Perlakuan Terhadap Akad, Transaksi dan Ketetapan Sebelum Berdirinya Khilafah
Abu Dawud meriwayatkan dalam Sunan-nya, ia mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Hajjaj bin Abu Ya’kub, telah menceritakan kepada kami Musa bin Dawud, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin muslim, dari ‘Amr bin Dinar, dari Abu Sya’tsa’ dari Ibnu Abbas yang berkata bahwa Nabi saw bersabda:
«كُلُّ قَسْمٍ قُسِمَ فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَهُوَ عَلَى مَا قُسِمَ لَهُ وَكُلُّ قَسْمٍ أَدْرَكَهُ الْإِسْلَامُ فَهُوَ عَلَى قَسْمِ الْإِسْلَامِ»
“Setiap pembagian yang dibagikan pada masa jahiliyah adalah sesuai dengan aturan pembagian yang berlaku (pada masa itu), dan setiap pembagian yang dilakukan pada masa islam adalah sesuai dengan pembagian menurut aturan Islam.”
Penulis ‘Aunul Ma’būd berkata: “kullu qasm[in], qasm[in] (pembagian) adalah mashdar (kata infinitif), maksudnya adalah harta yang dibagi. Sedang “qusima” adalah shīghat majhūl (betuk pasif).
Dalam hal ini, al-Khaththabi berkata bahwa “hukum-hukum (ketetapan) terkait harta, sebab-sebab dan pernikahan yang telah terjadi di masa jahiliyah, tetap berlaku sebagaimana hukum yang telah ditetapkan kepadanya di masa jahiliyah. Sedangkan hukum-hukum yang terjadi di masa islam, maka diputuskan sesuai hukum-hukum islam.”
Al-Mundhiri berkata dan diriwayatkan oleh Ibnu Majah:
Al-Hafizh Syamsuddin Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan: Hal ini telah ditunjukkan oleh firman Allah SWT:
﴿ يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ وَذَرُواْ مَا بَقِيَ مِنَ ٱلرِّبَوٰٓاْ ﴾
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut).” (TQS. Al-Baqarah [2] : 278).
Firman Allah ini memerintahkan orang-orang beriman untuk meninggalkan riba yang belum mereka diterima, dan tidak melarangnya dari riba yang sudah mereka diterima, bahkan membiarkannya.
Begitu juga pernikahan, islam tidak melarang pernikahan yang sudah terjadi (sebelum islam), juga tidak mempermasalahkan tata cara akadnya, bahkan membiarkannya. Namun, islam membatalkan apa yang harus dibatalkannya karena ada dalil dalam islam yang mengharuskan pembatalannya, seperti menikah dengan dua orang perempuan yang bersaudara, dan menikahi perempuan lebih dari empat. Larangan ini sama dengan larangan mengambil sisa riba yang belum dipungutnya.
Demikian juga tentang harta, Nabi saw tidak pernah menanyakan siapapun setelah orang itu masuk islam, tentang hartanya serta bagaimana cara ia mendapatkannya, dan tidak pernah mempermasalahkan semua itu.
Ini adalah dasar-dasar syariah, dimana di atasnya dibangun banyak hukum (ketetapan).
Dalam hadits tersebut, Rasulullah saw menjelaskan bagaimana cara negara islam memperlakukan setiap ketetapan (hukum), akad dan transaksi yang sudah ditetapkan di masa jahiliyah … Ini adalah hukum (ketentuan) yang berlaku untuk setiap ketetapan (hukum), akad dan transaksi yang ditetapkan sekarang ini sesuai dengan hukum positif pada saat tiadanya (tidak diterapkannya) hukum syariah islam … Sehingga negara Khilafah yang akan tegak dalam waktu dekat, insya Allah, akan memperlakukan semua itu sebagaimana yang diajarkan oleh hadits, dan diperintahkan oleh ayat:
﴿ يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ وَذَرُواْ مَا بَقِيَ مِنَ ٱلرِّبَوٰٓاْ ﴾
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut).” (TQS. Al-Baqarah [2] : 278).
Begitulah yang dilakukan oleh Nabi saw ketika beliau telah mendirikan negara islam pertama di Madinah, Nabi saw tidak membatalkan setiap transaksi, akad dan ketetapan (hukum) di masa jahiliyah ketika negara mereka telah menjadi negara islam. Setelah penaklukan, Rasulullah saw tidak kembali ke rumahnya di Makkah, yang telah beliau tinggalkan, karena sepupunya Uqail bin Abi Thalib, sesuai undang-undang Quraisy, telah mewarisi rumah-rumah keluarganya yang telah masuk islam dan berhijrah, sehingga ia biasa memanfaatkan dan menjualnya, termasuk rumah Rasulullah saw, dan Rasulullah saw tidak membatalkan penjualan itu, bahkan beliau mengakuinya dan menyetujuinya. Imam Bukhari meriwayatkan dalam Shahīh-nya dari Usama bin Zaid yang berkata: Aku bertanya, wahai Rasulullah, dimana Anda tinggal besok? Beliau bersabda: “Apakah Uqail meninggalkan untuk kita sebuah rumah?”
Rasulullah saw juga tidak membatalkan akad pernikahan kaum muslim yang dilakukan sebelum mereka masuk islam, baik mereka Muhajirin maupun Anshar. Bahkan Rasulullah saw mengakuinya setelah mereka masuk islam. Ketika menantu Rasulullah saw, yaitu Abu al-Ash, suami dari putrinya Zainab, masuk islam, sementara Zainab telah masuk islam dan berhijrah sebelum suaminya, maka Rasulullah saw mengembalikan Zainab pada suaminya dengan akad pernikahan pertama yang dilakukan di masa jahiliyah sebelum keduanya masuk islam. Ibnu Majah meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah saw mengembalikan putrinya (Zainab) kepada suaminya Abu al-Ash bin al-Rabi’ dua tahun setelah akad pernikahannya yang pertama.
Dengan demikian, setiap akad, transaksi dan ketetapan yang telah disahkan dan dilaksanakan sebelum berdirinya Khilafah adalah sah bagi semua pihak sampai selesai pelaksanaannya sebelum berdirinya Khilafah. Sehingga pengadilan Khilafah tidak boleh mencabut dan membatalkannya, serta tidak boleh mengangkatnya kembali sebagai kasus baru; juga tidak diterima dakwaan baru lagi terkait kasus tersebut setelah berdirinya Khilafah, kecuali tiga kasus, yaitu:
Pertama, apabila ketetapan yang telah disahkan dan dilaksanakan itu memiliki efek (pengaruh) berkelanjutan yang bertentangan dengan islam, sebab Allah SWT berfirman:
﴿ يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ وَذَرُواْ مَا بَقِيَ مِنَ ٱلرِّبَوٰٓاْ ﴾
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut).” (TQS. Al-Baqarah [2] : 278).
Rasulullah saw telah membatalkan riba yang masih tersisa atas orang-orang setelah mereka berada di dalam negara islam, dan Beliau menetapkan hak mereka hanya pada harta pokoknya saja. Imam Abu Dawud telah meriwayatkan dari Sulaiman bin Amru dari bapaknya yang mengatakan: Aku mendengar Rasulullah saw, pada saat Haji Wada’, pernah bersabda:
«أَلَا إِنَّ كُلَّ رِبًا مِنْ رِبَا الْجَاهِلِيَّةِ مَوْضُوعٌ لَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ»
“Ingatlah, setiap riba dari riba Jahiliah telah batal. Bagi kalian adalah harta pokok kalian. (Dengan begitu) kalian tidak menzalimi dan tidak pula dizalimi.”
Begitu juga mereka yang beristri lebih dari empat orang menurut undang-undang jahiliah, maka setelah berdirinya negara islam mereka diharuskan hanya mempertahankan empat orang saja dari istri-istrinya dan mencerai selain itu. Imam at-Tirmidzi meriwayatkan dari Abdullah bin Umar:
«أَنَّ غَيْلَانَ بْنَ سَلَمَةَ الثَّقَفِيَّ أَسْلَمَ وَلَهُ عَشْرُ نِسْوَةٍ فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَأَسْلَمْنَ مَعَهُ فَأَمَرَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَتَخَيَّرَ أَرْبَعًا مِنْهُنَّ»
“Sesungguhnya Ghailan bin Salamah al-Tsaqafi masuk islam. Sementara ia memiliki sepuluh orang istri pada masa Jahiliah, dan para istrinya itu turut masuk islam bersamanya. Lalu, Nabi saw memerintahkan kepadanya agar memilih empat orang saja dari sepuluh orang istrinya itu (untuk tetap menjadi istrinya).”
Dengan demikian, setiap akad yang memiliki efek (pengaruh) berkelanjutan yang bertentangan dengan islam, maka efek (pengaruh) ini wajib dihilangkan ketika telah berdiri Khilafah.
Kedua, apabila kasusnya terkait mereka yang menyerang (menyakiti) islam dan kaum muslim.
Dalilnya adalah, karena Rasulullah saw, pada saat pembebasan Makkah, Beliau memutuskan untuk membunuh beberapa orang yang pernah menyerang (menyakiti) islam dan kaum muslim, pada masa jahiliah. Imam an-Nasa’i meriwayatkan dalam Sunan-nya dari Mush’ab bin Sa’di dari bapaknya yang mengatakan: Pada saat penaklukan Makkah, Rasulullah saw menjamin keamanan semua orang, kecuali empat orang laki-laki dan dua orang perempuan. Terkait mereka ini, Rasulullah saw bersabda: “Bunulah mereka, meski kalian menemukan mereka tengah bergelantungan di kain penutup Ka’bah.” Padahal, semua tahu bahwa Rasulullah saw pernah bersabda:
«الإِسْلاَمُ يَجُبُّ مَا قَبْلَهُ»
“Islam membatalkan (menganulir) apa saja yang terjadi sebelum islam.” (HR Ahmad dan ath-Thabrani dari Amru bin al-‘Ash).
Dengan kata lain, bahwa siapa saja yang telah menyerang dan menyakiti islam dan kaum muslim, maka ia dikecualikan dari ketentuan hadits ini.
Sebagaimana Rasulullah saw yang memberi pengampunan kepada sebagian dari mereka, seperti pengampunan yang Beliau berikan kepada Ikrimah bin Abi jahal, maka khalifah boleh mengangkat kembali kasus mereka atau memberi pengampunan pada mereka. Ketentuan ini tidak berlaku bagi siapa saja yang pernah menyiksa kaum muslim yang mengatakan kebenaran (berdakwah) atau siapa saja yang menghina islam. Sehingga untuk kasus mereka ini tidak diberlakukan hadits:
»الإِسْلاَمُ يَجُبُّ مَا قَبْلَهُ«
“Islam membatalkan (menganulir) apa saja yang terjadi sebelum Islam.”
Mereka dikecualikan dari ketentuan hadits tersebut, dan kasus mereka boleh diangkat kembali—setelah Khilafah berdiri—menurut pandangan dan pendapat khalifah.
Ketiga, apabila terkait dengan harta jarahan, yang masih di tangan orang yang menjarah.
Dalilnya adalah, bahwa Rasulullah saw menerima tuntutan (dakwaan) seseorang atas orang lain yang didakwa telah menjarah tanahnya di masa jahiliyah, dan Beliau tidak menolak dakwaan itu. Imam muslim meriwayatkan dalam Shahīh-nya dari Wail bin Hujr yang berkata: “Saya berada di samping Rasulullah saw, lalu datanglah dua orang laki-laki kepada beliau untuk mengadukan perselisihan mereka berkenaan dengan sebidang tanah. Salah seorang dari keduanya berkata: ‘Wahai Rasulullah, orang ini menguasai (menjarah) tanahku pada masa jahiliyah.’ Orang itu (penuntut) adalah Umru’ al-Qais bin Abis al-Kindi, sedangkan rivalnya (terdakwa) adalah Rabi’ah bin ‘Ibdan. Beliau lalu bertanya (pada penuntut): ‘Mana buktimu? ‘ Dia (penuntut) menjawab: ‘Saya tidak mempunyai bukti.’ Beliau bersabda: ‘Dia (terdakwa) harus bersumpah.’ Dia (penuntut) berkata: ‘Jadi, dia bisa memenangkan kasus ini (dengan sumpahnya)!’ Rasulullah bersabda: ‘Kamu (penuntut) tidak memiliki hak selain itu (mengakui sumpah rivalnya).’ Dia (perawi) berkata: ‘Ketika (terdakwa) berdiri untuk bersumpah, maka Rasulullah bersabda: ‘Barangsiapa mengambil tanah secara zalim, maka dia akan bertemu Allah sementara Allah murka (kepadanya)’.”
Oleh karena itu setiap orang yang merampas tanah, menjarah binatang ternak atau harta benda yang dimiliki oleh individu, atau menjarah harta benda dari kepemilikan umum atau kepemilikan negara, maka dakwaan terkait kasus ini diterima setelah berdirinya negara Khilafah.
Adapun selain tiga kasus tersebut, maka setiap akad, transaksi dan ketetapan tidak boleh dibatalkan dan tidak boleh diangkat kembali selama hal-hal tersebut telah disahkan dan telah dilaksanakan sebelum berdirinya Khilafah. Misalnya, pengadilan tidak akan menerima tuntutan (dakwaan) terhadap seseorang dalam kasus dimana ia divonis secara tidak adil, sementara hukuman telah dijalankan sebelum berdirinya Khilafah, karena kasus ini telah terjadi dan selesai pelaksanaan vonisnya, sehingga tidak ada yang bisa dilakukannya selain menyerahkan urusannya kepada Allah.
Adapun jika seseorang divonis sepuluh tahun dan telah berjalan dua tahun, kemudian Khilafah berdiri, maka dalam hal ini Khalifah akan mempertimbangkan perkara tersebut. Khalifah bisa menghapus sanksi yang divoniskannya, lalu mengeluarkan dari penjara, dan membebaskannya dari semua dakwaan. Bisa juga Khalifah mencukupkan dengan apa yang sudah dijalani, artinya vonis kepadanya hanya dua tahun, dan Khalifah mengeluarkannya dari penjara. Dan bisa juga Khalifah mengkaji kembali hukuman yang masih tersisa, dengan memperhatikan hukum syariah yang memiliki kaitan dengan kemaslahatan rakyat, khususnya kasus-kasus yang berkaitan dengan hak-hak perorangan, serta hal-hal yang bisa memperbaiki hubungan di tengah rakyat. []
Sumber: hizb-ut-tahrir.info, 04/10/2015
Posting Komentar untuk "Perlakuan Terhadap Akad, Transaksi dan Ketetapan Sebelum Berdirinya Khilafah"