Sejarah
umat Islam yang tersebar ke seluruh dunia tidak bisa dilepaskan dari
keberadaan Khilafah Islam. Keberadaan dan sumbangannya kepada umat ini
tidak pernah diingkari oleh siapapun. Pro-kontra seputar wajib dan
tidaknya kaum Muslim menegakkan Khilafah Islam justru baru muncul
setelah Khilafah Islam itu sendiri—yakni Kekhilafahan Islam yang
terakhir di Turki—dihancurkan oleh rezim Kemal Attaturk dengan dukungan
dan rekayasa Inggris pada bulan tanggal 27 Rajab 1342 H, bertepatan
dengan 3 Maret 1924 M. Setelah itu, berbagai upaya untuk
mengembalikannya pun diaborsi di tengah jalan. Konferensi Kairo dan
Konferensi Hijaz adalah bukti nyata keberhasilan upaya mereka.
Bukan hanya itu, upaya menghapus jejak Khilafah juga dilakukan dengan
adanya upaya-upaya jahat berupa tasywih (pencitra-burukan) dan tadnis
(pencemaran) terhadap ide Khilafah yang telah ada sejak masa awal Islam
hingga masa modern kini. Akibatnya, banyak dari generasi umat Islam saat
ini yang seolah-olah tidak mengenal apa itu Khilafah. Tentu, ini sangat
memilukan, padahal dalam sejarah, selama lebih dari 13 abad, khilafah
menjadi institusi yang menerapkan syariah Islam, pelayan dan pelindung
umat Islam sekaligus penyebar risalah Islam ke seluruh dunia dengan
dakwah dan jihad.
Hakikat Khilafah
Istilah Khilafah,
Imamah dan Imaratul Mu`minin sebenarnya sama saja maknanya. Dalam
kitabnya Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, Wahbah Az-Zuhaili menyatakan:
الإمامة العظمى أو الخلافة أو إمارة المؤمنين كلها تؤدي معنى واحداً، وتدل على وظيفة واحدة هي السلطة الحكومية العليا
Imâmah ‘udzma atau Khilafah atau Imâratul Mu’minîn semua mengantarkan
pada satu makna, dan menunjukkan posisi yang satu, yakni otoritas
pemerintahan yang tertinggi
Muhammad Najib Al-Muthî’iy, dalam
takmilah (catatan pelengkap) yang dibuatnya untuk kitab Al-Majmu’ Syarah
Al-Muhadzdzab karya Imam Nawawi (Juz 19/191), Al-Muthî’iy menyatakan:
والامامة والخلافة وإمارة المؤمنين مترادفة، والمراد بها الرياسة العامة في شئون الدين والدنيا
Khilafah, Imamah, dan Imaratul Mu`minin adalah sinonim, yang dimaksud
dengannya adalah kepemimpinan umum dalam urusan-urusan agama dan dunia.
“Imamah (Khilafah) adalah kepemimpinan menyeluruh dan kepemimpinan umum
yang berhubungan dengan urusan khusus dan umum, dalam hal
kepentingan-kepentingan agama dan dunia.” [1]
”Khalifah itu adalah imam agung yang menduduki posisi sebagai pengganti
kenabian dalam melindungi agama serta pengaturan urusan dunia.” [3]
Dari semua penjelasan diatas, jelaslah bahwa khilafah bukanlah negara
yang memisahkan antara Islam dengan kehidupan dunia (negara sekuler),
justru khilafah adalah negara yang akan menjalankan hukum-hukum syara’
dalam menjalankan dan mengatur kehidupan masyarakat. Jadi, hakikat
khilafah adalah (1) penegakan hukum syari’ah dalam setiap aspek
kehidupan, dan (2) ukhuwwah/persaudaraan sesama muslim sedunia, karena
khilafah bersifat umum untuk seluruh umat Islam.
Kewajiban Menegakkan Khilafah
Menurut Ahlussunnah, kewajiban mengangkat seorang khalifah adalah
kewajiban berdasarkan syara’ bukan berdasarkan akal. Imam an Nawawi (w.
676 H) dalam Syarh Shohih Muslim (12/205) menulis :
Dan mereka (kaum muslimin) sepakat bahwa sesungguhnya wajib bagi kaum
muslimin mengangkat Khalifah, dan kewajiban (mengangkat khalifah ini)
ditetapkan dengan syara’ bukan dengan akal.
Imam an Nawawi juga mengaitkan kewajiban mewujudkan Imamah (Khilafah) ini dengan kewajiban membentuk peradilan Islam,
“Adanya imam (khalifah) yang
menegakkan agama, menolong sunnah, memberikan hak bagi orang yang
dizalimi serta menunaikan hak dan menempatkan hal tersebut pada
tempatnya merupakan suatu keharusan bagi umat Islam”.[4]
Bahkan
Ibnu Hajar Al Haytami Al Makki Asy Syafi’i (wafat 974 H) dalam
kitabnya, as Shawâiq al Muhriqah juz 1 hal 25 menyebut bahwa penegakan
khilafah adalah kewajiban terpenting,
اعلم أيضا أن الصحابة رضوان الله تعالى عليهم أجمعين أجمعوا على أن نصب الإمام بعد انقراض زمن النبوة واجب بل جعلوه أهم الواجبات
“ketahuilah juga bahwa sesungguhnya para shahabat r.a telah ber ijma’
(sepakat) bahwa mengangkat imam (khalifah) setelah zaman kenabian adalah
kewajiban, bahkan mereka menjadikannya sebagai kewajiban yang
terpenting”.
Ungkapan bahwa khilafah merupakan ahammu al
wâjibât (kewajiban terpenting) juga dinyatakan oleh Imam Hasan
al-‘Aththar dalam Hasyiyah Jam’u al-Jawami’, Juz II/487. Imam
as-Safarinial-Hambali dalam kitabnya, Lawâmi’ al-Anwâr,Juz II/419. Imam
Syamsuddinar-Ramli dalam Ghâyah al-Bayân: Syarhu Zubad Ibn Ruslân, hal
23.
Memang benar ada “perbedaan pendapat” tentang wajibnya
khilafah, namun pendapat yang menyatakan tidak wajib tersebut sangat
lemah, serta tidak wajibnya bersyarat, bukan mutlak tidak wajib,
sebagaimana diungkap oleh al Imam Abu Al-Hasan Al-Asy’ari (w. 324 H),
dalam kitab beliau Maqâlat Al-Islâmiyyîn wa Ikhtilâf Al-Mushallîn, juz 1
hal 133:
واختلفوا في وجوب الإمامة: فقال الناس كلهم إلا الأصم: لا بد من إمام. وقال الأصم: لو تكاف الناس عن التظالم لاستغنوا عن الإمام
“Dan mereka berselisih tentang wajibnya Imamah: semua manusia selain al
Ashom mengatakan: haruslah ada Imam. Dan Al Ashom berkata: seandainya
manusia bisa menjauhkan diri dari saling mendzalimi niscaya mereka tidak
perlu Imam”.
Perkataan al Imam Abu Al-Hasan Al-Asy’ari “semua
manusia kecuali al Ashom” menunjukkan bahwa hampir-hampir tidak ada
perbedaan pendapat tentang wajibnya menegakkan khilafah. Disisi lain Al
Ashom (salah seorang syaikh Mu’tazilah, wafat 201 H) tidaklah
mengingkari wajibnya khilafah secara mutlak, namun dia memberi syarat
yang hampir tidak mungkin terpenuhi, yakni syarat bahwa “manusia bisa
menjauhkan diri dari saling mendzalimi” padahal dalam sistem terbaik
yang diterapkan oleh manusia terbaik, yakni Rasulullah saw, juga masih
ada manusia yang dzalim. Akibat Tidak Adanya Khilafah
Imam al-Ghazali (w. 505 H) menyatakan, “Kita tidak mungkin bisa
menetapkan suatu perkara ketika negara tidak lagi memiliki Imam
(Khilafah) dan peradilan telah rusak.” (Al-Ghazali, Ihyâ’ ‘Ulûm ad-Dîn.
Lihat juga syarahnya oleh az-Zabidi, II/233). Beliau juga menyatakan:
ولهذا قيل: الدين والسلطان توأمان، ولهذا قيل: الدين أس والسلطان حارس وما لا أس له فمهدوم وما لا حارس له فضائع
“Karena inilah, dikatakan bahwa agama dan kekuasaan adalah dua saudara
kembar. Dikatakan pula bahwa agama adalah pondasi (asas) dan kekuasaan
adalah penjaganya. Segala sesuatu yang tidak berpondasi niscaya akan
roboh dan segala sesuatu yang yang tidak berpenjaga niscaya akan
lenyap”[5].
Ungkapan Imam Al Ghazali ini juga sesuai dengan hadits riwayat Ad Dailami:
الإسلام والسلطان أخوان توأمان لا يصلح واحد منهما إلا بصاحبه فالإسلام أس والسلطان حارث، وما لا أس له يهدم وما لا حارث له ضائع
Islam dan kekuasaan itu adalah dua saudara kembar, tidak akan baik
salah satunya kecuali dengan saudaranya, maka Islam adalah pondasi dan
kekuasaan adalah pengelola, dan apa-apa yang tidak berpondasi niscaya
akan roboh dan apa-apa yang yang tidak pengelolanya niscaya akan
lenyap[6]
Handzalah bin ar-Rabi’ ra ( julukannya Al-Katib karena beliau juru tulis Rasulullah saw) menyebutkan dalam sya’irnya:
عجبت لما يخوض الناس فـيه – يرومون الخلافة أن تزولا
ولو زالت لزال الخير عنـهم – ولاقوا بعدها ذلا ذلـيلا
وكانوا كاليهود أو النصارى – سواء كلهم ضلوا السبيلا
Aku heran dengan apa yang sedang digandrungi oleh manusia – mereka berharap agar khilafah lenyap.
Jika dia(khilafah) lenyap maka lenyap pula kebaikan yang ada pada mereka – dan segera mereka menjumpai kehinaan sehina-hinanya
Dan mereka akan menjadi seperti kaum Yahudi atau Nasrani – setiap mereka sama-sama berada di jalan yang sesat[7]
Imam Ahmad ra dalam riwayat Muhammad bin ‘Auf bin Sufyan al-Hamshi berkata:
“(akan terjadi) fitnah apabila tidak ada seorang imam yang mengurusi urusan manusia.”[8]
Kita bisa menyaksikan, bahwa tanpa khilafah, hukum syari’ah benar-benar
hilang penerapannya satu persatu, sebagai gantinya berkembanglah
berbagai kemaksiyatan. Rasulullah sendiri menegaskan, bahwa ketika
hukum/pemerintahan Islam runtuh, maka hukum-hukum lain akan tercerabut
dari kehidupan, bahkan shalat sekalipun. Rasulullah saw menyatakan hal
ini :
“Ikatan-ikatan Islam akan terburai satu demi satu, setiap kali satu
ikatan terburai orang-orang bergantungan pada ikatan selanjutnya. Yang
pertama kali terburai adalah masalah hukum (pemerintahan) dan yang
terakhir adalah shalat.” (HR. Ahmad dari Abu Ya’la, dengan sanad
shahih). Allahu A’lam. (ringkasannya dimuat di harian radarbanjarmasin
pada Mei 2013). [M. Taufik N. T]
[2] Al-Imam Abu al-Hasan Ali bin Muhammad al-Mawardi, al-Ahkâmus Sulthâniyyah, hal. 15, Dâr al Hadîts
[3] Al-Imam Muhammad ar-Ramli (w. 1004 H), Nihâyat al-Muhtâj ila Syarh al-Minhaj, Juz 7, hal 289
[4] Imam Al-Hafidz Abu Zakaria Yahya bin Syaraf bin Marwa an-Nawawi,
Rawdhah ath-Thâlibîn wa Umdah al-Muftin, juz 10 hal 42, Al Maktab Al
I’lamy
[5] Imam al-Ghazali (w. 505 H) , Al Iqtishod Fil I’tiqod halaman 128, Dâr al Kutub Al Ilmiyyah
[6] Lihat Kanzul ‘Ummal, hadits no 14613, Muassasah Ar Risâlah.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas dengan sanad dha’if, dikuatkan Imam As
Suyuthi. Juga diriwayatkan dalam Jam’ul Jawâmi’ dengan maknanya.
[7] At-Thabari (w. 310 H), Tarikh ar Rusul wal Mulûk, 4/386, Dâr at Turâts
[8] Al-Imam al-Qadhi Abi Ya’la Muhammad bin Husain al-Farra’ al-Hambali, al-Ahkamus Sulthaniyyah, hal. 23, Darul Fikr
Berbagi :
Posting Komentar
untuk "Khilafah di Mata Ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah"
Posting Komentar untuk "Khilafah di Mata Ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah"