Akhir Dari Negara “Model Turki”?
Pergeseran Turki dalam strategi – di arena internasional – telah
meninggalkan pertanyaan atas perannya yang disebut sebagai negara “Model
Turki” di Timur Tengah “Baru”. Sebuah model negara baru yang lahir,
yang diklaim sebagai kepemimpinan “demokrasi” pasca revolusi Arab yang
telah menghadapi banyak tantangan menyusul peristiwa-peristiwa yang
bergolak segera setelah AKP berkuasa. Namun, peristiwa-peristiwa itu
yang terjadi baru-baru ini tidak boleh diremehkan karena mengguncang
kota-kota di seluruh Turki – yang mewakili tren oposisi terhadap AKP.
Ketidakpuasan utama para demonstran berkisar pada semakin ‘otoriter’-nya
kebijakan Erdogan dan apa yang mereka anggap akan perlahan melakukan
“Islamisasi” vis-à-vis “agenda konservatif” AKP. Dan sementara
protes-protes itu sama sekali tidak sama besarnya dengan yang
mengguncang (dan terus mengguncang) Mesir, Suriah, Libya, protes-protes
itu tetap meninggalkan kewaspadaan terhadap masa depan (Turki) baik bagi
rezim Erdogan maupun masyarakat internasional yang tampaknya menjadi
tidak jelas setelah mengalami dekade yang relatif tenang dan menikmati
popularitas. Apa yang menyebabkan protes-protes itu semua menjadi lebih
penting adalah karena protes-protes itu menjadi tantangan bagi pilar dua
kunci Erdogan dan keberhasilan AKP, yakni “keajaiban” ekonomi dan
kebijakan regional “soft power”-nya.
Fungsi dari Negara “Model Turki ”
Pemerintahan Bush segera memahami bahwa stabilitas di Timur Tengah
yakni keamanan internal dan eksternal yang kontinyu tidak akan tercapai
dengan hadirnya rezim-rezim otoriter yang hanya memperburuk antagonisme
yang ada di dunia Arab-Muslim. Politik kolonialisme dan elit-pribumi
yang melindungi status quo kolonial memerlukan perombakan wajah secara
ekstensif. Dengan demikian, Greater Middle East Initiative
(GMEI-Inisiatif Timur Tengah Raya), yang kemudian dikenal lebih luas
sebagai Broader Middle East and North Africa Initiative (Inisiatif Timur
Tengah dan Afrika Utara) mulai mencari kemitraannya di Timur Tengah
yang akan membantu mempromosikan “hak asasi manusia” dan “demokrasi”
yakni melanggengkan wacana neo-liberal. Namun, untuk menghindari
skenario lain di mana wacana asing menciptakan massa / bifurkasi kaum
elit (yang menyebabkan munculnya rezim-rezim otoriter), maka AS dan
sekutu Eropanya berusaha untuk “menjinakkan” neo-liberalisme dan
berusaha menjadikannya selaras dengan agama dan kepekaan budaya dari
penduduk di dunia Arab-Muslim. Tentunya hal ini cukup disebut sebagai
negara “Model Turki” yang bertindak sebagai contoh optimal yang mewakili
model negara sekuler “konservatif” yang telah diadopsi agar cocok dan
dengan berselimut retorika semi-Islam. Paul Wolfowitiz, seorang ideolog
neo-konservatif menjelaskan;
“Untuk memenangkan perang melawan terorisme, dan juga, untuk
membentuk dunia yang lebih damai, kita harus menjangkau ratusan juta
kaum moderat dan toleran di dunia Muslim. Kita harus berbicara kepada
orang-orang itu di seluruh dunia yang bercita-cita untuk menikmati
kebebasan dan inisiatif kebebasan. Turki menawarkan penampilan yang
meyakinkan bahwa nilai-nilai itu cocok dengan masyarakat modern – bahwa
keyakinan agama tidak perlu dikorbankan untuk membangun lembaga-lembaga
demokrasi yang modern [1].”
Pernyataan-pernyataan serupa dibuat oleh mantan Menteri Pertahanan
Hilary Clinton dan Presiden Amerika Serikat Barack Obama. Antusiasme
serta visi tersebut juga diungkapkan oleh Erdogan yang menjelaskan;
“Turki di wilayahnya dan terutama di Timur Tengah akan menjadi
panutan dalam mengatasi ketidakstabilan, suatu penggerak pembangunan
ekonomi, dan suatu mitra terpercaya untuk menjamin keamanan …. Tentu
saja, saya tidak mengklaim, bahwa pengalaman Turki merupakan model yang
dapat diterapkan secara identik ke dalam semua masyarakat Muslim
lainnya. Namun, pengalaman Turki memang memiliki hal yang bisa berfungsi
sebagai sumber inspirasi bagi masyarakat Muslim lainnya.”
Dalam sebuah studi ekstensif yang didanai oleh Departemen Pertahanan
dan militer AS, lembaga think-tank RAND menggambarkan pentingnya Model
Turki strategis, dengan memperingatkan: “Selanjutnya, pentingnya
geopolitik Turki menjadikannya suatu sekutu yang lebih cocok, karena
negara itu terletak di antara Eropa (Balkan dan Eropa Timur) dan Timur
Tengah dan dengan demikian mereka akan bertindak baik sebagai jembatan
ideologis dan geografis antara Timur Tengah “terbelakang” dan Barat yang
“beradab”.
Bagaimana “Model Turki” Bisa Berjalan?
Namun, fondasi ideologis dari negara “Model Turki ” sebagian besar
tetap tidak diketahui dan ambigu terhadap dunia Muslim – karena
sesungguhnya mandat dan ideologi “Islami” dari negara “Model Turki”
belum diartikulasikan atau dijelaskan. Dan karenanya gagal memberikan
dunia Muslim suatu kepemimpinan visioner yang diperlukan pada masa
pasca-Arab karena tidak menyediakan kerangka ideologis yang koheren dan
mandat Islam yang diperlukan untuk menemukan legitimasinya bersama
populasi Muslim.
Selain itu, popularitas Erdogan tidak bisa disalahpahami sebagai
popularitas ambivalen dari negara “Model Turki ” dengan kata lain
popularitas kepemimpinan Turki tidak didasarkan pada mandat “Islami”
dari rezim dan tidak juga dari ideologinya melainkan dari retorika
politik dan karisma ikonik Recep Tayyib Erdogan. Kepemimpinan
karismatik, yang sebagian besar didasarkan pada retorika dan pertunjukan
publisitas yang berfungsi sebagai dasar basis yang lemah dan
popularitasnya yang tidak berkelanjutan. Namun, meningkatnya kesenjangan
antara retorika dan kebijakan, kemungkinan akan merusak popularitas
Erdogan. Meskipun retorika anti-Assad-nya, misalnya, yang tersida dari
Erdogan adalah ketidakmampuannya dalam menanggapi serangan terhadap kota
Reyhanli di perbatasan Turki yang menewaskan sedikitnya 40 orang,
dimana intelijen Suriah dipersalahkan atas serangan itu dan Davutoglu
berjanji untuk “mengambil tindakan” namun janjinya tidak dipenuhi.
Kredibilitas Erdogan semakin berkurang ketika pertunjukkan publisitasnya
melibatkan konfrontasi kecil dengan Shimon Peres di Davos Panel pada
Forum Ekonomi Dunia. Pertanyaan yang muncul, apa yang terjadi pada
negara “Model Turki” setelah era Erdogan?
Suatu “keajaiban” ekonomi di Turki telah dipertanyakan menyusul aksi
protes yang mengguncang Turki, dimana sebagian besar demonstran adalah
yang tergabung dalam serikat pekerja yang merasa tidak puas dengan
kapitalisme agresif Erdogan dan liberalisasi ekonomi yang dijalankannya.
Suatu kebijakan yang tidak populer yang bergema di seluruh dunia
Muslim, yang paling jelas terjai di Mesir dan Yordania. Suatu indikator
keberhasilan neo-liberalisme dalam mengabadikan kesenjangan ekonomi
adalah tingkat inflasi yang meningkat pesat yang berfluktuasi antara 4% –
10% dimana hutang luar negeri meningkat hingga $ 336.900.000.
Lanskap ekonomi di Turki membuat model ini sulit untuk di-’ekspor’
dengan mempertimbangkan “aset ekonomi yang unik” dari negara itu yang
meliputi (1) posisi strategis antara Eropa dan Asia Tengah (2) basis
manufaktur yang kuat, dan (3) kerangka ekonomi yang sebelumnya memang
sudah stabil.
Kesimpulan
Era pasca Arab Spring akan membutuhkan kepemimpinan transformatif dan
visioner yang bukan hanya sebatas ruang lingkup retorika dan karisma,
dan tentu saja, tergantung pada ekonomi dan politik. Suatu kegagalan
ekonomi neo-liberal di seluruh dunia Arab-Muslim dan kecemasan yang
tumbuh dengan kepasifan politik akan menjadikan suramnya masa depan
negara “Model Turki ” terutama ketika pilar-pilar keberlanjutan dan
kontinuitas dirinya belum diartikulasikan dengan jelas. Hal ini membuat
seseorang bertanya-tanya bentuk kebijakan Amerika apakah yang akan
menggantikannya setelah kegagalannya dalam menerapkan kebijakan ‘hard
power’ untuk membendung “ekstremisme” dan sekarang telah menyaksikan
kejatuhan kaum “Islam moderat” di Mesir – yang mereka lihat sebagai
aktor dalam GMEI dan saluran penyebaran kebijakan “soft power”. Negara
“Model Turki” dan masa depannya yang suram sebagai sebuah “Model” dengan
demikian adalah suatu representasi yang mengejutkan dari imperium
Amerika yang pilar-pilarnya sedang runtuh – dimana salah satu pilar
terakhirnya adalah negara “Model Turki”. [Ali Harfouch]
(Sumber : rz/ www.khilafah.com 7 Agustus, 2013)
Catatan:
[1] “U.S. Deputy Secretary of Defense Paul Wolfowitz, Remarks for the
Turkish Economic and Social Studies Foundation,” Istanbul, 14 July 2002
(available at http://www.tesev.org.tr/eng/events/etk_paulw14072002.php>)
Posting Komentar untuk "Akhir Dari Negara “Model Turki”?"