Legislasi Bukan Ditangan DPR, Apalagi Oposisi





Oleh: Ummu Rufaida ALB (Pegiat Literasi dan Kontributor Media)


Aksi Puan mematikan mikrofon saat berlangsungnya sidang paripurna, Selasa (24/5/2022), kembali terjadi. Hal ini terjadi saat anggota DPR RI Fraksi PKS Amin AK menyampaikan interupsinya. Beliau sedang menyampaikan pendapatnya terkait kekosongan hukum terhadap para pelaku LG87 dalam KUHP. Nahas, pasalnya Amin AK sedang membicarakan hal yang sangat penting namun dengan dalih berakhirnya waktu sidang, maka diabaikan begitu saja.

Sebelumnya Puan juga pernah mematikan mikrofon anggota DPR saat Ia memimpin rapat Pengsahan UU Cipta Kerja pada Oktober 2021 lalu. Ketika hampir pada waktu pengambilan keputusan, salah satu anggota DPR dari Fraksi Demkorat, Iwan Fencho mengajukan interupsi. Namun, tiba-tiba mikrofon Iwan mati sehingga tidak dapat mengajukan interupsi. Sebuah tanggapan kamera memperlihatkan bahwa Puan lah yang mematikan mikrofonnya.

Pada kesempatan yang berbeda, terjadi ketika Puan memimpin rapat agenda Persetujuan Jenderal TNI, Andika Perkasa sebagai panglima TNI, November 2021 lalu. Anggota komisi X dari Fraksi PKS, Fahmi Anwar Alaydroes, mengajukan interupsi dan memohon Puan untuk tidak menutup rapat terlebih dahulu. Namun, Puan tidak menghiraukan lalu mematikan mikrofonnya. Setelah itu, ia langsung menutup jalannya rapat dan mengetuk palu tanda berakhirnya rapat. (Tribun-Timur.com, 25/05/2022)

Sejumlah pihak menyayangkan aksi Puan Maharani dan dinilai hal ini tidak patut ditiru dan digugu oleh para pemimpin negeri ini. Salah satu kecaman dari seorang Pendakwah, Hilmi Firdausi, ia menyatakan mengapa harus mematikan mic lagi, padahal yang dibicarakan adalah hal yang sangat penting yaitu tentang LG87. (Hops.id, 26/05/2022).

Selain itu, melansir Tribun-Timur, 25/5/2022, Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karius menyebut bahwa sikap Puan justru merugikan karena publik dapat menilai sikap tersebut sebagai otoriter. Menurutnya, aturan tata tertib dalam rapat paripurna DPR anggota dewan berhak untuk menyampaikan pendapat dan mengajukan interupsi kepada pemimpin sidang. 

Sudah jamak diketahui bahwa dalam sistem pemerintahan demokrasi selalu ada dua kubu yang saling berebut kursi kekuasaan. Pihak petahana selalu berusaha membendung laju opisisi, sementara oposisi berusaha mengkritik kebijakan petahana. Sehingga wajar, jika yang memberi pendapat datang dari pihak oposisi, tentu akan dianggap sebagai sebuah hal yang tidak konstruktif Meski sebenarnya semua pihak memiliki kebebasan berpendapat. 

Namun pada kenyataannya, dalam politik demokrasi, tidak ada posisi oposisi yang permanen. Bisa saja berpindah kubu sesuai dengan kepentingan. Hari ini berseberangan, mungkin esok hari jadi kawan. Ya, inilah tabiat demokrasi, tidak ada kawan sejati, yang ada hanyalah kepentingan.

Status oposisi, dalam sistem kapitalisme maupun sistem Islam, sama-sama tidak bersifat permanen. Hanya saja, dalam sistem kapitalisme demokrasi, oposisi berada diluar kabinet petahana. Mereka cenderung bersuara sesuai dengan kepentingan kelompok dan golongannya sehingga terkadang tidak menguntungkan pihak petahana. Akibatnya, pendapat hanyalah sebuah pendapat tanpa realisasi. 

Sedangkan dalam Islam, label oposisi tidak mempengaruhi pendapat yang akan dinyatakan oposisi. Semuanya wajib didengar oleh petahana selama bertumpu pada syariat serta berdasarkan dalil. Tidak boleh melihat apakah ini pendapat petahana ataukah oposisi, pihak penguasa ataukah rakyat biasa.

Namun yang lebih krusial adalah dewan perwakilan atau permusyawaratan dalam Islam bukanlah lembaga untuk melegislasi hukum. Melainkan hanya sebagai tempat untuk menyatakan pendapat dan kritik, bukan menentukan baik buruk atau halal haramnya suatu kebijakan.

Hal ini tentu sangat berbeda dengan sistem saat ini, dimana DPR merupakan lembaga sakti yang bisa menentukan hukum bagi rakyat. Padahal sejatinya mereka sangatlah lemah dan terbatas dan sangat sarat dengan kepentingan kelompoknya. Lantas bagaimana mungkin kebijakan yang dihasilkan mampu mendatangkan maslahat?

Dalam sejarah peradaban Islam, khalifah Umar bin Khattab pernah dikritik seorang perempuan, terkait dengan ketentuan mahar. Umar menetapkan mahar bagi perempuan tidak boleh melebihi 400 dirham. Alasannya Rasulullah dan para sahabat memberi mahar terhadap istri-istrinya tidak lebih dari nominal tersebut.

Namun, rupanya beleid ini tidak disetujui oleh sebagian kaum perempuan. Seorang diantara mereka akhirnya menyampaikan protes, "wahai Amirul mukminin, engkau melarang orang-orang memberi mahar lebih dari 400 dirham kepada istri-istri mereka?"

Khalifah Unar menjawab, "iya"

Perempuan itu lalu berkata,"wahai Umar engkau tidak berhak menetapkan demikian. Bukankah engkau telah mendengar firman Allah Swt.?"

Ia lalu membaca QR An-Nisa: 20, Kalian telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak (sebagai mahar). Oleh sebab itu, janganlah kalian mengambil kembali darinya barang sedikit pun."

Ketika diingatkan dengan ayat ini, Umar langsung beristighfar lalu berkata,"wanita itu benar dan Umar yang salah."

Dari kisah tersebut, dapat diambil teladan. Pertama, seorang pemimpin hendaklah mendengar interupsi sampai selesai. Kedua, berlapang dada saat menerima kritik dan pendapat dari rakyat. Ketiga, standar semua pendapat harus sesuai dengan hukum syara bukan hawa nafsu. 

Tentu sosok pemimpin yang seperti ini hanya dilahirkan dari rahim sistem peradaban Islam. Ia berkhidmat untuk mengurusi urusan rakyat bukan berdasarkan manfaat dan kepentingan sesat. Lantas, masihkah kita ragu mengambil Islam sebagai jalan perubahan? [] 

Posting Komentar untuk "Legislasi Bukan Ditangan DPR, Apalagi Oposisi"