NU, NKRI dan Khilafah
Spanduk Warga Nahdliyin Rindu Khilafah Pada KKI 2007
|
Bahkan SETARA Institute – sebuah LSM Liberal — dibuat kaget oleh
hasil surveynya sendiri di akhir tahun 2010 ini, bahwa ternyata gagasan
Khilafah yang semula asing itu sudah didukung oleh 34,6 % responden.
Pernyataan di atas juga tak perlu direaksi secara emosional oleh para
pejuang Khilafah, namun cukup ditanggapi secara arif dan argumentative
berkepala dingin. Malah sebaiknya menurut kata hikmah Imam Syafii
rahimahullah, FA KHOIRU MIN IJABATIHI AS SUKUUT, jawabnya lebih baik
diam.
Sebagai respon atas kegelisahan Struktur Nahdliyin (karena tidak
semua Nahdliyin menolak Khilafah), maka berbagai fakta empiris historis
dan sejumlah narasi normative dari sumber turats Islam klasik serta
kuatnya opini syariah dan khilafah di tengah ummat, dapat kiranya
dijadikan bahan masukan para pihak penolak Khilafah. Dengan ini
mudah-mudahan mampu memberikan bayan (klarifikasi) atas kesalahfaman
mereka kepada gagasan tersebut, yang kesemuanya akan diurai secara
ringkas di bawah ini.
Sejarah Jejak Keterkaitan Nusantara dengan Khilafah
Adalah sikap ahistoris menolak ide khilafah mengingat ditemukan
sejumlah bukti sejarah yang terhubung sangat erat melalui peran Khilafah
dengan sejarah lahirnya umat Islam di negeri ini. Terutama masuknya
Islam di tanah Jawa tidak bisa dilepaskan peran Khilafah Utsmaniyah
Sultan Muhammad I. Khalifah ini secara bergelombang mengutus dai-dai
transnasional ke tanah Jawa untuk menyebarkan agama Islam.
Tersebutlah Maulnana Malik Ibrahim (pakar tata negara Turki), Syaikh
Jumadil Kubro-Mesir (dimakamkan di komplek Trowulan), Syaikh Maulana
Israil, Syaik Ahmad Subakir, Syaikh Samarkand (Asmarokondi), dsb.
Dilanjutkan gelombang kedua yang dikenal dengan Wali Songo, diantaranya
Sayyid Ja’far Shodiq Al Quds (Sunan Qudus/Ahli Militer) dan Syarif
Hidayatullah.
Tokoh-tokoh diatas tak dipungkiri lagi dalam komunitas Nahdliyin
dikenal sebagai Waliyullah yang sangat dihormati. Fakta sejarah lain
bisa disimak berikut ini:
- Pasukan khilafah Turki Utsmani tiba di Aceh (1566-1577) termasuk para ahli senjata api, penembak dan para teknisi. untuk mengamankan wilayah Syamatiirah (Sumatera) dari Portugis. Dengan bantuan ini Aceh menyerang Portugis di Malaka.
- Pengakuan terhadap kebesaran Khilafah dibuktikan dengan adanya dua pucuk surat yang dikirimkan oleh Maharaja Sriwijaya kepada Khalifah masa Bani Umayah. Surat pertama dikirim kepada Muawiyah dan surat kedua dikirim kepada Umar bin Abdul Aziz.
- Sebuah medali emas yang dipersembahkan oleh Khalifah Ustmani di Turki kepada utusan Sultan Thaha Syaifuddin yang datang meminta pertolongan Khalifah untuk melawan penjajahan Belanda di Jambi.
- Tahun 100 H (718 M) Raja Sriwijaya Jambi yang bernama Srindravarman mengirim surat kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz dari Khilafah Bani Umayah meminta dikirimkan da`i yang bisa menjelaskan Islam kepadanya. Dua tahun kemudian, yakni tahun 720 M, Raja Srindravarman, yang semula Hindu, masuk Islam. Sriwijaya Jambi pun dikenal dengan nama Sribuza Islam.
- Deureuham adalah mata uang Aceh pertama yang diambil dari bahasa Arab dirham. Beratnya 0,57gram kadar 18 karat diameter 1 cm, berhuruf Arab di kedua sisinya.
- Gelar Sultan Kesulatanan Islam di nusantara dinyatakan sah apalbila telah ditetapkan oleh Syarif Makkah. Syarif Makkah adalah pejabat Khilafah Utmaniah setingkat wali/ Gubernur yang diberi kewenangan mengankat para Sultan.Pada era kolonialisme gelar Sultan amat sangat ditakuti Belanda. Karenaya tidak mengherankan jika Pangeran Diponegoro menyematkan gelarnya: “ Senopati Ing Alogo Sultan Abdul Hamid Erucokro Amirul Mukminin Tanah Jowo Sayidi Panotogomo”. Sultan Abdul Hamid adah nama Khalifah Utmaniyah dan Erucokro adalah Sultan Mataram saat itu.
- Dalam peran internasionalnya NU juga tidak bisa dipisahkan dari perjuangan penegakan Khilafah yang menjadi agenda penting umat Islam saat itu. Sebagai respon terhadap keruntuhan khilafah sebuah komite didirikan di Surabaya pada tanggal 4 Oktober 1924 diketuai oleh Wondosoedirdjo (kemudian dikenal sebagai Wondoamiseno) dari Sarekat Islam dan wakil ketua KHA. Wahab Hasbullah(salah satu pendiri NU). Tujuannya untuk membahas undangan kongres khilafah di Kairo.
Pertemuan ini ditindaklanjuti dengan menyelenggarakan Kongres
Al-Islam Hindia III di Surabaya pada tanggal 24-27 Desember 1924,
Keputusan penting kongres ini adalah melibatkan diri dalam pergerakan
khilafah dan mengirimkan utusan yang harus dianggap sebagai wakil umat
Islam Indonesia ke kongres dunia Islam. Kongres ini memutuskan untuk
mengirim sebuah delegasi ke Kairo yang terdiri dari Suryopranoto (SI),
Haji Fakhruddin (Muhammadiyah) dan KHA. Wahab dari kalangan tradisi.
Khilafah: Salah satu Prinsip Aswaja
Definisi Ahlus Sunnah wal Jamaah, menurut Nashir bin Abdul
Karim Al-Aql, adalah golongan kaum muslimin yang berpegang dan mengikuti
As-Sunnah (sehingga disebut ahlus sunnah) dan bersatu di atas kebenaran
(al-haq), bersatu di bawah para imam (khalifah) dan tidak
keluar dari jemaah mereka (sehingga disebut wal jamaah). (Nashir bin
Abdul Karim Al-Aql, Rumusan Praktis Aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah, Solo
: Pustaka Istiqomah, 1992, hal. 16). Definisi yang seumpamanya
disampaikan oleh Syekh Abdul Qadir Jailani di dalam kitabnya Al-Ghaniyah, yang menjelaskan tentang ahlus sunah sebagai perbuatan yang mengikuti segala yang ditetapkan Nabi SAW (maa sannahu rasulullah SAW).
Dan disebut wal jamaah, kerana mengikuti ijma’ sahabat mengenai keabsahan kekhilafahan empat khalifah dari Khulafa` Rasyidin) (maa ittifaqa ‘alaihi ashhabu rasulillah fi khilafah al-a`immah al-arba’ah al khulafa` ar-rasyidin). (Balukia Syakir, Ahlus Sunnah wal Jamaah, Bandung : Sinar Baru, 1992, hal. 31)
Dari pengertian Ahlus Sunah Wal Jamaah di atas, jelas sekali bahwa
perjuangan menegakkan Khilafah dengan sendirinya sangat sinonim dengan
ajaran Ahlus Sunah Wal Jamaah. Ini kerana, Khilafah berkati rapat dengan
istilah wal jamaah. Jadi, jamaah di sini maksudnya adalah kaum muslimin
yang hidup di bawah kepimpinan khalifah dalam negara Khilafah. Khilafah
merupakan prinsip dasar yang sama sekali tidak terpisah dengan Ahlus
Sunah Wal Jamaah.
Kesatuan Ahlus Sunah Wal Jamaah dan Khilafah ini akan lebih dapat
dipastikan lagi, jika kita menelaah kitab-kitab yang membahaskan aqidah
Ahlus Sunnah wal Jamaah. Dalam kitab-kitab aqidah itu, semuanya
menetapkan wajibnya Khilafah. Dalam kitab Al Fiqhul Akbar (Bandung :
Pustaka, 1988), karya Imam Abu Hanifah (w. 150 H) dan Imam Syafi’i (w.
204 H), terdapat fasal yang menegaskan kewajiban mengangkat imam
(khalifah) (fasal 61-62).
Dalam kitab Al-Farqu Baina Al-Firaq, karya Imam Abdul Qahir
Al-Baghdadi (w. 429 H) menerangkan 15 prinsip Ahlus Sunah Wal Jamaah.
Prinsip ke-12 adalah kewajiban adanya Khilafah (Imamah). Kata Abdul
Qahir al-Baghdadi,”Inna al-imaamah fardhun ‘ala al-ummah.”
(sesungguhnya Imamah [Khilafah] fardhu atas umat). (Lihat Imam Abdul
Qahir Al-Baghdadi, Al-Farqu Baina Al-Firaq, Beirut : Darul Kutub
Al-Ilmiah, 2005, hal. 270). Dalam kitab Al-Masa`il Al-Khamsuun fi Ushul Ad-Din hal.
70, karya Imam Fakhruddin Ar-Razi (w. 606 H) beliau mengatakan,
“Mengangkat Imam [khalifah] adalah wajib ke atas umat Islam.” Pernyataan
serupa juga ditegaskan oleh Imam Ibnu Hazm (w. 456 H) dalam kitabnya ‘Ilmu Al-Kalam ‘Ala Mazhab Ahlis Sunnah wal Jamaah hal. 94 pada bab Mas`alah fi Al-Imamah.
Hal yang sama juga terdapat dalam kitab Al-Hushuun Al-Hamidiyah Lil Muhafadhati ‘Ala al ‘Aqaidi al Islamiyah,
karya Sayyid Husain Efendi, hal.189, beliau mengatakan,”Ketahuilah
bahawa wajib atas kaum muslimin secara syara’ untuk mengangkat seorang
Khalifah…” (i’lam annahu yajibu ‘ala al-muslimin syar’an nashb Imamin…).
Kitab ini termasuk jenis Kitab Tauhid yang wajib diajarkan di Pesantren
Salaf. Bab Khilafah sengaja diletakkan di bagian akhir sebagai
pamungkas lantaran Khilafah adalah institusi paling penting untuk
menjaga Aqidah Islam, penegak hudud, dan pengatur segala urusan politik
dalam maupun luar negeri.
Selain dalam kitab-kitab aqidah seperti dicontohkan di atas, dalam
kitab-kitab tafsir, hadis, atau fiqih akan ditemukan kesimpulan serupa
bahawa Khilafah memang kewajiban syar’i menurut Ahlus Sunah Wal Jamaah.
Imam Al-Qurthubi dalam tafsir Al-Qurthubi (1/264) menyatakan,”Tidak ada
perbezaan pendapat mengenai wajibnya yang demikian itu (Khilafah) di
antara umat dan para imam, kecuali yang diriwayatkan dari Al-Asham, yang
memang asham (tuli) dari syariah (laa khilaafa fi wujubi dzaalika
baina al-ummah wa laa baina al-aimmah illa maa ruwiya ‘an al-asham
haitsu kaana ‘an asy-syariah asham…). Imam Nawawi dalam Syarah
Muslim (12/205) berkata,”Ulama sepakat bahawa wajib atas kaum muslimin
mengangkat seorang khalifah.” (ajma’uu ‘alaa annahu yajibu ‘ala al-muslimin nashbu khalifah).
Imam Mawardi dalam Al-Ahkam As-Sulthoniyah hal. 5 berkata,”Mengadakan akad Imamah bagi orang yang melaksanakannya di tengah umat, adalah wajib menurut ijma’.” (aqdul imamah liman yaquumu bihaa fi al-ummah waajibun bil ijma’).
Jelaslah, bahawa Khilafah adalah memang ajaran asli dan murni Ahlus
Sunah Wal Jamaah dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Khilafah
adalah wajib menurut Ahlus Sunah Wal Jamaah.
Dengan demikian adalah sungguh aneh bin ajaib jika ada individu atau
kelompok yang mengaku penganut Ahlus Sunah Wal Jamaah, tetapi
mengingkari atau bahkan menolak Khilafah. Pengingkaran penganut Ahlus
Sunah Wal Jamaah terhadap Khilafah adalah batil. Ini jelas-jelas upaya
keji dan jahat untuk membinasakan, menghancurkan, dan memalsukan ajaran
Ahlus Sunah Wal Jamaah dari prinsip dasarnya.
Maka kepada para pihak penghadang khilafah, sebagian narasi teks di
atas harus dibantah lebih dahulu sebelum mengeluarkan statemen menolak
ide khilafah. Bentuknya harus berupa hasil kajian Bahtsul Masaail
yang dipublkasikan dan diuji dalam forum intelektual yang kredibel.
Tetapi ini akan sulit dilakukan, sebab ide khilafah apalagi tathbiq
as-syariah itu termaktub dalam lembar demi lembar Kitab-kitab kuning
yang terlanjur menjadi maraji’, maqayis (standarisasi) dan qanaat
(keyakinan) komunitas Ulama dan santri.
Jadi secara ‘fitrah’ dan fikrah, dunia pesantren akan lebih mudah
mengadopsi ide Khilafah daripada menolaknya. Menolak ide ini berarti
harus ‘membakar’ dan men-Delete kemapanan aqwal, fatwa dan ijtihad para
Ulama Salaf. Tentu bila mengambil langkah ini, kita akan ‘kualat’ dan
pasti dikutuk oleh Allah SWT, sebagaimana firman-Nya …“KAMATSALI AL
HIMARI YAHMILU ASFAARA”.
Dinamika Opini Syariah dan Khilafah
Majalah Gatra edisi 25; Mei 2006 dengan cover menyolok NEGERI SYARIAH
TINGGAL SELANGKAH”, memuat Laporan Utama berbunyi “Gelora Syariah
Mengepung Kota” menyimpulkan bahwa saat ini Indonesia memang telah masuk
dalam kategori “Negeri Syariah & Insya Alloh ‘Negara syariah’ hanya
tinggal selangkah lagi. BBC News, 25/04/2007 menulis “In solving all
the problems of the curret wordl today, muslim in muslim countries agree
to reestablish/restore Islamic State.
Sementara PPIM UNIS Syahid, melaporkan bahwa di tahun 2002 67 %
responden setuju pemerintahan berdasarkan Syariat islam adalah yang
terbaik buat Indonesia. Pada tahun 2003 angkanya meningkat menjadi 75 %.
Ketum GMPI M. Danial Nafis pada penutupan Konggres I GMPI di Asrama
Haji Pondok Gede, Jakarta, 03/032008 mengungkap hasilsurvey yang
dilakukan gerakan nasionalis pada tahun 2006, sebanyak 80 % mahasiswa
dari kampus ternama meliputi UI,ITB, UGM, Unair dan Unibraw, memilih
Syariah sebagai pandangan hidup berbangsa dan bernegara.
Wajarlah kemudian jika engamat sekaligus pakar ekonomi & politik
internasional Northwestern University Prof. Jeffrey A. Winter ketika
berbicara di UK Atmajaya Jakarta 22/4/2009 menyatakan bahwa saat ini
telah sangat jelas terlihat adanya fenomena gerakan yang mampu masuk ke
grassroot dalam upaya menjawab berbagai masalah dan merubah politik di
Indonesia kea rah lebih bernuansa islami hingga menjadi Negara Islam
dalam tempo 5 – 25 tahun mendatang.
Bahkan AM Hendropriyono mantan Kepala BIN dengan terbuka menyatakan:
“semestinya setelah thesis Liberal-Kapitalisme gagal mensejahterkan
dunia, Kekhalifahan seharusnya muncul sebagai penggantinya. Karenanya,
Islam perlu menjawab tantangan globalisasi dengan membangun Kekhalifahan
Universal. Hanya system ini yang bisa mengatur dan mensejahterkan
dunia, karena tatanan Sekuler-Kapitalisme telah gagal”. (Sabili No.
19/Th XVI, 9/4/2009).
Dinamika di atas mestinya membuat kita semakin antusias untuk
menyambut abad The New Wordl Order di bawah naungan Khilafah. Arus
Khilafah tak terbendung lagi, maka siapapun yang tidak mau mengambil
bagian dalam arus ini akan terbuang dan terkubur dalam sampah sejarah.
Oleh karena itu begitu semangatnya para Ulama Akherat menyambut abad
khilafah terucaplah suara hati dari lisan yang bersih dan mulia seorang
Abah Hideung, Pimpinan Ponpes an-Nidzamiyah Cicurug Sukabumi Jabar pada
Liqa’ Besar Alim Ulama Penegak Syariah dan Khilafah di Surabaya. Beliau
dengan nada bergetar menyatakan, “Maka tampaklah kepada dunia konsep
kehidupan yang telah dicontohkan oleh Rasul serta para Khalifah
sesudahnya. Kini dunia tengah menunggu system baru. Percayalah, sebentar
lagi –menurut ukuran sejarah, malam akan berganti siang. Sekali biji
tertanam, akar akan terhujam, batang akan merindang, pohon Khilafah dan
Syariah akan panen di setiap ruang dan waktu di ujung akhir nafas
sejarah, dengan sezin Allah SWT”.
NKRI Yang Tersandera dan Terjajah
Adalah fakta dan problema internal NKRI hari ini telah direspon
secara tegas dalam KUII ke V 7 .s.d 10 Mei 2010 di Asrama Haji Pondok
Gede Jakarta, yang dihadiri oleh sekitar 800 utusan MUI seluruh
Indonesia, berbagai Lembaga & Badan serta ORmas Islam telah
melahirkan Deklarasi Jakarta 2010 yang menyatakan: “Pentingnya
kepemimipinan umat sebagai perwujudan perjuangan menerapkan amar makruf
nahi munkar dalam rangka menegakkan Syariah islam pada seluruh asepk
kehidupan bangsa dan Negara. Seiring itu pranata system hokum
warisankolinial Belanda dan yang bertentangan dengan Syariah Islam harus
diperbaharui, dmeikian juga produk hokum yang mengandung Sekularisme,
Liberalisme dan Kapitalisme harus ditangkal”. (www.mui.or.id)
Statemen di atas menggambarkan dengan tegas NKRI tersandera dan
terjajah oleh sekularisme, libelarilme dan kapitalisme. Jika pada Era
Orde Lama Negeri ini jadi objek eksperimen Demokrasi Liberal (RIS),
Demokrasi Terpimpin dan Sukarnoisme (Nasakom) dengan poros
Soviet-Peking. Maka era Orde Baru arus Sosialime-Komunisme diputarbalik
ke arah kapitalisme Sekuler dengan poros AS.
Namun di era reformasi AS terpaksa mengikuti kehendak public untuk
melengserkan rezim diktaktor ala Suharto. AS pun dengan cepat mendukung
public guna reformasi wajah alias operasi plastik dengan mengganti rezim
baru yang lebih demokratis. Yakni sebuah rezim yang lebih pro AS,
mengadopsi neo-liberalisme dalam ekonomi, Demokrasi Sipil dalam politik,
permisiv dalam budaya barat (pornografi-aksi), pluralism agama dan
keyakinan, dan layanan public yang semakin kapitlistik.
Arena politIk yang mestinya sarat perjuangan untuk membela hak-hak
rakyat kini berubah jadi ajang bisnis. Para politisi agar bisa duduk di
singasana kekuasaan membutuhkan modal milyaran bahkan trilyunan untuk
kursi yang lebih tenggi. Agar balik modal para politisi itu berlomba
jadi makelar proyek disamping makelar undang-undang.
Konon tarif per undang-undang saat ini bisa mencapai 11 milyar.
Penyebabnya kelompok kepentingan baik dalam negeri maupun asing untuk
menjalankan agenda busuknya sangat membutuhkan payung hukum. Tidak ada
cara lain kecuali mereka harus menyuap para legislator. Para legislator
akhirnya bermandikan uang, sementara rakyat harus mengerang menahan
lapar bernasib malang.
Era reformasi membawa negeri ini berlayar tanpa visi dan jatidiri.
Harga dirinya tergadaikan. Kemandirian, kemerdekaan dan kepercayaan diri
musnah. Benarlah curhat Prof. Habibie pada peringatan lahirnya
Pancasila, bahwa negeri ini dikendalikan oleh Neo-VOC. Beliau juga
bersedih melihat 48.000 insinyur dengan well-educated lari mencari
pekerjaan di luar negeri. Sebab industry dirgantara harus bubar demi
mengikuti LOI IMF.
Belum lagi SDA berupa minyak, gas, mas dan mineral lain nyaris semua
jatuh ke Multinasional Corparation. Ini semua konsekuensi kebijakan
liberalisasi sector migas, dan UU Minerba. Regulasi ini lahir dari
konspirasi jahat para kapitalis dan kompradornya melalui parlemen hasil
pesta demokrasi.
Liberalisasi di sektor budaya melahirkan life style baru westomania.
Remaja dugem, pesta narkoba hingga perilaku sex bebas mengancam generasi
negeri ini. Ditemukan data dan fakta mengerikan bahwa lebih dari 50 %
remaja putrid di kota-kota besar mengakui sudah tidak virgin lagi.
Angka kriminalitas pasca reformasi mengalami peningkatan luar biasa.
Kejahatan di ibukota hitunganya tidak lagi menit namun sudah per detik.
Inilah pengaruh langsung ideologi Kapitalisme Sekuler. Jenis Ideologi
transasional seperti inilah biang keladi masalah dan ancaman riel negeri
ini. Jadi mana yang lebih berbahaya bagi NKRI, Kapitalisme-Sekuler atau
Khilafah-Syariah? Wallahu A’lam.
Ditulis Oleh :
Al-Faqir A. Baedlowi An-Nawy (Alumni Ponpes Salafiyah Al Huda Oro-oro Ombo Madiun) dimuat juga di Eramuslim.Com
Al-Faqir A. Baedlowi An-Nawy (Alumni Ponpes Salafiyah Al Huda Oro-oro Ombo Madiun) dimuat juga di Eramuslim.Com
1 komentar untuk "NU, NKRI dan Khilafah"