Metode Meraih Kekuasaan Yang Sahih
Angin perubahan yang berhembus dari
Tunisia dipicu oleh kemarahan rakyat yang membuncah kepada penguasanya.
Selama dua bulan, rakyat Tunisia bangkit melakukan perlawanan kepada
penguasa despot (thaghut), Zain al-Abidin bin Ali yang berkuasa selama 24 tahun. Ben Ali pun jatuh, setelah militer mengambil alih kekuasaan di Tunisia.
Angin perubahan ini pun berhembus ke Mesir. Selama tiga minggu non stop,
rakyat Mesir yang selama ini merasa tertindas oleh kediktatoran rezim
diktator Husni Mubarak, pun bangkit melakukan perlawanan. Mubarak pun
tumbang, Jumat (11/2). Pengunduran diri itu diumumkan wakilnya, Omar
Sulaiman, kepala intelijen Mesir dan binaan CIA. Kekuasaan Mesir kini
berada di tangan militer.
Dari
dua peristiwa ini, bisa diambil pelajaran bahwa bertahan dan
tumbangnya sebuah rezim tidak bisa dilepaskan dari dukungan militer. Ben
Ali tumbang setelah militer, dan tentu Prancis, tidak lagi mendukung
penguasa tiran itu. Sebaliknya, Mubarak pada awalnya tetap bertahan juga
karena dukungan militer, selain tentu juga dukungan Amerika dan
Israel, di belakang rezim tersebut. Karena itu, kekuatan rakyat dalam
bentuk people power sebesar apapun tidak serta merta bisa menggulingkan rezim, kecuali dengan dukungan militer.
Dengan
demikian, peranan militer sangat menentukan dalam perubahan. Baik
murni bersandar pada kekuatannya sendiri, maupun karena dukungan dari
luar. Dukungan luar pun tidak bisa serta merta mengambil alih
kekuasaan, kecuali melalui dua jalan. Pertama, melalui kekuatan militer setempat, sebagaimana yang dilakukan Amerika ketika menggulingkan Soekarno, melalui Soeharto. Kedua,
melalui invasi militer, sebagaimana yang dilakukan Amerika ketika
menggulingkan Saddam Husein. Karena itu, metode perubahan melalui thalab an-nushrah sebenarnya bukan merupakan hal yang asing dalam proses perubahan.
Memang benar, bahwa people power bisa
digunakan untuk melakukan perubahan dengan menjatuhkan rezim yang ada,
lalu menggantinya dengan rezim yang baru. Meski, sebagaimana uraian di
atas, perubahan itu tidak serta merta karena kekuatan rakyat, tetapi
karena adanya dukungan militer. Dukungan militer tersebut diberikan
setelah adanya preassure yang kuat dari rakyat. Posisi people power dalam konteks ini semacam conditioning (pengondisian) menuju terjadinya perubahan. Ini seperti yang terjadi saat Soeharto dipaksa turun dari jabatannya melalui people power, setelah militer menyatakan berpihak kepada rakyat. Hal yang sama juga terjadi di Tunisia.
Target dari people power
pun kadang hanya sekadar mengganti rezim, sementara sistemnya masih
tetap sistem lama. Kadang mengganti dua-duanya, sistem dan rezimnya
sekaligus. Hanya saja, untuk target kedua ini sangat sulit diwujudkan
melalui gerakan people power. Kecuali, jika people power
tersebut dibentuk oleh kekuatan umat yang sadar dan menuntut perubahan
berdasarkan ideologi Islam yang diyakininya. Kekuatan umat yang sadar
ini terbentuk setelah umat dipersiapkan untuk meyakini dan menerima
sistem Islam, baik sistem pemerintahannya, ekonomi, sosial, pendidikan,
sanksi hukum maupun politik luar negerinya. Menyiapkan umat hingga
memiliki kesadaran ideologis ini hanya bisa dilakukan oleh partai
politik ideologis.
Kepemimpinan
partai ideologis di tengah-tengah umat inilah yang pada akhirnya
menentukan kekuatan umat, ketika ideologi partai, yaitu akidah dan
sistem yang diembannya telah menjadi ideologi umat dan ketika master plan partai, baik di bidang pemerintahan, ekonomi, sosial, pendidikan, sanksi hukum dan politik luar negerinya, maupun road map
untuk mewujudkannya telah diterima dan diyakini oleh umat. Umat yang
sadar seperti inilah yang menjadi pondasi dan tonggak perubahan
mendasar. Merekalah yang menjadi pilar tegaknya negara. Negara yang
dibangun dengan kekuatan umat seperti itu juga merupakan negara yang
sangat kuat dan solid. Itulah Negara Khilafah yang kita idamkan.
Namun
tetap harus dicatat, bahwa kekuatan umat yang sadar di bawah
kepemimpinan partai idoelogis itu saja ternyata belum menjamin
kesuksesan peralihan kekuasaan (istilam al-hukm). Terbukti,
bahwa sejak dekade awal 50-an abad yang lalu, partai ideologis itu ada
dan berkiprah hingga kini, tidak kurang dari 58 tahun, dan umat yang
sadar itu pun telah terbentuk di hampir 50 negara lebih, tetapi ternyata
peralihan kekuasaan (istilam al-hukm) itu belum terjadi. Ini
membuktikan, bahwa kekuatan umat yang sadar ini tidak bisa berdiri
sendiri. Ini juga membuktikan, bahwa konsolidasi dua kekuatan, yaitu
kekuatan umat yang dipimpin oleh partai ideologis tersebut di satu sisi,
dan kekuatan militer (ahl an-nushrah) di sisi lain, mutlak diperlukan untuk menjamin suksesnya peralihan kekuasaan (istilam al-hukm) tersebut.
Sebagaimana
kekuatan umat yang sadar tersebut tidak bisa menjamin suksesnya
peralihan kekuasaan, maka kekuatan militer juga sama. Sejarah
membuktikan, bahwa belum pernah ada kekuatan militer yang bisa
memerintah tanpa dukungan partai politik. Apa yang terjadi beberapa
tahun lalu di Thailand, ketikan Jenderal Sonti menggulingkan PM Taksin,
yang kemudian menyerahkan pemerintahan kepada kekuatan politik partai,
adalah bukti bahwa kekuatan militer tidak bisa memerintah sendiri. Hatta junta militer di Myanmar sekalipun, mereka nyatanya tetap membutuhkan partai politik, meski hanya simbolik.
Karena itu, bisa disimpulkan bahwa satu-satunya proses peralihan kekuasaan (istilam al-hukm) yang benar, dan dijamin sukses adalah metode thalab an-nushrah
yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW. Selain sesuai dengan
analisis faktual di atas, inilah metode satu-satunya yang ditelah
dipraktekkan oleh Rasul ketika menerima kekuasaan dari penduduk Yatsrib
(Madinah).
Pihak
yang mempunyai kekuatan ketika itu adalah kepala suku dan kabilah,
maka kepada merekalah Rasulullah SAW berusaha sungguh-sungguh untuk
mendapatkan pertolongan. Rasulullah pernah mendatangi Bani Tsaqif di
Thaif, Bani Hanifah, Bani Kalb, Bani Amir bin Sha’sha’ah dan sejumlah
kabilah yang lain. Namun, ternyata semuanya menolak. Ada yang menolak
dengan keras, bahkan tidak manusiawi, seperti yang beliau alami di
Thaif; ada juga yang menolak tanpa syarat, seperti yang beliau alami
ketika menyatakan hasrat beliau kepada Bani Hanifah; atau ditolak karena
beliau tidak mau mengabulkan syarat mereka, seperti yang beliau alami
dari Bani Amir bin Sha’sha’ah.
Keteguhan Nabi melakukan thalab an-nushrah di
tengah penolakan yang keras tersebut justru menjadi indikasi, bahwa
tindakan beliau ini hukumnya wajib. Alasannya: (1) karena langkah ini
beliau lakukan dengan konsisten, apapun dampak dan risikonya; (2)
dampak dan risiko yang beliau terima ternyata tetap tidak mengubah
konsistensi beliau. Dua hal ini menjadi indikasi (qarinah), bahwa cara dan langkah tersebut hukumnya memang wajib.
Dalam konteks sekarang, thalab an-nushrah bisa
dilakukan terhadap kepala negara, kepala suku dan kabilah, militer
serta siapa saja yang mempunyai kekuatan dan pengaruh secara riil di
tengah masyarakat. Syaratnya, mereka harus mengimani sistem Islam dan
membenarkannya. Ini didasarkan pada riwayat, yang menyatakan, “Beliau pun meminta mereka untuk membenarkan beliau, dan memberikan perlindungan kepadanya.” (Ibn Hisyam, As-Sirah an-Nabawiyyah, II/36.) Inilah satu-satunya cara yang legal dalam pandangan syariah dalam melakukan perubahan dan membangun pemerintahan Islam. Wallâhu a‘lam. [KH. Hafidz Abdurrahman]
Posting Komentar untuk "Metode Meraih Kekuasaan Yang Sahih"