Perang Salib Modern
Pertempuran
di Suriah telah menjadi “induk pertempuran” bersejarah dan strategis
bagi setiap kekuatan dan kelompok yang ingin membentuk tata dunia baru
sesuai dengan kepentingannya –
Samir Hijawi (Wartawan Jordania, Assyarq Qatar)
Apa yang ditulis oleh Samir Hijawi itu memang benar. Syam memang
mempunyai sejarah, bukan hanya bagi umat Islam, tetapi juga Kristen
(Eropa) dan Yahudi (Israel). Bagi umat Islam, Syam adalah bumi penuh
berkah. Di sana tempat para Nabi dan Rasul diutus oleh Allah. Di sana,
Nabi Muhammad saw diperjalankan, dan dimikrajkan ke Sidratil Muntaha.
Bagi umat Kristiani, wilayah Syam, dahulu adalah bagian dari imperium
Romawi Timur, Bizantium. Sementara bagi umat Yahudi, Syam juga diklaim
menjadi tempat suci mereka, dimana Haikal Sulaiman berada di sana.
Bisyârah jatuhnya Syam ke tangan kaum Muslim ditunjukkan
oleh Allah sejak Nabi Muhammad saw dilahirkan. Saat Nabi lahir, cahaya
terpancar mengiringi kelahirannya. Cahaya itu menerangi istana-istana
Syam.[1]
Peristiwa Isra’ dan Mikraj Nabi saw dari Masjidil Haram, di Makkah, ke
Masjid al-Aqsa, di Palestina, serta ditunjuknya Nabi saw untuk menjadi
imam para Nabi dan Rasul sebelumnya di Masjid al-Aqsa juga menguatkan Bisyârah itu. Setelah itu, Nabi pun berulangkali menegaskan, “Uqru Dâr al-Islâm bi as-Syâm (Pusat negara Islam ada di Syam).”[2]
Padahal saat itu, wilayah Syam merupakan pusat kekuasaan Romawi
Timur, Bizantium. Syam pun belum ditaklukkan oleh kaum Muslim semasa
hidup Nabi saw. Setelah Nabi mengirim surat kepada Heraklius pada tahun 6
H, maka upaya pertama kali yang dilakukan oleh Nabi saw untuk
menaklukkan wilayah itu dimulai pada tahun 10 H, saat Perang Mu’tah.
Dalam peperangan ini, Khalid bin Walid muncul sebagai pahlawan,
sekaligus membuktikan kebenaran sabda Nabi saw. Setelah itu, sejarah
kepahlawan Khalid pun ditorehkan dalam sejarah penaklukan Syam, saat
Perang Yarmuk, penaklukan Damaskus, hingga Baitul Maqdis.
Jatuhnya Baitul Maqdis menandai berakhirnya kekuasaan imperium Romawi
Timur, Bizantium. Inilah yang menorehkan dendam kepada umat Kristiani.
Ketika mereka menyaksikan Negara Khilafah di bawah Bani ‘Abbasiyyah
lemah, mereka pun melancarkan Perang Salib yang berlangsung selama 2
abad. Saat itu, umat Islam di Syam dan Mesir bertempur menghadapi mereka
bukan sebagai umat. Meski begitu, mereka pun berhasil memenangkan
perang itu. Setelah itu, wilayah ini pun disatukan kembali, ketika
Shalahuddin al-Ayyubi memberikan bai’atnya kepada Khilafah ‘Abbasiyah.
Setelah orang-orang Kristen Eropa itu dikalahkan tentara kaum Muslim
dalam Perang Salib, mereka pun harus menelan pil pahit, saat
Konstantinopel jatuh ke tangan Muhammad al-Fatih tepat tanggal 20
Jumadil Ula 857 H/29 Mei 1453 H.[3] Masalah ini menjadi mimpi buruk bagi mereka, sehingga menjadi momok yang sangat mengerikan. Mereka menyebutnya dengan Mas’alah Syarqiyyah
(masalah ketimuran). Sejak saat itu, mereka bekerja keras mencari
kelemahan umat Islam, dan menunggu kesempatan untuk menghancurkan musuh
mereka ini.
Kesempatan itu pun tiba, saat Khilafah ‘Utsmaniyyah lemah. Mereka
mulai menyusun strategi. Dimulai dengan menyebarkan virus nasionalisme
di dalam tubuh umat Islam, dan merekrut orang-orang fasik dengan
iming-iming kekuasaan. Pecahlah Revolusi Arab, yang berhasil memisahkan
wilayah Arab dari Khilafah. Setelah itu, Perancis dan Inggeris pun
melakukan invasi ke wilayah Arab. Wilayah ini, termasuk Syam, kemudian
dijadikan sebagai Mandat Inggris dan Prancis. Mereka pun membagi wilayah
ini di antara sesama mereka, dengan Perjanjian Sykes-Pycot. Bukan hanya
Syam yang dipecahbelah, tetapi seluruh wilayah Arab juga mereka
bagi-bagi sesuai dengan kepentingan mereka.
Ketika Lord Allenby, komandan pasukan Inggeris, berhasil menduduki Palestina, tahun 1917 M, dengan tegas dia menyatakan, “Baru sekaranglah Perang Salib telah berakhir.” Memang
benar, tujuan Perang Salib adalah mengalahkan umat Islam, dan
menghancurkan kekuatan mereka. Kekuatan umat ini, seperti kata Lord
Curzon, Menlu Inggris saat itu, terletak pada Islam dan Khilafah. Maka,
mega proyek mereka adalah menghancurkan Khilafah, dan menjauhkan Islam
dari kehidupan umatnya.
Karena itu, ketika Islam telah kembali ke dalam pelukan umatnya, dan
mereka membangun kembali mega proyek Khilafah, George Walker Bush,
mengobarkan Perang Salib kembali. Dengan kedok Perang Melawan Terorisme,
AS, Inggeris, Perancis, Rusia dan sekutunya mengobarkan Perang Salib
melawan umat Islam. Mereka pun berhasil mendapat dukungan dari para
pengkhianat umat Islam. Namun, perang melawan terorisme ini pun menguras
energi mereka. Perang dengan target untuk menundukkan umat Islam agar
menjauhi agama mereka, dan meninggalkan mega proyek Khilafah ini
ternyata gagal total.
Alih-alih ditinggalkan, justru tuntutan umat Islam untuk kembali
kepada agama mereka semakin menguat. Demikian juga dengan mega proyek
Khilafah. Jika awalnya hanya Hizbut Tahrir yang menyuarakan, kini mega
proyek ini telah menjadi mega proyek umat Islam di seluruh dunia. Karena
itu, ketika Barat tengah bergelut dengan krisis ekonomi, Timur Tengah
pun bangkit dengan Arab Spring yang telah berhasil menumbangkan
boneka-boneka mereka, mereka pun sangat takut kembalinya Islam dan
Khilafah di wilayah-wilayah ini. Di Tunisia, Aljazair, Libya, Yaman,
Mesir dan Bahrain berhasil mereka rem, dengan boneka-boneka yang dibenci
rakyatnya, dengan boneka-boneka mereka yang lain, yang bisa diterima
oleh rakyatnya. Api Arab Spring itu pun berhasil mereka padamkan.
Namun, di Suriah, kobaran api itu hingga kini tidak berhasil mereka
padamkan. Maka, kini kobaran api Revolusi Islam di Suriah ini pun mereka
hadapi bersama. Mereka pun tahu, jika Islam dan Khilafah kembali di
Suriah, ini benar-benar akan mengakhiri kekuasaan mereka. Mereka
mendapat dukungan penuh dari antek-antek mereka. Turki, Iran, Libanon,
Yordania, Irak, Mesir, Qatar, Saudi dan Israel, termasuk Hizbullah
semuanya bahu-membahu, bekerja sama dengan Amerika, Inggris, Prancis,
Rusia, Cina dan sekutu mereka untuk memadamkan api Revolusi ini.
Berapapun harga yang harus mereka bayar.
Karena kembalinya Islam dan tegaknya Khilafah di Suriah benar-benar
menjadi akhir dari sejarah mereka. Umat Islam di seluruh dunia pun
menyambut bisyârah Nabi itu dengan gegap gempita. Sementara
para Mujahidin yang berjuang di Suriah, siang dan malam terus berjuang
untuk mewujudkan bisyârah Nabi. Mereka berdatangan dari berbagai penjuru dunia untuk mewujudkan bisyârah Nabi di tanah penuh berkah, yang dipenuhi oleh hamba-hamba Allah pilihan, Syam. Semua ini menandai “Kembalinya Suriah Bumi Khilafah yang Hilang.”[hizbut-tahrir.or.id)
[1] Sebagaimana dituturkan oleh Ibunda Nabi, Aminah bint Wahhab, saat melahirkan Nabi saw. Lihat, Ibn Sa’ad, Thabaqat Ibn Sa’ad, Juz I, hal. 63.
[2] Al-Hafidh Jalaluddin as-Suyuthi, Jami’ al-Masanid wa al-Marasil, Dar al-Fikr, Beirut, 1994, Juz V, hal. 178.
[3] Dr. ‘Ali Muhammad as-Shalabi, Bangkit dan Runtuhnya Khilafah ‘Utsmaniyyah, Pustaka al-Kautsar, Jakarta, cet. I, 2003, hal. 135.
Posting Komentar untuk "Perang Salib Modern"