BULAN PERUBAHAN - Ramadhan Hari-6: UBAH ASUMSI
Sesungguhnya tidak ada orang maupun kaum, yang mengalami perubahan
nasib tanpa mereka mengubah dulu asumsi-asumsi yang selama ini
digunakannya.
Dunia ini penuh dengan asumsi (anggapan yang
dianggap benar). Tidak hanya untuk negara setiap membuat RAPBN yang
dimulai dengan beberapa asumsi (misal nilai tukar Dollar, lifting
minyak, dsb), setiap hari orang beraktivitas pun dengan menyimpan asumsi
di dalamnya. Contoh dari asumsi itu: dia berangkat ke tempat kerja
karena berasumsi di sana ada sesuatu yang dapat dikerjakannya, atau
kalau dia tidak berangkat, dia akan mendapatkan sanksi, setidaknya
sanksi sosial (malu), karena orang-orang lain juga berangkat, dan mereka
sama-sama dibayar untuk itu. Tentunya akan sangat berbeda, kalau dari
awal dia punya asumsi bahwa di kantor tidak ada yang dapat
dikerjakannya, atau di sana dia akan mendapatkan suasana yang tidak
enak, yang membuatnya makin lama merasa justru makin membusuk.
Orang
mencari sebuah tempat juga menyimpan asumsi. Minimal, dia berasumsi
bahwa alamat yang dituju itu memang ada, bukan fiktif, bukan pula palsu.
Karena itu, di kehidupan nyata, tidak ada orang yang pergi mencari
Negeri Dongeng, karena negeri itu memang hanya ada di dalam dongeng di
majalah anak-anak. Demikian pula, se real apapun film Harry Potter,
tidak ada orang yang serius mencari sekolah bernama Sekolah Sihir
Hogwarts, karena semua berasumsi bahwa itu hanya khayalan.
Setelah
berasumsi bahwa tempat yang dituju ada, maka dalam perjalanan ke sana
orang juga berasumsi bahwa di jalan raya secara umum orang lain akan
mematuhi aturan lalu lintas. Tanpa asumsi ini, kita akan sangat sulit
berperilaku di jalan, misalnya di sisi kiri atau kanan kendaraan kita
berjalan, atau kalau lampu lalu lintas berwarna hijau kita sebaiknya
jalan terus atau berhenti.
Ketika sampai di tempat
tersebut, orang juga akan berperilaku sesuai asumsi. Misalnya, orang
Indonesia yang biasa buang sampah atau meludah sembarangan, begitu
sampai ke Singapura akan mendadak takut buang sampah atau meludah
sembarangan. Hal ini karena dia berasumsi, di Singapura ada hukum
kebersihan yang sangat ketat, konon buang sampah sembarangan bisa
didenda 100 Dollar, dan penegak hukumnya sangat tegas, tidak bisa
disuap. Asumsi ini yang membuat Singapura menjadi kota terbersih di
dunia, termasuk di tempat-tempat yang tidak ada polisi.
Asumsi
ini muncul karena sebab yang bermacam-macam. Yang terbanyak adalah
karena tradisi (al-urf) yang sudah dibuat orang sebelumnya, yang bisa
saja bersumber dari mitos. Bisa juga itu peraturan yang telah
lama tersosialisasikan dan dipatuhi. Namun ada juga asumsi karena
pengalaman individual, baik dialami sendiri atau didengar dari
pengalaman orang lain.
Yang repot kalau asumsi ini
bersifat negatif. Misalnya orang Barat berasumsi bahwa orang Islam -
apalagi Arab dan keriting - itu bebal-bebal, susah diajak berpikir
kritis dan maju. Asumsi bahwa orang Jawa itu nrimo (pasrah pada nasib),
lelaki Sunda itu pemalas, dan perempuan Minang itu matre. Di sini
asumsi sama dengan prasangka. Dan benar menurut Qur'an: sebagian besar
prasangka itu dosa. Prasangka adalah asumsi yang tidak rasional.
Biasanya ini hanya karena secuil pengalaman buruk individual, tidak
mewakili populasi, apalagi hasil survei. Khusus untuk asumsi yang bias
gender atau rasis ini saya katakan: "Semua orang Jawa itu sesat ... "
(padahal saya juga orang Jawa), terus saya lengkapi, "Semua orang Jawa
itu sesat, kecuali yang beriman dan beramal shalih". Hal yang sama
tentu juga bisa diterapkan untuk semua etnis.
Contoh
asumsi negatif yang lain adalah yang menyangkut kelemahan diri, sehingga
diri enggan berubah. Misalnya ucapan, "Yach, saya belum dapat hidayah,
padahal kalau Allah kehendaki, tentu tak ada yang menghalangi", "Rejeki
itu di tangan Tuhan, kalau memang buat saya, ya akan sampai juga", "Saya
bukan orang Arab, nggak berbakat untuk belajar huruf Arab", dan
sebagainya.
Dampak asumsi ini bisa mengerikan.
Asumsi
bahwa Tuhan memang belum memberinya hidayah, membuatnya hanya menunggu,
bukannya malah giat memburu hidayah. Akibatnya meski sudah mapan,
bekal sudah cukup, tetapi tidak juga mendaftar untuk berangkat haji atau
pergi berdakwah. Dia berasumsi haji atau dakwah itu harus pangglan,
sementara dia merasa belum dapat panggilan. Bagi pengemban dakwah,
asumsi di atas bisa juga membuatnya pasif, belum-belum menganggap orang
lain "susah", sehingga tidak berusaha lebih empati atau lebih kreatif
dalam mendekati dan menggarap target dakwahnya.
Asumsi
bahwa rejeki itu sudah ditentukan Tuhan, membuatnya pasif menunggu
pemberian orang, bukannya aktif, kreatif dan optimis, berusaha menjemput
rejeki yang jauh lebih besar yang pasti memang telah ditentukan Tuhan,
dan tetap disyukuri bila setelah berusaha hasilnya belum sebesar yang
diharapkan.
Asumsi bahwa dia tidak berbakat belajar
huruf Arab, menghalanginya belajar membaca Qur'an atau bahasa Arab,
bukannya malah lebih rajin lagi. Bukankah air biarpun jatuh setetes
demi setetes, kalau berpuluh tahun, bisa pula melubangi batu yang keras?
Intinya,
kalau mau berubah, kita memang harus merubah asumsi-asumsi dalam kita.
Asumsi-asumsi yang negatif harus kita ganti. Asumsi yang tidak
rasional harus diganti dengan asumsi rasional yang ada dasarnya dalam
Kitabullah atau Sunnah Rasul, atau ada dasarnya menurut ilmu
pengetahuan.
Termasuk asumsi yang harus kita ubah adalah
asumsi bahwa kondisi umat Islam yang terpuruk dan terkotak-kotak dalam
lebih dari 50 negara bangsa saat ini sudah final, mustahil diubah lagi.
Asumsi bahwa akhir dari sejarah adalah kemenangan kapitalisme. Asumsi
bahwa demokrasi itu adalah sistem pemerintahan terbaik bagi manusia.
Asumsi bahwa tidak mungkin melakukan pembangunan tanpa hutang dan tidak
mungkin hutang tanpa melibatkan bunga. Asumsi-asumsi ini semua harus
kita ubah, karena didasarkan hanya pada mitos-mitos dan
kompromi-kompromi yang tidak memuaskan akal, tidak menenangkan jiwa,
serta tidak menyelesaikan permasalahan manusia. Kita ganti dengan
asumsi bahwa ajaran Islam telah lengkap, mengatur segala urusan dengan
cara yang khas termasuk urusan pemerintahan, dan umat Islam adalah umat
yang terbaik yang dihadirkan Allah di tengah manusia, dan bahwa Khilafah
yang mempersatukan umat Islam akan bangkit lagi. Sebenarnyalah ini
bukan sekedar asumsi, karena ada realita empiris di masa lalu. Kalau
kita menggunakan asumsi ini, maka persepsi dan aksi kita ke depan akan
sangat berbeda.
Kita harus berasumsi bahwa kalau kita
mendekati Allah sejengkal, Allah akan mendekati kita sehasta. Kalau
kita mendekati Allah dengan berjalan, Allah akan mendekati kita dengan
berlari. Ini asumsi yang bersumber dari iman Islam. Jadi, hidayah
harus kita dekati, bukan kita tunggu ! Berkah harus kita rengkuh, bukan
kita nanti. Kita rengkuh dengan menerapkan syari'at mulai dari diri
kita, dan kita perjuangkan agar diterapkan di masyarakat dan disebarkan
ke seluruh dunia oleh negara yang punya komitmen untuk itu. Negara yang
punya komitmen untuk menjadi jalan hidayah dan keberkahan bagi seluruh
warganya.
Mestinya Ramadhan adalah bulan untuk merubah
asumsi-asumsi kita. Mudah-mudahan, mulai masuk malam-6 bulan Ramadhan,
kita sudah bisa merubah ASUMSI kita, agar Allah merubah nasib kita. [Fahmi Amhar]
Posting Komentar untuk "BULAN PERUBAHAN - Ramadhan Hari-6: UBAH ASUMSI"