Kasus Kerumunan Prokes, Akankah ada Hukum yang Berkeadilan?

 



Oleh : Khadijah Nelly,M.Pd. (Akademisi dan Pemerhati Kebijakan Publik)


Viral! kembali publik dikejutkan dengan beredar sebuah video berdurasi 30 detik yang memperlihatkan masyarakat berkerumun saat Presiden Joko Widodo (Jokowi) tiba di Maumere, Sikka, Nusa Tenggara Timur, dalam kunjungan kerja (Kunker) pada Selasa (23/2).

Kejadian inipun mendapat banyak sorotan dari berbagai pihak, sebab di tengah kondisi masih pandemi, kemudian pemerintah sendiri sedang menerapkan dan menggalakkan tentang pentingnya mentaati protokol kesehatan.

Namun sangat disayangkan dalam kunjungan Presiden tersebut justru terjadi kerumunan warga dan banyak yang tidak menggunakan masker, jaga jarak dan tak mengindahkan protokol kesehatan. Seperti dilansir dari laman SuaraBanten.id, terkait hal itu, anggota DPR dari Fraksi PKS, Mardani Ali Sera pun ikut menyoroti soal warga yang berjubel saat Jokowi membagi-bagikan souvenir berisi kaus, masker dan buku.

Mardani mengatakan, adanya kerumunan massa saat kehadiran Jokowi di masa pandemi bukan hal yang baru. Dia bahkan menganggap, Jokowi mengulang kejadian serupa. 

Menurut Mardani ini bukan yang pertama Pak Jokowi bagi-bagi souvenir atau nasi kotak yang menimbulkan kerumunan. Sebelumnya bagi-bagi nasi kotak, kemarin bagi-bagi souvenir. Jika itu sudah dipersiapkan di mobil, namanya bukan spontanitas, (24/2/2021).

Dilansir dari media SuaraJogja, soal kerumunan Jokowi di NTT juga mendapat tanggapan dari mantan wasekjen MUI Ustaz Tengku Zulkarnain, yang juga akrab disapa Tengku Zul. Pria asal Sumatera Utara ini mempertanyakan pernyataan dr Tirta bahwa kerumunan itu tak diundang. Menurut Tengku Zul, tak masuk akal jika orang-orang itu berkerumun tanpa direncanakan.

Ia juga menyinggung soal adanya hadiah-hadiah yang tampaknya telah dipersiapkan untuk dibagi-bagi di tengah kerumunan. Menutup cuitannya, Tengku Zul menganggap dr Tirta aneh karena kesulitan berpikir secara sederhana. Menurut Tengku Zul, pernyataan Dr.Tirta bilang kerumunan itu tidak diundang, tak masuk akal, apalagi dia yang bilang tidak direncanakan. Terus hadiah-hadiah yang dibagi-bagi itu dimaksudkan untuk kerumunan Jin dan Dedemit, bukan kerumunan Orang?(24/2/2021).

Kasus kerumunan ini memang sangat menyita perhatian publik, sebab dari kasus kerumunan ini sudah ada yang diperkarakan hingga berujung penangkapan, dan diancam pidana penjara. Seperti yang terjadi pada kasus Habib Rizieq Shihab, maka Front Persaudaraan Islam pun memberikan tanggapan menyoroti kunjungan kerja (kunker) Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menimbulkan kerumunan. 

Front Persaudaraan Islam menuntut Polri bertindak tegas atas pelanggaran protokol kesehatan tersebut. Pentolan ormas ini, Munarman menilai kerumunan tersebut sudah memenuhi unsur pelanggaran Pasal 160 KUHP. Sebab, di Kunker tersebut, Jokowi membagikan bingkisan untuk warga. Sehingga warga yang tertarik pun berdatangan. Menurut Munarman jangan lupa ada pemberian hadiah dalam kegiatan tersebut yang merupakan unsur penghasutan untuk massa hadir dalam kerumunan yang ini jelas adalah pelanggaran prokes, (Radar Bogor, id, 24/2/2021).

Dalam kasus ini memang tak terlihat contoh keteladanan pemimpin, seharusnya Jokowi sebagai pimpinan negara bisa menjadi contoh yang baik dengan mencegah adanya kerumunan massa saat melakukan kunjungan kerja (kunker). Harusnya juga Istana bisa antisipasi dalam kunker akan ada potensi kerumunan. Karena secara logika aparat keamanan sudah dipastikan mempersiapkan keamanan bahkan dalam radius yang cukup jauh. Patut untuk dikritisi juga, mengapa saat terjadi kerumunan tak ada pembubaran? dan tak ada pernyataan Presiden atau aparat untuk memerintahkan bubar.

Maka wajar publik menuntut dengan kejadian ini, kepada pihak yang berwajib harus bersikap profesional, menindaklanjuti kejadian ini, jika ada insur pelanggaran penerapan protokol kesehatan harus dibawa ke jalur hukum.

Ya, di sinilah aparat penegak hukum saatnya berlaku adil dan menindak kasus yang sama dengan apa yang terjadi pada HRS (Habib Rizieq Shihab) yang dikenakan pasal 160 KUHP atas kerumunan di Petamburan. Tentu saja rakyat Indonesia menunggu keadilan tersebut, hukum harus berlaku sama pada siapa saja yang tak taat aturan, hukum tidak boleh pandang bulu terhadap pelanggaran aturan saat pandemi.

Jika kasus ini tak ditindak, maka akan dikhawatirkan rakyatpun akan bersikap masa bodoh dengan covid-19, tak lagi perdulikan prokes, sebab tak ada contoh teladan dari para pemangku kebijakan atas ketaatan terhadap prokes. Jangan sampai rakyat semakin anti dan tak percaya dengan hukum jika terkesan hanya menindak dan menghukumi rakyat yang tak sejalan dengan penguasa. Maka sudah saatnya mengakhiri pandemi dengan bijak, prokes ditaati, hukum berlaku adil pada semua.

Mengutip apa yang disampaikan pengacara dan Firma Hukum, Chandra Purna Irawan.,SH.,MH., bahwa hancurnya sebuah negara bukan karena ada demonstrasi atau bukan karena adanya kritik atau bukan karena adanya oposisi. Melainkan hukum tidak diperlakukan sama kepada kepada seluruh warga Indonesia termasuk Presiden, semestinya berdasarkan asas hukum “equality before the law” (kesamaan dihadapan hukum). Kejadian tersebut khawatir berpotensi menimbulkan “public distrust” atau tak ada kepercayaan lagi, karena menyangkut hak-hak orang dan keadilan.

Dari kasus ini sebenarnya dapat membuka mata, hati dan paradigma berfikir semua pihak, bahwa terbukti rasa keadilan hukum itu hanya sebuah ilusi di negeri demokrasi. Kasus ini hanya salah satu contoh kasus dimana rasa keadilan itu terkoyak-koyak di negeri yang katanya menjunjung tinggi hukum. Hukum hanya tajam pada yang bersebarangan dan rakyat jelata,namun akn tumpul pada mereka yang dekat dengan sang pemilik kebijakan dan mereka yang duduk di kursi kekuasaan. Fakta terpampang nyata, hukum terlihat tebang pilih.

Demikianlah, demokrasi hanyalah ilusi, dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat hanya jargon semata tak ada kenyataan demikian.

Semua yang bermain adalah kepentingan, bukan untuk rakyat, namun malah untuk segelintir orang, golongan dan pengusaha atau pemilik modal tentunya. Ya wajar ini tejadi sebab seperangkat hukum, aturan yang diberlakukan di negeri ini mengadopsi sistem yang dibuat manusia. Akan banyak ditemui kecacatan dan ketidak beresan dalam pelaksanaannya. 

Oleh sebab itu jika ingin merasakan hukum yang berkeadilan tentu hanya satu solusinya, kembali pada sistem aturan Ilahi yaitu sistem Islam. Jaminan keadilan hukum akan dirasakan baik bagi Muslim maupun Nonmuslim. Sebab sistem aturan Islam berasal dari Allah SWT yang Maha Benar dan akan dijalankan oleh para pemimpin yang amanah, bertakwa dan takut hanya kepada Allah pada hari pembalasan. Sebab sistem Islam adalah rahmat dan solusi bagi setiap persoalan kehidupan.

Maka tak ada pilihan lain jika ingin bangsa ini berubah ke arah yang lebih baik ya tentu harus ada perubahan secara sistemik, tak cukup hanya dengan mengganti pemimpin, namun diperlukan sistem aturan bernegara yang mencontoh Rasulullah Muhammad dalam menjalani roda kehidupan berbangsa dan bernegara. Niscaya kehidupan yang berkah dan mulia akan didapatkan.


Wallahu ‘alam bis showab

 

Posting Komentar untuk "Kasus Kerumunan Prokes, Akankah ada Hukum yang Berkeadilan?"