[Jawab Soal] Bolehkah Saudara Ipar Tinggal Serumah?
Soal:
Bagaimana hukumnya saudara ipar
tinggal serumah? Bagaimana dengan konsekuensi khalwat dan aurat saudara
ipar perempuan yang bukan mahram bagi saudara ipar laki-lakinya di rumah
perempuan tersebut? Bagaimana pula hukum memandang saudara ipar?
Jawab:
Pertama: Secara syar’i tidak ada larangan bagi seorang wanita tinggal serumah dengan saudara perempuannya yang sudah bersuami. Ini ditegaskan dalam Nasyrah Soal-Jawab
tertanggal 19/11/1968. Tentu, dengan catatan, masing-masing dengan
kamar yang terpisah. Suami saudarnya, atau saudara iparnya, tidak boleh
tinggal sekamar dengannya. Suami saudara perempuannya, atau saudara ipar
laki-lakinya, juga tidak boleh ber-khalwat dengan dirinya.
Dalam hal ini, tidak ada bedanya, apakah saudara iparnya itu orang
shalih atau tidak. Sebab, tinggal serumah dalam ini hukumnya mubah.
Hal senada juga ditegaskan dalam Nasyrah Soal-Jawab
tanggal 11/5/1970 M. Intinya, seorang wanita boleh hidup serumah dengan
saudara perempuannya sekandung di rumah suaminya. Syaratnya, dalam
kamar yang terpisah, dan di rumah tersebut tidak terjadi praktik khalwat antara saudara perempuan sekandung dan saudara iparnya, yang tak lain adalah suami saudara perempuanya.
Mengenai larangan khalwat, itu karena hubungan antara saudara ipar laki-laki dan perempuan tersebut bukanlah mahram permanen (mahram ta’bîd), seperti hubungan dengan ibu mertua, misalnya, sebaliknya hubungan ini merupakan mahram sementara (mahram mu’aqqat). Jadi khalwat tersebut hukumnya tetap haram. Alasannya, karena status ke-mahram-annya bersifat sementara, bukan permanen. Status mahram sementara ini tetap bukan mahram. Karena itu saudara ipar laki-laki dan perempuan tersebut tetap tidak boleh ber-khalwat.
Dengan kata lain, keduanya tidak boleh berduaan di dalam rumah, ketika
saudara perempuannya tidak ada di rumah. Karena itu, keduanya secara syar’i tidak dilarang tinggal serumah, namun tetap tidak boleh ber-khalwat.
Nabi saw. bersabda:
لاَ يَخْلُوَنَّ أَحَدُكُمْ بامرأة ليستْ له بمحرمٍ فإنَّ ثالثَهُما الشيطان
Tidaklah salah seorang di antara
kalian berduaan dengan seorang wanita yang bukan mahram-nya kecuali
sesungguhnya pihak ketiganya adalah setan (HR at-Tirmidzi dan al-Hakim. at-Tirmidzi berkomentar, “Hadis ini hasan sahih”).
Mahram yang dimaksud di sini adalah mahram permanen, bukan mahram sementara.
Karena itu, dalam Nasyrah Soal-Jawab tanggal 14/9/1968 M, terkait dengan status pembantu perempuan, tidak ada larangan mempekerjakan pembantu perempuan yang bukan mahram, tetapi dengan syarat tidak boleh ber-khalwat dengan majikan laki-lakinya. Kebolehan mempekerjakan pembantu perempuan ini tidak bisa dijadikan alasan untuk membolehkan ber-khalwat.
Dengan demikian bagi bujang sebenarnya tidak ada larangan mempekerjakan pembantu perempuan, dengan catatan tidak terjadi khalwat.
Namun, jika tidak bisa dihindari, hukum mempekerjakannya menjadi tidak
boleh. Karena itu bagi laki-laki bujang lebih baik tidak mempekerjakan
pembantu perempuan sehingga tidak terperosok dalam keharaman, dengan
melakukan khalwat. Solusinya, dia bisa mempekerjakan pembantu laki-laki sehingga tidak terkena larangan khalwat.
Kedua: Konsekuensi dari kebolehan tinggal serumah dengan bukan mahram tersebut, baik dengan saudara ipar maupun pembantu, adalah terkait dengan larangan wanita berpakaian dengan tsawb al-mihnah (baju kerja) di hadapan bukan mahram-nya. Sebagaimana ditegaskan dalam kitab An-Nizham al-Ijtima’i,
larangan tersebut sebenarnya bersifat umum. Hanya saja, ada sejumlah
nas yang mengecualikan dalam satu kondisi, yakni wanita yang
berpenampilan dengan tsaub al-mihnah (baju kerja) dinyatakan
tidak berdosa ketika itu dilakukan di rumahnya, dalam kehidupan khusus,
atau ketika dia tinggal bersama orang lain dalam satu rumah. Syaratnya,
penghuni rumah yang bukan mahram tersebut tetap berkewajiban untuk menundukkan pandangan terhadap dirinya.
Dalam hal ini ada dua hal yang harus dibedakan.
1. Larangan syariah kepada perempuan untuk berpenampilan dengan tsawb al-mihnah (baju kerja) di hadapan lelaki yang bukan mahram-nya. Larangan ini bersifat umum.
2. Kebolehan yang diberikan syariah kepada dirinya untuk berpenampilan dengan tsawb al-mihnah (baju kerja) di rumahnya, dengan mahram-nya
atau bukan. Kebolehan ini bersifat khusus, di rumahnya, yang
mengecualikan dari larangan umum sebelumnya. Lagi pula, ada kebolehan
yang diberikan syariah kepada perempuan tersebut untuk tinggal serumah
dengan lelaki asing, tentu dengan tetap berkewajiban untuk menundukkan
pandangan terhadap aurat perempuan yang bukan mahram-nya itu.
Karena itu sebenarnya tidak ada kontradiksi antara dua konteks ini. Lihat Nasyrah Soal-Jawab
tanggal 8 Syar’ban 1388 H. Pertanyaan lebih detailnya adalah, jika
pakaian kerja tersebut menampakkan aurat perempuan—seperti rambut,
kedua lengan, harta, leher dan bagian dadanya—apakah masih tetap
dibolehkan tinggal serumah dengan saudara ipar? Hal yang sama juga bisa
terjadi ketika ada tamu kerabat datang saat lebaran atau waktu tertentu,
kemudian perempuan yang tinggal di rumah tersebut berpenampilan dengan
dengan tsawb al-mihnah (baju kerja), apakah juga masih dibolehkan?
Jawabanya tetap harus dibedakan antara dua hal:
1. Hukum perempuan berpakaian dengan tsawb al-mihnah (baju kerja) di rumahnya, dengan konsekuensi terlihat auratnya.
2. Hukum melihat auratnya.
Tentang hukum yang pertama jelas boleh, tidak ada pengecualian. Adapun tentang hukum kedua, tetap haram bagi lelaki yang bukan mahram-nya.
Ketiga: Adapun yang ketiga, yaitu melihat aurat perempuan yang bukan mahram-nya, secara mutlak hukumnya haram. Keharaman secara mutlak ini berlaku baik hanya sekadar melihat (mujarradi an-nadhr) atau melihat untuk dinikmati (nadhrah ladzdzah).
Hanya saja, syariah kemudian mengecualikan larangan untuk menikmati
bagi suami. Demikian halnya larangan secara mutlak melihat aurat,
dikecualikan bagi 12 orang, termasuk paman (dari bapak) maupun paman
(dari ibu).
Begitu pula larangan melihat kecantikan
perempuan tersebut, dikecualikan dari wajah dan telapak tangan bagi
seluruh lelaki, baik mahram maupun bukan. Karena itu melihat untuk dinikmati (nadhrah ladzdzah), yaitu melihat dengan syahwat, secara mutlak hukumnya haram, kecuali bagi suami/istri.
Melihat wajah dan telapak tangan secara
umum, yaitu sekadar melihat, secara mutlak hukumnya mubah. Adapun
terhadap yang lain, di luar wajah dan telapak tangan, secara mutlak
hukumnya haram, kecuali bagi orang yang mempunyai hubungan mahram dan sejenisnya yang disebutkan oleh Allah SWT. Inilah ketentuan yang berlaku dalam kehidupan umum.
Namun, dalam kehidupan khusus, yaitu di
rumahnya, syariah telah membolehkan perempuan untuk menampakkan
kecantikannya, lebih dari sekadar wajah dan telapak tangan; sesuatu yang
nota bene ditampilkan oleh pakaian kerja (tsaub al-mihnah). Allah SWT berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
لِيَسْتَأْذِنْكُمُ الَّذِينَ مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ وَالَّذِينَ لَمْ
يَبْلُغُوا الْحُلُمَ مِنْكُمْ ثَلاثَ مَرَّاتٍ مِنْ قَبْلِ صَلاةِ
الْفَجْرِ وَحِينَ تَضَعُونَ ثِيَابَكُمْ مِنَ الظَّهِيرَةِ وَمِنْ بَعْدِ
صَلاةِ الْعِشَاءِ
Hai orang-orang yang beriman,
hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang kalian miliki, juga
orang-orang yang belum baligh di antara kalian, meminta izin kepada
kalian tiga kali (dalam satu hari) yaitu: sebelum shalat subuh, ketika
kalian menanggalkan pakaian (luar) kalian di tengah hari dan sesudah
shalat Isya (QS an-Nur [24]: 58).
Dalam nas ini, Allah SWT melarang
anak-anak yang belum balig dan budak masuk ke rumah perempuan dalam tiga
waktu, yang disebut sebagai tiga waktu aurat bagi mereka. Namun, Allah
SWT kemudian membolehkan mereka memasuki rumah perempuan tersebut di
luar itu, sebagaimana ditegaskan:
ثَلاثُ عَوْرَاتٍ لَكُمْ لَيْسَ عَلَيْكُمْ وَلا عَلَيْهِمْ جُنَاحٌ بَعْدَهُنَّ طَوَّافُونَ عَلَيْكُمْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ
(Itulah) tiga aurat bagi kalian.
Tidak ada dosa atas kalian dan atas mereka selain dari (tiga waktu) itu.
Mereka melayani kalian, sebagian kalian (ada keperluan) kepada sebagian
(yang lain) (QS an-Nur [24]: 58).
Ini artinya, di luar ketiga waktu
tersebut, anak-anak dan budak perempuan tersebut boleh masuk ke rumah
perempuan tersebut tanpa izin, yang nota bene mereka sedang bekerja, dengan mengenakan baju kerja (tsaub al-mihnah).
Dari nas ini bisa dipahami, bahwa bagi
perempuan tersebut ada kebolehan hidup dengan pakaian kerja dan
menampakkan apa yang ditampakkan oleh pakaian kerjanya. Kepada siapa?
Kepada anak-anak dan budaknya. Dalam hal ini, dia tidak berdosa jika
berpakaian dengan baju kerja (tsaub al-mihnah). Juga boleh apa
yang ditampakkan oleh pakaiannya tersebut tampak oleh anak-anak dan
budaknya. Dia juga tidak harus menutupinya dari mereka. Mereka juga
tidak harus izin terlebih dulu ketika memasuki rumah perempuan tersebut.
Adanya frasa al-ladzina ma malakat aimanuhum (budak) dan al-ladzina lam yablughu al-hulum (anak-anak
belum baligh) ini tidak bisa dijadikan argumen, bahwa ini hanya berlaku
untuk mereka berdua, sementara yang lain tidak boleh. Memang kepada
mereka berlaku ‘illat maqshurah, yaitu alasan hukum, yang hanya berlaku untuk mereka, karena adanya predikat thawwâfûn. Dengan begitu, adanya ‘illat maqshurah
ini menafikan kemungkinan yang lain bisa dianalogikan kepadanya. Hanya
saja, ini berlaku untuk mereka yang tidak tinggal serumah. Bagi mereka
yang tinggal serumah, tidak; karena larangan:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
لا تَدْخُلُوا بُيُوتًا غَيْرَ بُيُوتِكُمْ حَتَّى تَسْتَأْنِسُوا
وَتُسَلِّمُوا عَلَى أَهْلِهَا ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ لَعَلَّكُمْ
تَذَكَّرُونَ
Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kalian memasuki rumah yang bukan rumah kalian sebelum meminta
izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik
bagi kalian agar kalian (selalu) ingat (QS an-Nur [24]: 27).
Mafhûm Mukhâlafah-nya,
kalau masuk ke rumah sendiri, atau tempat tinggalnya sendiri, tidak
perlu minta izin. Selain itu, ayat ini turun, ketika ada seorang
perempuan Anshar mengadu kepada Nabi, “Ya Rasulullah, saya di rumah
dalam kondisi yang sebenarnya tidak ingin dilihat oleh siapapun, baik
oleh ayah maupun anak saya. Ayah sering masuk ke rumah saya, dan anggota
keluarga saya selalu masuk ke rumah saya, sementara saya dalam kondisi
seperti itu. Lalu, apa yang harus saya lakukan?”
Lalu turunlah QS an-Nur [24]: 27 ini.
Karena itu, ini membuktikan bahwa
masalah dalam kehidupan khusus ini bukanlah masalah menutup atau membuka
aurat, tetapi masalah kesibukan kerja yang dilakukan oleh kaum
perempuan. Dalam kondisi seperti ini, yaitu sibuk bekerja, Allah SWT
tidak memerintahkan perempuan untuk tidak bekerja, ketika ada lelaki
lain. Allah SWT juga tidak memerintahkan perempuan untuk menutup
auratnya. Sebaliknya, yang diperintahkan oleh Allah SWT adalah kaum
pria, agar meminta izin kepada dirinya ketika hendak masuk ke rumahnya.
Tidak peduli, apakah pria tersebut mahram-nya atau bukan; juga
tidak peduli apakah yang masuk tersebut pria atau wanita; kecuali jika
yang masuk itu adalah anak-anak dan budak perempuan tersebut. Namun, dia
tidak dilarang untuk berpakaian dengan tsawb al-mihnah.
Karena itu, masalah lelaki yang bukan mahram-nya melihat dirinya dalam kondisi berpakaian dengan tsawb al-mihnah, ketika perempuan tersebut di rumahnya, ini merupakan masalah yang terkait dengan status hukum “lelaki bukan mahram
yang melihat auratnya”; bukan masalah yang terkait dengan kewajiban
perempuan tersebut harus menutup auratnya atau menghentikan kesibukannya
bekerja. Dengan demikian, yang dihukumi adalah fakta “lelaki bukan mahram yang melihat aurat” perempuan lain. Jadi, hukumnya haram. Namun, tidak haram bagi yang mempunyai hubungan mahram.
Selain itu, lelaki tersebut juga
diperintahkan untuk menundukkan pandangannya dari melihat di luar wajah
dan telapak tangan (QS an-Nur [24]: 30).
Dengan demikian hukum tinggal serumah bagi saudara ipar atau majikan dengan pembantunya boleh, dengan syarat tidak terjadi khalwat.
Masing-masing dengan tempat tinggal, atau kamar terpisah satu dengan
yang lain. Perempuan yang tinggal serumah boleh mengenakan pakaian
kerja, ketika di rumah, sementara saudara iparnya wajib menundukkan
pandangannya, dan tidak melihat auratnya. Semuanya ini berlaku bagi
orang yang tinggal serumah.
Bagi mereka yang tidak tinggal serumah,
maka untuk memasuki rumah tersebut, wajib meminta izin kepada
penghuninya; baik mereka yang hendak masuk tersebut bapak, ibu, kerabat
atau siapa saja; baik mempunyai hubungan mahram ataupun tidak. Semuanya
wajib minta izin kepada penghuninya. Hanya saja, jika yang masuk
tersebut berstatus mahram, maka perempuan yang tinggal di dalamnya tidak perlu menutup auratnya. Namun, jika bukan mahram,
maka wajib menutup auratnya. Jika perempuan tersebut tetap tidak
menutupnya, maka dia berdosa. Adapun bagi pria yang berhadapan dengan
perempuan yang mengenakan pakaian kerja, dia wajib menundukkan
pandangannya.
Dengan demikian, sebagaimana dijelaskan dalam Nasyrah Soal-Jawab
tanggal 30/5/1967 M, jelas ada bedanya antara pria yang tinggal serumah
dengan tidak. Bagi yang tinggal serumah, tidak perlu minta izin untuk
memasuki rumah yang dia tempati, dan perempuan yang tinggal serumah
dengannya, juga tidak wajib menutup auratnya ketika di rumah dengannya.
Dengan catatan, tetap tidak boleh ber-khalwat. Meski demikian,
pria tersebut tetap berkewajiban untuk menundukkan pandangannya. Adapun
bagi pria yang tidak tinggal serumah, maka selain harus meminta izin
ketika memasuki rumah tersebut, perempuan di rumah itu wajib menutup
auratnya; kecuali terhadap anak-anak dan budaknya, atau mahramnya. WalLahu a’lam.[www.visimuslim.com]
Sumber : Majalah Al Waie edisi September 2013
Posting Komentar untuk "[Jawab Soal] Bolehkah Saudara Ipar Tinggal Serumah?"