak kekerasan dan terorisme yang selama selalu diangkat di permukaan.

Dengan demikian sikap terbaik yang dapat dilakukan umat Islam ialah, harus menunjukkan sikap sebaliknya yaitu tetap tenang dan konsisten dalam memegang kebenaran, jangan mau dipecah belah. Dengan terus meningkatkan semangat persatuan dan semangat ukhuwah Islamiyyah antar sesama harakah atau kelompoknya. Umat jangan terjebak dalam agenda yang sebetulnya ingin memprovokasi guna memecah-belah ukhuwahnya, apalagi  terjebak pada sikap saling mencurigai yang berujung pada tindakan saling lapor-melaporkan hingga berakhir dengan perpecahan. Karena itulah yang sesungguhnya mereka (yang punya agenda) itu inginkan. 

Selain dari itu, umat harus semakin giat dalam membina diri dengan pemahaman dan tsaqafah Islam, hingga tumbuhnya keteguhan secara akidah dan kesadaran politik dengan sudut pandang Islam. Agar tidak gampang terjebak dan terpengaruh oleh berbagai strategi propaganda dan pemikiran barat, yang sejatinya ingin menjauhkan umat dari syariat dan pandangan politik Islamnya. Melalui kaki tangannya yakni lewat kebijakan-kebijakan para penguasa muslim, seperti yang tampak di hadapan umat saat ini. 

Umat harus mengenali siapa yang menjadi musuh mereka sebenarnya, musuh umat bukanlah saudara mereka sendiri yang selama ini kerap dilabeli radikalis ekstremis karena memperjuangkan Islam, namun musuh sesungguhnya umat adalah sistem sekularisme, liberalisme dan kapitalisme yang saat ini tengah diemban oleh para penguasa dan menguasai negeri-negeri kaum muslimin.

Tanpa adanya pemahaman Islam dan kesadaran politiknya yang memadai, maka umat akan mudah terjebak  dalam strategi dan permainan musuh-musuh Islam, yang ingin menghancurkan kaum muslimin yang tercerai berai dalam perpecahan. Dan yang tidak kalah penting adalah, umat harus tetap berusaha dan istiqamah untuk melibatkan diri dalam jama'ah dakwah yang kokoh dan berpegang teguh pada metode yang dicontohkan Rasulullah Saw. Karena disadari ataukah tidak, sesungguhnya pertarungan antara ideologi kufur dan ideologi shahih (Islam) tengah berlangsung,  haq dan bathil semakin terpisah pada masing-masing posisinya. Maka tentukan ada di pihak mana kita berada.

Wallahu a'lamu bishshawwab

Posting Komentar untuk "Perpres Ekstremisme: Strategi Usang untuk Membendung Dakwah Islam, Benarkah?"