Mengurai Benang Kusut Perundungan: Antara Teori Pendidikan dan Praktik Nyata
Oleh: Ong Hwei Fang
Perundungan di kalangan pelajar terus menjadi masalah yang mengkhawatirkan, meskipun berbagai peraturan dan undang-undang telah dibuat, serta materi edukasi tentang anti-perundungan telah dimasukkan dalam kurikulum pendidikan. Namun, seperti kaset yang kusut, kasus-kasus perundungan tetap berulang, bahkan dalam bentuk yang semakin beragam dan mengerikan. Baru-baru ini, viral insiden pemukulan sesama pelajar SMP di sebuah turnamen bola basket di Bogor. Tak hanya itu, di Bandung, seorang pelajar menjadi korban kekerasan oleh teman sebayanya di sebuah lahan kosong. Empat pelaku memukul dan menendang korban hingga tak berdaya, sementara korban berteriak minta ampun dan merintih kesakitan. Namun, para pelaku tetap melanjutkan penyiksaan. Pertanyaannya, apa yang salah dengan sistem pendidikan kita? Mengapa perundungan masih terus terjadi?
Salah satu tujuan Pendidikan Nasional, seperti yang tercantum dalam UU No. 20/2003 Pasal 3, adalah menjadikan peserta didik sebagai manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Namun, tujuan ini seolah hanya menjadi retorika belaka. Kasus perundungan di kalangan pelajar masih marak, meskipun materi anti-perundungan telah dimasukkan dalam beberapa mata pelajaran, termasuk dalam program Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5). Namun, faktanya, pengajaran ini masih sebatas teori.
Pendidikan agama, misalnya, hanya diberikan dua jam pelajaran per minggu, dan itu pun hanya membahas syariat secara permukaan. Ketika ada upaya untuk mengadakan kegiatan pembinaan keagamaan tambahan, sering kali dicurigai sebagai aktivitas radikal. Alih-alih menciptakan insan yang bertakwa, peserta didik justru semakin jauh dari nilai-nilai agama dan cenderung sekuler.
Kurikulum Merdeka: Kebebasan Tanpa Batas?
Kurikulum Merdeka menekankan pada kemandirian peserta didik dalam mengatur cara belajar mereka, termasuk cara berpikir. Namun, di sisi lain, guru hanya berperan sebagai fasilitator, bukan pendidik yang membimbing nilai-nilai moral. Akibatnya, peserta didik merasa bebas berbuat sekehendak hati tanpa memedulikan norma-norma yang ada.
Selain itu, upaya penguatan moderasi beragama di sekolah justru berbanding lurus dengan melunturnya pengamalan ajaran agama dalam keseharian peserta didik. Hal ini dianggap sebagai upaya untuk mengikis radikalisme, namun pada kenyataannya, sebanyak apapun edukasi anti-perundungan diberikan, tidak akan efektif jika pelajar kehilangan visi akhirat dan hanya berfokus pada orientasi duniawi.
Meskipun banyak undang-undang yang mengatur tentang perundungan, kasus-kasus pelanggaran tetap terjadi. Ini menunjukkan bahwa sanksi yang diberlakukan selama ini belum tegas dan tidak mampu memberikan efek jera. Bahkan, beberapa produk hukum justru saling bertumpang tindih. Misalnya, hukuman fisik yang diberikan oleh guru kepada pelaku perundungan bisa dianggap melanggar UU Perlindungan Anak.
Istilah ABH (Anak Berhadapan dengan Hukum) juga sering menjadi ganjalan dalam pelaksanaan hukuman. Pelaku yang dianggap masih anak-anak atau remaja sering kali tidak mendapatkan hukuman yang setimpal, meskipun perbuatannya sudah bisa dikategorikan sebagai kejahatan. Sistem hukum kapitalisme yang berlaku saat ini sering kali sarat dengan kepentingan dan hanya mengakomodasi kemaslahatan bagi satu pihak, sementara mengabaikan pihak lain.
Sistem Hukum Islam: Solusi yang Tegas dan Berkeadilan
Berbeda dengan sistem hukum buatan manusia, sistem hukum Islam berasal dari Zat Yang Maha Benar dan Maha Mengetahui. Dalam Islam, balig (dewasa) menjadi ukuran bagi pelaksanaan hukum. Seseorang yang sudah balig dan akalnya berfungsi sempurna dianggap dewasa, terlepas dari usianya. Islam tidak mentoleransi tindak kejahatan hanya karena pelaku masih di bawah umur. Setiap orang yang sudah balig bertanggung jawab penuh atas perbuatannya.
Pendidikan dalam Islam tidak hanya berfokus pada teori, tetapi juga pada praktik dan aplikasi. Seorang pendidik dalam Islam tidak hanya puas jika peserta didik mampu menghafal materi, tetapi juga memastikan bahwa mereka mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Islam menekankan pentingnya membangun landasan iman dan keyakinan dalam diri peserta didik, sehingga mereka terdorong untuk menjauhi perbuatan yang merugikan orang lain, termasuk perundungan.
Dalam sistem Islam, negara (Khilafah) memiliki peran strategis dalam mengontrol pelaksanaan pendidikan dan menghilangkan hal-hal yang kontraproduktif, seperti tayangan kekerasan di media. Jika ada pelanggaran, negara akan memberikan sanksi yang manusiawi, sepadan, dan tegas. Sanksi ini tidak hanya bertujuan untuk mendidik pelaku, tetapi juga sebagai penebus dosa dan pencegah agar kesalahan serupa tidak terulang.
Oleh karenanya, menjadi PR bersama, selama sistem sekuler kapitalisme masih diterapkan, masalah perundungan akan terus terjadi. Sistem pendidikan dan hukum yang ada saat ini tidak mampu memberikan solusi yang tuntas. Sebaliknya, sistem pembelajaran Islam yang mengintegrasikan teori, praktik, dan sanksi yang tegas dapat menjadi solusi untuk mengatasi perundungan. Namun, hal ini membutuhkan dukungan terstruktur dengan menegakkan institusi pelaksana syariat Islam secara kaffah, yaitu Khilafah. Wallahualam bissawab.
Posting Komentar untuk "Mengurai Benang Kusut Perundungan: Antara Teori Pendidikan dan Praktik Nyata"