[Wawancara] Mereka Ingin Umat Tak Percaya Syariat
Wawancara dengan : Iwan Januar, Anggota Lajnah Siyasiyah DPP HTI
Berulang-kali Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menegur
dan memberikan sanksi administrasi kepada televisi yang menyiarkan
tayangan yang dianggap melecehkan simbol Islam. Namun berulangkali pula
televisi memproduksi sinetron dan berbagai tayangan yang merusak akidah,
akhlak serta gaya hidup penontonnya.
Mengapa ini bisa terjadi? Apa akar masalah dan solusi
mendasarnya? Temukan jawabannya dalam wawancara wartawan Media Umat Joko
prasetyo dengan pengamat sosial Iwan Januar yang juga anggota Lajnah
Siyasiyah DPP Hizbut Tahrir Indonesia. Berikut petikannya.
Tanggapan Anda tentang teguran KPI kepada stasiun televisi yang menayangkan tokoh antagonis bergelar “Haji” dan “Ustadz”?
Memang sudah seharusnya pihak pemerintah dalam hal ini KPI mengawasi
dan memberikan teguran bahkan sanksi, bila perlu, kepada
tayangan-tayangan yang bermuatan anti-sosial termasuk yang berisi
pelecehan ajaran agama, atau menggiring opini publik kepada stigmatisasi
ajaran-ajaran agama.
Sekarang ini banyak program televisi baik itu sinetron, reality show
termasuk iklan yang bermuatan anti sosial. Hanya saja dulu yang dominan
adalah konten pornografi tapi kalau sekarang sudah mulai berani
‘bermain’ membawa-bawa simbol agama. Bila dibiarkan maka akan membuat
tayangan-tayangan seperti ini menjamur dan dianggap biasa.
Tapi bukankah sinetron tersebut hanya mengungkap realitas yang ada?
Ya, sebagian ada benarnya. Kita bisa dengan mudah melihat orang
bertitel haji tapi punya sifat hasud pada orang lain, atau ustadz dan
ustadzah yang matre misalnya. Namun demikian jangan lupa, sinetron atau
tayangan televisi yang mengungkap seperti secara berulang-ulang pada
akhirnya bukan lagi mengungkap realita, tapi sudah bisa menggiring atau
menciptakan opini negatif.
Kan seharusnya tayangan itu memberikan edukasi bahwa haji yang hasad
itu salah, ustadz yang matre itu nggak benar, lalu diberikan
penjelasannya. Bukannya justru ‘dipelihara’, dijadikan ikon dan
dibiarkan terus berulang-ulang.
Selain itu, adakah sinetron lain yang Anda nilai merusak akhlak, tauhid, pergaulan, gaya hidup dan anti sosial lainnya?
Wah banyak sekali, mulai dari iklan sampai sinetron atau film-film
lepas. Iklan banyak yang mengeksploitasi wanita atau ikhtilat
pria-wanita. Sinetron-sinetron kita banyak yang terlalu mendramatisir
tokoh antagonis, jadi kalau tokoh jahat benar-benar dibuat aktingnya
jahat bener. Mengumbar kebencian dan permusuhan. Ini kan sudah menyebarkan watak anti-sosial kepada publik.
Sinetron kita juga banyak yang mengumbar mimpi, mengumbar kemewahan.
Rumah dan kendaraan mewah hal yang sepertinya ‘wajib’ dipajang dalam
sinetron-sinetron Indonesia.
Nilai-nilai pergaulan bebas juga begitu kental dalam dunia sinetron
tanah air. Meski tidak sampai ada adegan persetubuhan, tapi aktifitas
seperti pacaran dan perselingkuhan jadi tema yang biasa.
Bahayanya bagi penonton?
Bahaya bagi penonton terutama yang ababil alias ABG labil ya mereka akan langsung copy paste
apa yang muncul di televisi dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam
hal pacaran. Akhirnya ada kesan kalau remaja gak pacaran ya bukan
remaja namanya.
Melahirkan ikonisasi tokoh Muslim yang jahat dan matre. Seperti haji
yang kerjanya menghasut melulu, atau ustadz yang centil dan matre.
Sehingga menimbulkan ketidakpercayaan publik kepada ajaran Islam atau
orang yang sedang menjalankan ajaran Islam. Orang awam akan mencibir
‘haji’ atau mencibir ‘ustadz’, karena biasanya publik sering melakukan
generalisasi.
Tayangan-tayangan yang mengandung khurafat dan takhayul juga sudah
pasti merusak akidah. Karena tidak ada tuntunannya seorang Muslim harus
memburu hantu.
Mengapa?
Kita hidup di alam yang berbeda, dan masing-masing ada taklif amal yang harus dijalankan. Mengurus manusia saja sudah susah ngapain juga mengurus makhluk halus. Lagipula kewajiban dakwah kita adalah memperbaiki kehidupan umat manusia, bukan bangsa jin.
Apakah tayangan-tayangan tersebut memang sekeadar dibuat untuk menghibur atau memang benar-benar dibuat untuk merusak pemahaman dan gaya hidup penonton?
Ya ini bisa saling berkelindan, saling menumpangi. Ada produser atau
sutradara yang awalnya membuat sinetron sekadar memenuhi permintaan
pasar atau produser atau pihak televisi.
Bangsa kita kan biasa copy paste, apa yang laku biasanya
langsung ditiru. Hanya saja mungkin insan perfilman itu tidak menyadari
kalau sinetron yang mereka buat itu sudah terkategori melecehkan
ajaran-ajaran agama, stigmatisasi. Di sisi lain sangat mungkin ada pihak
yang punya kepentingan untuk melakukan tindakan stigmatisasi.
Siapa di balik ini semua?
Para pengusung sekulerisme dan liberalisme. Mereka ingin khalayak
berada dalam kondisi tidak percaya kepada syariat Islam. Digerogoti dulu
dari persoalan akidah dan ibadah, dibuat ikonisasi tokoh-tokoh agama
buruk akhlak seperti itu.
Mengapa sinetron yang merusak itu bisa marak?
Ada dua keping di sini. Pertama, bisnis perfilman yang
memang menguntungkan bagi para pemilik modal, pemilik stasiun televisi
dan insan perfilman. Dan mereka secara umum belum punya pemahaman yang
benar serta kuat tentang ajaran Islam.
Malah dunia televisi swasta yang besar kan dikuasai non Muslim. Bagi
mereka sinetron-sinetron seperti ini seperti kata pepatah; sekali
merengkuh dayung dua tiga pulau terlampui. Uang dapat, perusakan
terhadap umat Islam juga berhasil.
Kedua, selama ini memang perhatian pemerintah terhadap
pembinaan akidah dan akhlak umat minim. Film-film cabul, horor yang
penuh takhayul bahkan yang bermuatan lesbian, gay, biseksual dan
transeksual juga sudah beberapa kali tayang di layar bioskop.
Mengapa pemerintah begitu?
Negara ini kan pondasinya sekulerisme; persoalan akidah dan akhlak ya
diserahkan kepada diri masing-masing. Mau jadi apa terserah kepada
individu yang bersangkutan. Yang penting jangan mengganggu hak orang
lain dan meresahkan umum.
Negara sekuler tidak akan ikut campur dalam persoalan ini. Karenanya paham sekulerisme itu memang jahat dan merusak umat Islam.
Apa yang harus dilakukan negara untuk menjaga umat dari sinetron atau pun konten media massa yang merusak lainnya?
Harus ada standar hukum yang benar dan ajeg, tidak
multitafsir. Sekarang batasan pornografi dan pornoaksi adalah pasal
karet, bisa ditarik-ulur sesuka orang. Makanya sampai kapan pun bila
kondisinya seperti sekarang tidak akan bisa mencegah maraknya tayangan
atau konten media massa yang merusak.
Seharusnya ada rambu-rambu tentang dunia seni dan budaya, sehingga
dari awal insan seni sudah tahu mana yang boleh dan yang tidak.
berikutnya ada lembaga sensor yang memang disiplin dan tidak kompromi
dalam persoalan agama. Berikutnya harus ada sanksi tegas bagi mereka
yang melanggar aturan ini.
Menghambat seni dan kreativitas dong?
Tidak. Dengan adanya aturan ini justru orang akan terpacu untuk
menghasilkan karya seni yang bermoral dan bermutu. Bukankah dalam
kehidupan sekulerisme dan liberalisme seperti sekarang, orang malah
berlomba-lomba membuat karya seni dan budaya yang murahan. Film horor
atau komedi kalau tidak ada paha dan dada perempuan seperti kurang
lengkap. Itu norak!
Nah, perlindungan umat dari konten media massa yang merusak hanya
bisa efektif dan efisien bila negara berpondasikan Islam dengan sistem
pemerintahan khilafah-nya.
Mengapa harus negara, tidak cukupkah kita mencegah anak untuk menonton televisi?
Memang, secara pribadi dan keluarga setiap Muslim sebenarnya bisa
melindungi akidah dan akhlak dari tayangan-tayangan negatif televisi,
tapi hanya sampai batas-batas tertentu.
Hanya saja apa yang bisa dilakukan oleh keluarga dan komunitas ruang
lingkupnya amat terbatas? Keluarga Muslim hanya bisa menyampaikan petisi
dan melindungi secara lokal.
Lantas, siapa yang bisa mencegah ditayangkannya karya seni yang tidak
bermoral dan tidak bermutu? Pertanyaannya apakah sistem budaya dan
hukum sekarang bisa melakukan itu semua? Ternyata tidak, malah semakin
menjadi-jadi.[MU]
Posting Komentar untuk "[Wawancara] Mereka Ingin Umat Tak Percaya Syariat "