Nasehat Berharga Syaikh Thalib Awadallah Kepada Syabab Hizbut Tahrir Dalam Berdebat
Syaikh Thallib Awadallah, beliau termasuk generasi pertama dalam
barisan aktifis Hizbut-Tahrir (HT) yang pernah mendapatkan halqah dari
al-Imam al-’Allamah as-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullâh,
pendiri Hizbut Tahrir, beliau pengarang kitab ahbabullah
(kekasih-kekasih Allah), beliau memberikan nasehat kepada syabab para
hamilud dakwah dimana saat Hizb dituduh kafir, sesat dan melanggar
hal-hal yang haram. Ide-ide yang diadopsi Hizb disalah-salahkan dan
dinilai kufur dengan fatwa-fatwa buatan yang dibuat oleh orang yang
tidak memiliki ketakwaan di dalam agama Allah, dan oleh orang-orang yang
memiliki gelar akademis, berjenggot panjang, bersorban dan berjubah
serta mereka yang memiliki kecenderungan kependetaan (clerical).
Beliau berkata :
Para pengemban dakwah tidak boleh menyibukkan diri membantah
tuduhan-tuduhan orang-orang yang suka berbuat fasad itu. Para pengemban
dakwah juga tidak boleh menilai orang yang tujuan-tujuannya telah
disesatkan oleh Allah itu sebagai musuh dan kemudian melayani mereka
dalam berbagai diskusi, di media massa dan forum-forum. Akan tetapi kita
harus tetap mendoakan mereka agar mendapat petunjuk dan mendebat
(berdiskusi dengan) mereka dengan cara yang lebih baik semampu yang bisa
kita upayakan. Maka hendaknya kita tidak menyerang mereka, tidak
mencaci mereka dengan pena-pena seorang pencaci dan dengan tingkat
pemikiran rendah yang mereka tempuh. Harapan orang-orang itu dan
orang-orang yang ada di belakang mereka adalah untuk menarik kita dalam
suasana penuh celaan dan cacian yang akan melencengkan syabab dari jalan
mulia yakni aktivitas mengemban dakwah ke level yang rendah. Para
pengemban dakwah tidak pantas dengan sebab apapun melorot ke level
rendah itu.
Begitu juga para pengemban dakwah tidak boleh terselewengkan dengan
cara apapun dari mabdanya untuk melakukan pertarungan dan pergolakan
pemikiran di rawa-rawa pemikiran yang penuh dengan bau busuk. Siapa saja
yang terjatuh ke dalamnya ia harus membersihkan dirinya. Juga termasuk
hal berbahaya adalah menjawab tantangan untuk membela Hizb dan
pemikirannya atau kita menerima Hizb dan pemikirannya diposisikan
sebagai tertuduh dan akhirnya kita bertindak defensiv.
Perlu diperhatikan bahwa di dalam mimpi buruk ini akan muncul
fatwa-fatwa sesat dan pemikiran-pemikiran yang dilabeli Islam, padahal
Islam berlepas diri dari semua itu. Juga akan muncul penyelewengan makna
berbagai nash yang sengaja dilakukan demi meraih kepentingan pribadi.
Dalam kondisi seperti ini, kewajiban pengemban dakwah dalah menjelaskan
kepada masyarakat kerusakan pemikiranpemikiran itu, menjelaskan
kerusakan orang fasid dari pemikiran-pemikiran yang disodorkan. Juga
menjelaskan kerusakan fatwa-fatwa ulama su’.
Semua itu harus dilakukan dengan disertai dalil-dalil syar’iy dan
ketentuan-ketentuan syariat dalam berdiskusi, tanpa mengeluarkan cacian,
celaan dan menyerang pribadi-pribadi atau gerakan yang melakukan
kerusakan itu dan menyebut nama-nama mereka. Dialog dan penjelasan tidak
boleh mengandung uslub defensiveness (kepasrahan bertahan). Harus
dihindari memposisikan ide-ide, dakwah dan agama kita berada dalam
posisi tertuduh yang hendak dihakimi yang dibela. Dalam hal ini,
literalism jahiliyah (ketidaktahuan) dan penilaian keliru dalam
menentukan sikap dan perbuatan tidak boleh diikuti. Sebagai contoh,
beberapa kebohongan yang dibuat-buat sengaja dilontarkan untuk menyerang
syabab dakwah seperti perkataan “orang yang duduk tidak bisa memberi fatwa kepada orang yang berjuang” –menuduh syabab sebagai orang yang duduk saja dan tidak berjuang-, juga semisal ungkapan “tinggalkan saja orang-orang yang tertinggal dari jihad di Palestina” –ungkapan ini menilai syabab sebagai bukan mujahid-.
Semua ungkapan itu sebagai balasan riil atas peringatan para syabab
kepada masyarakat agar tidak ikut serta dalam pemilu. Dalam semisal
kondisi ini, harus dijelaskan kepada masyarakat seluruh makna syar’iy
tentang alqâ’idîn (orang yang duduk-duduk saja) dan ia adalah
mereka yang duduk-duduk saja dari aktivitas untuk mewujudkan khilafah
sebagai yang paling wajib diantara kewajiban syariat. Dan harus
dijelaskan pula hukum Allah tentang fatwa orang yang duduk kepada
mujahid, tentang jenis-jenis jihad, hukum jihad melawan musuh agresor,
jenis-jenis pencaplokan di Palestina dan apakah defnisi musuh yang
agresor bisa diterapkan atau tidak. Adalah naif jika dikatakan ini
adalah defensif, kami tidak defensif. Tetapi ini adalah mengatakan
kebenaran secara terangterangan, sesuatu yang dituntut oleh syariat.
Mundur dari aktivitas ini artinya berpaling dari jalan Allah dan mundur
dari melaksanakan kewajiban yang diwajibkan oleh Allah SWT. Dalam
kondisi ini pengemban dakwah wajib menjelaskan kebenaran dari kebatilan
dengan terus terang dan menantang hanya takut kepada Allah SWT.
Sikap mengalah yang harus dijauhi oleh pengemban dakwah dalam kondisi
ini adalah beradaptasi dengan orang yang tidak bertakwa kepada Allah
baik dalam perkataan maupun perbuatan. Juga beradaptasi dengan berbagai
fatwa. Hal itu dilakukan dengan anggapan itu lebih baik untuk tidak
menimbulkan fitnah. Kondisi ini justru akan menggelincirkan pengemban
dakwah dari menyatakan hukum-hukum Allah secara terang-terangan dan
menantang, kepada sikap mengadaptasi, menjilat dan hipokrit. Dengan itu
sama saja kita telah mengantarkan dakwah kita kepada kegelapan
mimpi-mimpi buruk dan takut berhadapan. Kondisi itu merupakan kondisi
orang yang menahan kebaikan dan menahan tidak menyatakan kebenaran
secara terang-terangan. Dengan itu pengemban dakwah justru berubah
menjadi setan yang bisu yang tidak ditoleransi oleh Allah.[]
Di kutib dari buku ahbabullah, bab “Mimpi Buruk Yang Mematikan” [Adi Victoria]
Posting Komentar untuk "Nasehat Berharga Syaikh Thalib Awadallah Kepada Syabab Hizbut Tahrir Dalam Berdebat"