Masa Jabatan Khalifah
Banyak peneliti yang telah kalah secara pemikiran dan kejiwaan di
hadapan serangan pemikiran Barat. Banyak pula yang sudah terpengaruh
dengan model sistem pemerintahan kontemporer, semisal sistem republik.
Mereka ini begitu terpesona dan menganjurkan ide pembatasan masa jabatan
kepala negara. Alasan mereka, pembatasan ini akan menyelamatkan
masyarakat dari perbudakan dan kesewenang-wenangan para penguasa.
Padahal ada-tidaknya perbudakan dan kesewenang-wenangan para penguasa
itu bersumber dari sistem itu sendiri (Samarah, an-Nizhâm as-Siyâsi fi al-Islâm Nizhâm al-Khilâfah ar-Râsyidah, hlm. 68-69).
Telaah Kitab kali ini akan membahas Rancangan UUD (Masyrû’ Dustûr) Negara Islam pasal 39, yang berbunyi: “Tidak
ada batas waktu bagi jabatan Khalifah. Selama Khalifah mampu
mempertahankan dan melaksanakan hukum syariah serta mampu menjalankan
tugas-tugas negara, maka ia tetap menjabat sebagai khalifah, kecuali
terdapat perubahan keadaan yang menyebabkan dirinya tidak layak lagi
menjabat sebagai khalifah sehingga ia wajib segera diberhentikan.” (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 165).
Nas Baiat Bersifat Mutlak
Nas baiat yang terdapat di dalam banyak hadis semuanya bersifat
mutlak dan tidak terikat dengan jangka waktu tertentu. Hal ini
didasarkan pada sabda riwayat penuturan Anas bin Malik ra., bahwa
Rasulullah saw. bersabda:
« اسْمَعُوا وَأَطِيعُوا وَإِنِ اسْتُعْمِلَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ كَأَنَّ رَأْسَهُ زَبِيبَةٌ »
Dengar dan taatilah pemimpin kalian sekalipun yang memimpin adalah seorang budak Ethiopia (hitam) yang kepalanya seperti kismis (HR al-Bukhari).
Dalam riwayat lain, yakni riwayat Imam Muslim dari jalan Ummu al-Hushain, disebutkan bahwa Rasulullah saw. bersabda:
« يَقُودُكُمْ بِكِتَابِ اللَّهِ فَاسْمَعُوا لَهُ وَأَطِيعُوا »
(Selama) ia masih memimpin kalian sesuai dengan Kitabullah, maka ia wajib didengar dan ditaati (HR Muslim).
Hadis-hadis tersebut semuanya menunjukkan dengan jelas bahwa baiat
terhadap Khalifah bersifat mutlak dan tidak terikat dengan jangka waktu
tertentu. Dengan demikian masa jabatan seorang khalifah tidak terbatas.
Seorang bisa menjadi khalifah sejak ia dibaiat hingga meninggal dunia
(An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 165; Ajhizah Dawlah al-Khilâfah fi al-Hukm wa al-Idârah, hlm. 51).
Ijmak Sahabat
Khulafaur Rasyidin telah dibaiat dengan baiat yang bersifat mutlak,
sebagaimana baiat yang terdapat di dalam sejumlah hadis. Kekhalifahan
mereka tidak dibatasi dengan masa jabatan tertentu. Masing-masing dari
Khulafaur Rasyidin itu memimpin sejak dibaiat sampai meninggal dunia.
Dengan demikian hal itu merupakan Ijmak Sahabat—semoga Allah SWT
meridhai mereka—yang menunjukkan bahwa jabatan Kekhilafahan tidak
mempunyai masa jabatan tertentu, tetapi bersifat mutlak. Karena itu,
jika seorang khalifah dibaiat, ia tetap menjadi khalifah hingga ia
meninggal dunia (Ajhizah Dawlah al-Khilâfah fi al-Hukm wa al-Idârah, hlm. 51).
Ijmak Sahabat di Saqifah Bani Saidah menunjukkan bahwa Islam tidak
menetapkan bagi Khalifah batasan waktu tertentu. Namun, Islam membatasi
jabatan Khalifah dengan syarat-syarat yang harus dipenuhi. Jika ada satu
syarat yang dilanggar, Khalifah bisa diberhentikan dari jabatannya.
Jika ia memenuhi semua persyaratan, ia tetap memimpin pemerintahan
sepanjang hidupnya, selama ia masih layak dan mampu memikul semua
tanggung jawabnya, serta menjalankan semua kewajiban syariah yang
menjadi dasar pembaiatannya (Samarah, An-Nizhâm as-Siyâsi fi al-Islâm Nizhâm al-Khilâfah ar-Râsyidah, hlm. 66-67).
Ijmak Sahabat juga mengharuskan untuk tidak mencabut perkara baiat
setelah baiat diberikan. Abu Bakar ash-Shiddiq ra. berpidato di hadapan
kaum Muslim yang datang untuk berbaiat:
فَأَطِيعُونِي مَا أَطَعْتُ اللهَ وَرَسُولَهُ فَإِذَا عَصَيْتُ اللهَ وَرَسُولَهُ فَلاَ طَاعَةَ لِي عَلَيْكُمْ
Taatilah aku selama aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Jika aku
durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya, maka kalian tidak wajib taat
kepadaku (Ath-Thabari, Târîkh ath-Thabari, II/238).
Dari riwayat ath-Thabari ini jelas bahwa perkataan Abu Bakar ra. itu
didengar oleh para sahabat. Abu Bakar ra. menghubungkan ketaatan kepada
beliau dengan ketaatan kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Abu Bakar ra.
sama sekali tidak menghubungkan ketaatan itu dengan masa waktu tertentu.
Inilah Ijmak Sahabat tentang kewajiban tetap taat kepada Khalifah
sepanjang hidupnya selama Khalifah tetap taat kepada Allah dan
Rasul-Nya. Jadi, ketaatan kepada Khalifah ditentukan oleh ketaatan
Khalifah kepada Allah dan Rasul-Nya, bukan ditentukan oleh masa waktu
tertentu (Samarah, An-Nizhâm as-Siyâsi fi al-Islâm Nizhâm al-Khilâfah ar-Râsyidah, hlm. 68).
Setelah Abu Bakar ra. dibaiat, ia menutup pintunya selama tiga hari,
dan setiap hari—selama tiga hari itu—ia mendatangi para sahabat. Abu
Bakar ra. berkata, “Saudara-saudara sekalian. Sungguh Aku meminta kalian
untuk mencabut kembali baiat kalian, lalu kalian membaiat orang yang
kalian cintai.”
Ketika itu Ali bin Abu Thalib ra. berdiri, dan berkata:
لاَ نُقِيْلُكَ وَلاَ نَسْتَقِيْلُكَ
Kami tidak akan memecat engkeu dan kami tidak akan meminta untuk memecat engkau (Al-Muttaqi, Kanzul Ummâl fi Sunani al-Aqwâl wa al-Af’âl, V/657).
Perkataan Ali ra. ini terjadi dengan didengar langsung oleh para
sahabat, dan tidak seorang pun yang membantahnya. Dengan ini berarti
telah terjadi Ijmak Sahabat, bahwa apabila baiat telah diberikan kepada
Khalifah, maka tidak boleh mencabut kembali baiat tersebut. Baiat umat
kepada Khalifah mengharuskan umat mendengar dan taat kepada Khalifah
yang mereka baiat. Tentu, ini berlaku selama Khalifah itu masih takwa
kepada Allah SWT, menjalankan hukum-hukum-Nya atas rakyatnya, serta
menjalankan semua tanggung jawab dan kewajibannya sesuai syariah. Umat
wajib menaati dan menolong Khalifah selama kondisinya belum berubah,
meski ia menjadi penguasa (khalifah) sepanjang hidupnya (Samarah, An-Nizhâm as-Siyâsiy fi al-Islâm Nizhâm al-Khilâfah ar-Râsyidah, hlm. 67).
Melanggar Ijmak Sahabat
Membatasi masa jabatan Khalifah adalah melanggar Ijmak Sahabat. Dr. Mahmud al-Khalidi berkata: “Membatasi
masa jabatan Khalifah adalah melanggar Ijmak Sahabat, bahwa Khalifah
dibaiat untuk selama hidupnya, asalkan ia tetap memimpin sesuai
ketentuan yang terkandung dalam baiat yang diberikan kepadanya…” (Al-Khalidi, Ma’âlim al-Khilâfah fi al-Fikr as-Siyâsi al-Islâmi, hlm. 299-335).
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani berkata:
Kepemimpinan (jabatan) Khalifah tidak mempunyai masa tertentu
yang dibatasi dengan patokan waktu tertentu. Selama Khalifah masih tetap
menjaga syariah, menerapkan hukum-hukumnya, serta mampu melaksanakan
berbagai urusan negara dan tanggung jawab kekhilafahan, ia tetap sah
menjadi khalifah. Sebab, teks baiat yang terdapat di dalam hadis-hadis
yang ada semuanya bersifat mutlak dan tidak terikat dengan jangka waktu
tertentu… Khulafaur Rasyidin juga telah dibaiat dengan baiat yang
bersifat mutlak, sebagaimana baiat yang terdapat di dalam sejumlah
hadis. Kekhalifahan mereka tidak dibatasi dengan masa jabatan tertentu.
Masing-masing dari Khulafaur Rasyidin itu memimpin sejak dibaiat sampai
meninggal dunia…Dengan demikian, hal itu merupakan Ijmak Sahabat—semoga
Allah meridhai mereka—yang menunjukkan bahwa jabatan Kekhilafahan tidak
mempunyai masa tertentu, tetapi bersifat mutlak. Karena itu, jika
seorang khalifah dibaiat, ia tetap menjadi khalifah hingga meninggal
dunia (An-Nabhani, Nizhâm al-Hukmi fi al-Islâm, hlm. 90).
Muhammad Yusuf Musa juga berkata:
Islam tidak mengenal masa waktu tertentu bagi seorang khalifah
yang telah dibaiat untuk mengurusi urusan umat. Kemudian setelah itu, ia
turun dari jabatan untuk digantikan oleh yang lainnya melalui cara
Pemilu, atau cara-cara yang lain. Namun, Islam hanya mengenal bahwa
Khalifah memiliki kewajiban-kewajiban yang harus dia lakukan. Seorang
Khalifah tetap menjadi penguasa dan memikul tanggung jawabnya, selama ia
masih tetap menjaga syariah, menerapkan hukum-hukumnya, serta mampu
melaksanakan berbagai urusan negara dan tanggung jawab kekhilafahan,
meski hal itu akan berlangsung sepanjang hidupnya (Musa, Nizhâm al-Hukmi fi al-Islâm, hlm. 146).
Dengan demikian, jika akad Khilafah telah diberikan kepada seseorang
yang telah memenuhi syarat-syarat akad Khilafah, maka ia menjadi
khalifah kaum Muslim sepanjang hidupnya. Kaum Muslim wajib memberikan
ketaatan sepenuhnya dan menolong Khalifah terpilih selama ia konsisten
dengan syariah Islam dalam memimpin mereka, serta selama ia masih mampu
melaksanakan berbagai urusan negara dan tanggung jawab Kekhilafahan.
Dengan demikian, membatasi periode waktu tertentu untuk kepemimpinan
Khalifah adalah melanggar Ijmak Sahabat. Bahkan pendapat ini merupakan
perkara yang aksiomatis (tidak terbantahkan) di kalangan para pemikir
politik Islam (Samarah, An-Nizhâm as-Siyâsiy fi al-Islâm Nizhâm al-Khilâfah ar-Râsyidah, hlm. 68).
Khalifah Bisa Diberhentikan Kapan Saja
Benar bahwa periode masa jabatan Khalifah tidak terbatas dan tidak
memiliki masa waktu tertentu. Namun, jika pada diri Khalifah terjadi
sesuatu yang mengakibatkan dirinya dipecat, atau yang mengharuskan
dirinya dipecat, maka masa jabatannya berakhir dan ia dipecat. Walaupun
demikian, pemecatan dirinya bukanlah pembatasan masa Kekhilafahan,
tetapi hanya merupakan kejadian berupa rusaknya syarat-syarat
Kekhilafahannya. Sebab, redaksi baiat yang telah ditetapkan berdasarkan
nas syariah dan Ijmak Sahabat telah menjadikan Khilafah tidak terbatas
waktunya. Akan tetapi, Khalifah dibatasi masanya oleh pelaksanaan
Khalifah terhadap sesuatu yang menjadi dasar pembaiatannya, yaitu
Kitabullah dan Sunnah Rasulullah, yakni sejauh mana Khalifah mengamalkan
Kitabullah dan Sunnah Rasulullah itu serta menerapkan hukum-hukumnya.
Dengan demikian jika Khalifah tidak lagi menjaga syariah atau tidak
menerapkannya maka ia wajib dipecat.
Imam Nawawi mengutip pernyataaan Imam Qadhi ‘Iyadh:
فَلَوْ طَرَأَ عَلَيْهِ كُفْرٌ وَتَغْيِيْرٌ
لِلشَّرْعِ أَوْ بِدْعَةٌ خَرَجَ عَنْ حُكْمِ الوِلاَيَةِ وَسَقَطَتْ
طَاعَتُهُ وَوَجَبَ عَلىَ المُسْلِمِيْنَ القِيَامُ عَلَيْهِ وَخَلْعُهُ
وَنَصْبُ إِمَامٍ عَادِلٍ إِنْ أَمْكَنَهُمْ ذَلِكَ
Seandainya seorang penguasa terjatuh ke dalam kekufuran dan
mengubah syariah, atau terjatuh dalam bid’ah yang mengeluarkan dari hukm
al-wilayah (tidak sah lagi mengurusi urusan pemerintahan), maka
terputuslah ketaatan kepada dirinya, dan wajib atas kaum Muslim untuk
memerangi dan memakzulkan dirinya, sekaligus mengangkat seorang imam
adil jika hal itu memungkinkan bagi mereka (An-Nawawi, Syarh Shahîh Muslim, XII/318).
Dengan demikian, meski kepemimpinan Khalifah tidak memiliki masa
waktu tertentu untuk jabatannya, ia bisa diberhentikan kapan saja ketika
ia sudah tidak lagi memenuhi ketentuan akad Khilafah. Dengan demikian
kemungkinan akan terjadinya perbudakan dan kesewenang-wenangan oleh
Khalifah dapat dicegah dan dihilangkan. WalLâhu a’lam bish-shawâb. [Muhammad Bajuri]
Daftar Bacaan:
Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah fi al-Hukm wa al-Idârah. Beirut: Darul Ummah, Cetakan I, 2005.
Al-Khalidi, Dr. Mahmud, Ma’âlim al-Khilâfah fi al-Fikr as-Siyâsi al-Islâmi. Beirut: Maktabah al-Muhtasib, Cetakan I, 1984.
Musa, Muhammad Yusuf, Nizhâm al-Hukmi fi al-Islâm. Beirut: al-Maktab al-Islami, Cetakan I, 1986.
Al-Muttaqi, ‘Alauddin Ali bin Hisamuddin, Kanzul Ummâl fi Sunani al-Aqwâl wa al-Af’âl. Beirut: Muassasah ar-Risalah, Cetakan V, 1981.
An-Nabhani, Asy-Syaikh Taqiyuddih, Muqaddimah ad-Dustûr aw al-Asbâb al-Mujîbah Lahu, Jilid I. Beirut: Darul Ummah, Cetakan II, 2009.
An-Nabhanai, Asy-Syaikh Taqiyuddih, Nizham al-Hukm fi al-Islâm. Beirut: Darul Ummah, Cetakan VI, 2002.
An-Nawawi, Abu Zakaria Muhyuddin bin Syaraf ad-Dimasyqi, Syarh Shahîh Muslim. Muassasah Qurthuba, Cetakan II, 1994.
Samarah, Ihsan Abdul Mun’im Abdul Hadi, An-Nizhâm as-Siyâsiy fi al-Islâm Nizhâm al-Khilâfah ar-Râsyidah. Amman: Dar Yafa al-Ilmiyah, Cetakan I, 2000.
Ath-Thabari, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir, Târîkh ath-Thabari. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, tanpa tahun.
Posting Komentar untuk "Masa Jabatan Khalifah"