Puasa yang Sia-sia
Puasa
Ramadhan secara syar’i didefinisikan sebagai upaya menahan diri (imsak)
dari makan, minum dan berhubungan suami-istri, dari terbit fajar hingga
terbenam matahari, yang disertai dengan niat (Ash-Shabuni, Tafsir Ayat
Ahkam, I/188).
Dengan demikian, siapapun yang bisa menahan diri (imsak) dari makan, minum dan hubungan suami-istri—dari terbit fajar hingga terbenam matahari—yang disertai dengan niat telah dianggap sebagai orang yang berpuasa. Dalam kondisi demikian puasanya sah secara syar’i.
Namun demikian, keabsahan puasa secara syar’i ini tidak otomatis bakal mendatangkan pahala bagi pelakunya. Sebab, kesempurnaan puasa hanya mungkin dengan cara menjauhi hal-hal yang dilarang dan tidak terjatuh pada perkara-perkara yang diharamkan (Ash-Shabuni, I/188). Dengan kata lain, ada syarat lain yang harus dipenuhi oleh orang yang berpuasa agar puasanya sempurna, yakni dia harus menahan diri dari perkara-perkara yang merusak puasanya atau ‘membatalkan’ pahala puasanya. Dia harus menjauhkan diri dari puasa yang sia-sia.
Puasa yang sia-sia adalah puasa yang tidak menghasilkan (pahala) apapun selain lapar, dahaga dan kepayahan. Sayangnya, justru puasa jenis inilah yang dilakukan oleh kebanyakan umat Islam, sebagaimana diisyaratkan oleh Baginda Nabi Muhammad saw., “Betapa banyak orang yang berpuasa tidak mendapatkan apapun dari puasanya itu selain lapar dan dahaga saja.” (HR ath-Thabrani).
Perkara apa saja yang bisa merusak atau membatalkan pahala puasa? Semua kemaksiatan atau dosa, kecil apalagi besar, hakikatnya bisa merusak atau membatalkan pahala puasa. Pertama: dosa mata. Banyak Muslim yang berpuasa, tetapi dia tidak bisa menahan diri dari memandang perkara yang haram. Contohnya adalah memandang aurat wanita yang bukan mahram, melihat gambar-gambar porno, dll. Puasa orang seperti ini tentu akan rusak, bahkan pahala puasanya bisa hilang tak berbekas. Ini karena menjaga pandangan dari perkara-perkara yang haram adalah wajib (Lihat: QS an-Nur [24]: 30-31).
Kedua: dosa lisan. Puasanya seorang Muslim yang tidak dibarengi dengan menahan diri dari membicarakan keburukan orang lain (ghibah) juga akan rusak, bahkan tidak akan mendatangkan pahala apapun. Demikian pula kata-kata kotor/jorok dan keji seperti menyebar tuduhan palsu dll; akan merusak puasa atau membatalkan pahala puasa. Ini sebagaimana sabda Nabi SAW, “Puasa itu adalah perisai. Karena itu jika salah seorang kalian berpuasa, janganlah ia berkata-kata kotor/jorok dan berdusta.” (HR Ahmad).
Rasulullah SAW juga bersabda, “Siapa saja yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan malah mengamalkannya, maka Allah tidak membutuhkan lapar dan haus yang dia tahan.” (HR al-Bukhari).
Rasulullah SAW pun bersabda, “Puasa itu bukan hanya menahan makan dan minum saja, tetapi juga menahan diri dari perkataan sia-sia dan jorok.” (HR Ibnu Majah dan al-Hakim).
Ketiga: dosa telinga. Contohnya adalah mendengarkan kata-kata kotor/jorok, mendengarkan keburukan-keburukan orang lain, bahkan sekadar mendengarkan lagu-lagu yang penuh dengan syair-syair yang mempropagandakan kemaksiatan, dll. Semua itu bisa merusak puasa atau membatalkan pahala puasa.
Keempat: dosa tangan. Contohnya adalah menyentuh, merangkul atau bahkan memeluk wanita yang bukan mahram; memukul orang lain tanpa alasan yang haq; mencuri; dll.
Kelima: dosa kaki. Contohnya adalah berjalan-jalan ke tempat-tempat yang memungkinkan dirinya terjerumus ke dalam dosa, seperti tempat-tempat hiburan atau keramaian di mana banyak wanita yang membuka aurat berlalu-lalang, tempat-tempat yang memungkinkan terjadinya ikhtilath (campur-baur laki-laki perempuan), dll.
Keenam: dosa anggota tubuh lainnya. Tentu, ini mencakup semua perilaku yang bisa mendatangkan dosa. Contohnya adalah membuka aurat meski sekadar memperlihatkan selembar rambutnya, ber-khalwat atau ber-ikhtilath, melakukan transaksi ribawi, suap-menyuap, korupsi, melakukan dosa besar seperti zina atau membunuh, menzalimi orang lain (menyakiti tubuhnya, merampas hartanya, menodai kehormatannya, dll). Terkait dengan semua ini, Ibnu Rajab al-Hanbali bertutur, “Ketahuilah, amalan taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah SWT dengan meninggalkan berbagai syahwat yang halal di luar Ramadhan (seperti makan/minum atau berhubungan suami-istri, pen) tidak akan sempurna hingga seseorang meninggalkan perkara yang Allah SWT larang yaitu berdusta, bertindak zalim serta bermusuhan dengan sesama manusia dalam masalah darah, harta dan kehormatan.” (Latha’if al-Ma’arif, 1/168).
Jabir bin ‘Abdillah juga bertutur, “Jika kamu berpuasa, hendaklah pendengaran, penglihatan dan lisanmu turut berpuasa dari dusta dan hal-hal haram. Janganlah kamu menyakiti tetangga. Bersikap tenang dan berwibawalah di hari puasamu. Janganlah kamu jadikan hari-hari puasamu dan hari tidak berpuasamu sama saja.” (Lihat: Latha’if al-Ma’arif, 1/168).
Alhasil, agar puasa kita tak sia-sia, marilah kita meninggalkan perkara-perkara yang haram, syubhat maupun hal-hal yang tak berguna. Wa ma tawfiqi illa bilLah. [Arief B. Iskandar]
Dengan demikian, siapapun yang bisa menahan diri (imsak) dari makan, minum dan hubungan suami-istri—dari terbit fajar hingga terbenam matahari—yang disertai dengan niat telah dianggap sebagai orang yang berpuasa. Dalam kondisi demikian puasanya sah secara syar’i.
Namun demikian, keabsahan puasa secara syar’i ini tidak otomatis bakal mendatangkan pahala bagi pelakunya. Sebab, kesempurnaan puasa hanya mungkin dengan cara menjauhi hal-hal yang dilarang dan tidak terjatuh pada perkara-perkara yang diharamkan (Ash-Shabuni, I/188). Dengan kata lain, ada syarat lain yang harus dipenuhi oleh orang yang berpuasa agar puasanya sempurna, yakni dia harus menahan diri dari perkara-perkara yang merusak puasanya atau ‘membatalkan’ pahala puasanya. Dia harus menjauhkan diri dari puasa yang sia-sia.
Puasa yang sia-sia adalah puasa yang tidak menghasilkan (pahala) apapun selain lapar, dahaga dan kepayahan. Sayangnya, justru puasa jenis inilah yang dilakukan oleh kebanyakan umat Islam, sebagaimana diisyaratkan oleh Baginda Nabi Muhammad saw., “Betapa banyak orang yang berpuasa tidak mendapatkan apapun dari puasanya itu selain lapar dan dahaga saja.” (HR ath-Thabrani).
Perkara apa saja yang bisa merusak atau membatalkan pahala puasa? Semua kemaksiatan atau dosa, kecil apalagi besar, hakikatnya bisa merusak atau membatalkan pahala puasa. Pertama: dosa mata. Banyak Muslim yang berpuasa, tetapi dia tidak bisa menahan diri dari memandang perkara yang haram. Contohnya adalah memandang aurat wanita yang bukan mahram, melihat gambar-gambar porno, dll. Puasa orang seperti ini tentu akan rusak, bahkan pahala puasanya bisa hilang tak berbekas. Ini karena menjaga pandangan dari perkara-perkara yang haram adalah wajib (Lihat: QS an-Nur [24]: 30-31).
Kedua: dosa lisan. Puasanya seorang Muslim yang tidak dibarengi dengan menahan diri dari membicarakan keburukan orang lain (ghibah) juga akan rusak, bahkan tidak akan mendatangkan pahala apapun. Demikian pula kata-kata kotor/jorok dan keji seperti menyebar tuduhan palsu dll; akan merusak puasa atau membatalkan pahala puasa. Ini sebagaimana sabda Nabi SAW, “Puasa itu adalah perisai. Karena itu jika salah seorang kalian berpuasa, janganlah ia berkata-kata kotor/jorok dan berdusta.” (HR Ahmad).
Rasulullah SAW juga bersabda, “Siapa saja yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan malah mengamalkannya, maka Allah tidak membutuhkan lapar dan haus yang dia tahan.” (HR al-Bukhari).
Rasulullah SAW pun bersabda, “Puasa itu bukan hanya menahan makan dan minum saja, tetapi juga menahan diri dari perkataan sia-sia dan jorok.” (HR Ibnu Majah dan al-Hakim).
Ketiga: dosa telinga. Contohnya adalah mendengarkan kata-kata kotor/jorok, mendengarkan keburukan-keburukan orang lain, bahkan sekadar mendengarkan lagu-lagu yang penuh dengan syair-syair yang mempropagandakan kemaksiatan, dll. Semua itu bisa merusak puasa atau membatalkan pahala puasa.
Keempat: dosa tangan. Contohnya adalah menyentuh, merangkul atau bahkan memeluk wanita yang bukan mahram; memukul orang lain tanpa alasan yang haq; mencuri; dll.
Kelima: dosa kaki. Contohnya adalah berjalan-jalan ke tempat-tempat yang memungkinkan dirinya terjerumus ke dalam dosa, seperti tempat-tempat hiburan atau keramaian di mana banyak wanita yang membuka aurat berlalu-lalang, tempat-tempat yang memungkinkan terjadinya ikhtilath (campur-baur laki-laki perempuan), dll.
Keenam: dosa anggota tubuh lainnya. Tentu, ini mencakup semua perilaku yang bisa mendatangkan dosa. Contohnya adalah membuka aurat meski sekadar memperlihatkan selembar rambutnya, ber-khalwat atau ber-ikhtilath, melakukan transaksi ribawi, suap-menyuap, korupsi, melakukan dosa besar seperti zina atau membunuh, menzalimi orang lain (menyakiti tubuhnya, merampas hartanya, menodai kehormatannya, dll). Terkait dengan semua ini, Ibnu Rajab al-Hanbali bertutur, “Ketahuilah, amalan taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah SWT dengan meninggalkan berbagai syahwat yang halal di luar Ramadhan (seperti makan/minum atau berhubungan suami-istri, pen) tidak akan sempurna hingga seseorang meninggalkan perkara yang Allah SWT larang yaitu berdusta, bertindak zalim serta bermusuhan dengan sesama manusia dalam masalah darah, harta dan kehormatan.” (Latha’if al-Ma’arif, 1/168).
Jabir bin ‘Abdillah juga bertutur, “Jika kamu berpuasa, hendaklah pendengaran, penglihatan dan lisanmu turut berpuasa dari dusta dan hal-hal haram. Janganlah kamu menyakiti tetangga. Bersikap tenang dan berwibawalah di hari puasamu. Janganlah kamu jadikan hari-hari puasamu dan hari tidak berpuasamu sama saja.” (Lihat: Latha’if al-Ma’arif, 1/168).
Alhasil, agar puasa kita tak sia-sia, marilah kita meninggalkan perkara-perkara yang haram, syubhat maupun hal-hal yang tak berguna. Wa ma tawfiqi illa bilLah. [Arief B. Iskandar]
Posting Komentar untuk "Puasa yang Sia-sia"