Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Babat Kemiskinan di “Babat”


Oleh : M Atekan 
(Departemen Politik HTI DPD Lamongan)

Siapa yang tak pernah menikmati soto Babat? Dijamin pasti ketagihan dengan makanan khas kabupaten Lamongan. Sayangnya, kenikmatan soto Babat tak senikmat kehidupan warga Babat dalam kemiskinan. Kecamatan Babat selama ini dikenal sebagai pusat perdagangan. Namun, kecamatan teramai kedua setelah Kecamatan Lamongan itu ternyata memiliki warga miskin paling banyak di Kota Soto ini. Berdasarkan data Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), jumlah warga miskin di Kecamatan Babat ada 1.526 kepala keluarga (KK). Sementara total warga miskin di 27 kecamatan mencapai 13.349 KK. Jika dipersentase, warga miskin di Babat mencapai 11,43 persen dari total warga miskin di Kabupaten Lamongan.

Pemkab menyiapkan program pemberdayaan bagi warga yang masuk kategori miskin tersebut. ”Dalam PAK (perubahan anggaran keuangan) nanti akan disiapkan anggaran Rp 1 miliar untuk pemberdayaan warga miskin di Babat,’’ ujar Bupati Lamongan, Fadeli. 

Anggaran tersebut akan dibagikan kepada 1.000 KK warga miskin untuk dipakai modal usaha. Bisa usaha warung, membuat jajanan, dan wlijo (penjual sayuran). ”Setiap KK akan menerima  Rp 1 juta. Dengan catatan, harus dipakai untuk modal usaha. Terserah bentuk usahanya apa, nanti akan ada pembinaan dan pengawasan agar alokasi anggaran tersebut sesuai sasaran,’’ tuturnya. 

Memelihara Kemiskinan?

Selama sistem pengaturan ekonomi berdasarkan pandangan kapitalisme-liberal, selama itu pula kemiskinan akan terpelihara. Meski pemerintah pusat berencana mengeluarkan 20 kebijakan paket ekonomi, namun tidak menyentuh fundamental ekonomi. Di sisi lain, kebijakan pembangunan dalam sistem demokrasi saat ini lebih pada fisik dan infrastruktur. Mengundang banyak investasi namun ujungnya intervensi.

Solusi yang sering diambil oleh rezim demokrasi-kapitlisme untuk mengatasi keiskinan dengan cara meningkatkan jumlah produksi dan mengupayakan pertumbuhan ekonomi. Padangan seperti itu berkembang denga teori trickle down effect, yang menyatakan distribusi merupakan dampak logis dari terjadinya pertumbuhan dan saling terkait. Sebab, tanpa adanya pertumbuhan ekonomi, tidak mungkin ada distribusi. Terori ini diakui telah gagal mewujudkan pemerataan. Hal itu ditegaskan pula oleh Pidato Presiden SBY di Jakarta, Rabu 19 Agustus 2009, bahwa dalam kenyataannya di banyak negara, termasuk Indonesia, teori ini gagal menciptakan kemakmuran untuk semua.

Kemiskinan yang menimpa warga Babat juga diperparah dengan banjir yang menahun. Genangan air masuk seluruh kampung yang berdekatan dengan bengawan Solo. Di sisi lain, warga juga tak mampu mengakses sumber ekonomi karena keterbatasan kemampuan dan keahlian. Kondisi yang kontras dan kesenjangan ekonomi di Babat ini merupakan cerminan kegagalan pembangunan dalam model demokrasi-kapitalisme.

Meski ada bantuan kepada kepala keluarga, itu masih belum cukup. Pemkab Lamongan dengan jajarannya perlu membuat role model pembangunan yang berkelanjutan dengan memerhatikan Sumber Daya Manusianya agar memiliki daya saing yang unggul. Jika pembangunan demokrasi-kapitalisme dinilai telah gagal, maka saatnya Pemkab Lamongan mengambil model pembangunan berlandaskan syariah Islam. Serta menjamin ketersediaan sandang, pangan, dan papan bagi warganya. Pemkab Lamongan juga harus bersih dari segala intervensi pengusaha nakal dan kepentingan pribadi pejabat. Bukankah Anda dipilih untuk melayani rakyat?

Kembali ke Islam

Menanggapi kemiskinan di Babat, aktifis Hizbut Tahrir Indonesia Lamongan, Taufik, memberikan komentar dan masukannya kepada penguasa. 

“Kemiskinan di Babat memang benar adanya. Dahulu pada masa BLT (Bantuan Langsung Tunai) warga malah tidak dapat. Hal ini dikarenakan datanya digadaikan oleh renternir. Jika pun nanti warga diberikan mesin jahit persoalan yang muncul tidak ada yang bisa menjahit, akhirnya mesinnya dijual karena sepi konsumen. Meski ada bantuan namun belum menyelesaikan persoalan,”ungkapnya.

Selain itu, menurut Taufik yang juga tinggal di Babat, mayoritas warga bekerja sebagai tukang batu, tukang becak, dan lainnya. Kondisi rumah warganya juga tidak layak berdasarkan penuturannya yang pernah menyambangi rumah di kawasan Babat. Kondisi seperti itu mencerminkan KEMISKINAN TERSTRUKTURAL, disamping tensi ekonomi yang kian tinggi dalam kehidupan.

“Solusi praktisnya, dari sisi aturan harus diperbaiki dan lebih berpihak pada wong cilik. Jika memberikan bantuan misalnya dalam pinjaman jangan sampai ada bunganya. Karena itu riba dan berdosa. Perlu juga ditopang dengan sistem ekonomi yang kondusif dan aturan yang berujung pada eknomi ribawi harus dihapuskan,”tegasnya lantang.

Oleh karena itu, sudah saatnya semua menyadari pentingnya kembali kepada aturan Islam yang telah diwahyukan kepada rasulullah. Aturan islam datang itu untuk menata agar hidup kian indah. Bukankah ini saatnya untuk berbenah agar hidup lebih berkah. Penguasanya memelihara rakyatnya. Lalu rakyat juga peduli kepada sesamanya untuk mengentaskan kemiskinan.

Mangan sego boran, ojo lali moco bismillah,
Ayo arek Lamongan, ojo lali berjuangno Khilafah ben Berkah
[VM]

Posting Komentar untuk "Babat Kemiskinan di “Babat”"

close