Tuduhan Snowden: “AS Menyadap SBY” Bagaimana Sikap Negara dalam Pandangan Islam?
Beberapa waktu yang lalu sempat berkembang berita tentang penyadapan
yang dilakukan oleh AS terhadap Presiden RI, Dr. Soesilo Bambang
Yudhoyono. Jagat intelijen dan pertahanan Indonesia pun dibuat gempar
oleh berita tersebut. Namun, setelah berlangsung beberapa waktu, Badan
Intelijen Negara (BIN) mengisyaratkan keterlibatan mantan pegawai
Central Intelligence Agency (CIA), Edward Snowden—disingkat ES— dalam
penyadapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ketika mengikuti Konferensi
Tingkat Tinggi G20 di London pada 2009. Menurut Kepala BIN Marciano, di
Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat, 2 Agustus 2013,
keterlibatan Snowden disimpulkan berdasarkan informasi dari agen BIN di
Inggris dan Australia.
Terlepas apakah ini dilakukan oleh Snowden sendiri, atau pemerintah
AS terhadap seorang presiden sebuah negara, insiden ini tetap harus
dipandang serius. Terutama oleh sebuah negara yang berdaulat. Penyadapan
ini merupakan bentuk lain dari aksi spionase (mata-mata) yang dilakukan
oleh AS terhadap Indonesia. Informasi Snowden ini adalah informasi ke
sekian kali, bahwa AS memang melakukan aksi spionase terhadap Indonesia.
Informasi ini juga mengkonfirmasi apa yang pernah disampaikan oleh
mantan KASAD, Jenderal Ryamizard Ryacudu, tentang aksi spionase
tersebut.
Memposisikan AS, dan Negara Penjajah Lainnya
Untuk menyikapi insiden ini, pertama-tama yang harus dilakukan oleh
negara adalah memposisikan AS dalam konteks geopolitik dunia, dalam
hubungannya dengan Indonesia. Ini tentu tidak lepas dari mindframe (kerangka
berpikir) apa yang digunakan untuk melihatnya. Tentu akan lebih mudah,
jika kita mendudukan AS dan Indonesia, dengan menggunakan Islam,
ketimbang mindframe yang lain.
Dalam pandangan Islam, geopolitik dunia dibagi menjadi dua: Dar al-Islam (Wilayah Islam) dan Dar al-Kufr (Wilayah
Kufur). Ini dengan asumsi, jika Khilafah ada. Nah, ketika Khilafah
tidak ada, maka saat ini sebenarnya hanya ada satu, yaitu Dar al-Kufr (Wilayah Kufur). Meski begitu, banyak negara yang termasuk dalam kategori ini merupakan Bilad Islamiyyah (Negeri
Muslim). Negeri-negeri Muslim ini jumlahnya banyak, lebih dari 50
negara. Dengan tidak adanya Khilafah yang memayungi mereka, maka
wilayah-wilayah ini termasuk dalam kategori Dar al-Kufr (Wilayah
Kufur). Tetapi, dengan berdirinya Khilafah, yang insya Allah tidak lama
lagi, wilayah-wilayah ini akan disatukan dalam satu negara, dan kembali
menjadi Dar al-Islam (Wilayah Islam).
Selain itu, negeri-negeri Muslim yang berjumlah lebih dari 50 itu,
saat ini berada dalam cengkraman negara-negara Kafir penjajah. Ada yang
dijajah oleh AS, Inggeris, Perancis maupun Rusia. Meski secara fisik
merdeka, tetapi negeri-negeri Muslim ini belum lepas dari cengkraman
negara-negara Kafir penjajah. Inilah yang sesungguhnya menjadi alasan,
mengapa negara-negara penjajah itu melakukan mata-mata terhadap berbagai
aktivitas penguasa di negeri tersebut, tidak lain untuk memastikan,
bahwa mereka dan negerinya tidak jatuh ke tangan negara penjajah yang
lain.
Selain untuk memastikan negeri tersebut tetap dalam genggamannya,
mereka juga ingin memastikan, jangan sampai Khilafah berdiri di salah
satu negeri kaum Muslim ini. Karena dengan berdirinya Khilafah di sana,
maka ini akan menjadi ancaman serius bagi keberlangsungan penjajahan
mereka di negeri-negeri Muslim, sekaligus mengakhiri hegemoni mereka di
dunia.
Karena itu, umat Islam, termasuk para penguasa kaum Muslim, di
dalamnya termasuk aparat keamanan di setiap negeri Islam, harus
mempunyai mindframe dan kesadaran politik yang benar. Kerangkan
berpikir dan kesadaran politik yang membuat mereka, dan umat ini melek
terhadap setiap tindakan, dan manuver yang dilakukan oleh negara-negara
Kafir penjajah terhadap negeri mereka, dan diri mereka sendiri.
Negara Kafir Harbi Fi’lan, Hukman dan Mu’ahad
Klasifikasi di atas, diikuti dengan klasifikasi berikutnya oleh para ulama’. Mereka membedakan lagi, antara Daulah Muharibah Fi’lan, Hukman dan Mu’ahadah. Daulah Muharibah Fi’lan adalah
negara Kafir yang terang-terangan memusuhi Islam dan kaum Muslim.
Contohnya, seperti AS, Inggeris, Perancis, Rusia dan Cina. Kondisi ini
bisa berubah, mengikuti kebijakan politik negara-negara itu terhadap
Islam dan kaum Muslim di seluruh dunia.
Sedangkan Daulah Muharibah Hukman adalah negara-negara Kafir
yang dihukumi sebagai musuh Islam dan kaum Muslim, tetapi tidak secara
terang-terangan melakukan permusuhan. Dihukumi demikian, karena mereka
tidak terikat dan mengikatkan diri dalam perjanjian damai dengan Negara
Islam. Contohnya, Jepang, Korea Selatan, misalnya. Terkahir adalah Daulah Mu’ahadah,
negara yang terikat dan mengikatkan diri dalam perjanjian damai dengan
Negara Islam. Negara seperti ini, sebenarnya termasuk dalam kategori Muharibah Hukman, terutama ketika masa perjanjiannya telah berakhir.
Sikap politik dasar Negara Islam (Khilafah) terhadap semua negara
tadi pada dasarnya adalah “hubungan perang”. Meski secara riil, belum
tentu berperang. Namun, sikap dasar ini penting untuk ditegaskan, agar
senantiasa muncul kesadaran dan kewaspadaan terhadap negara-negara
tersebut. Dengan sikap dasar ini, maka strategi pertahanan dan keamanan
negara bisa dibangun dengan tepat dan efektif.
Misalnya, ketika AS, Inggeris, Perancis, Rusia dan Cina ditetapkan sebagai Negara Kafir Harbi Fi’lan,
berarti hubungan yang terjadi antara Negara Islam dengan mereka adalah
hubungan perang, bukan hubungan damai, apalagi persahabatan. Dalam
kondisi hubungan perang, maka hubungan diplomatik antara kedua negara
pasti tidak ada. Kedutaan mereka di negeri-negeri kaum Muslim juga tidak
ada. Ketika ada warga negara mereka yang memasuki wilayah negeri-negeri
kaum Muslim, maka mereka ditetapkan sebagai Musta’min (orang
yang masuk dengan visa). Itupun dengan catatan, bahwa mereka masuk untuk
belajar Islam, bukan yang lain. Jika mereka melakukan mata-mata, maka
mereka bukan hanya wajib dideportasi, tetapi bisa juga dijatuhi hukuman
mati.
Hal yang sama, bisa diberlakukan kepada warga negara yang lain, di luar Kafir Harbi Fi’lan.
Dengan demikian, kontrol negara terhadap warga negara asing yang
memasuki wilayahnya menjadi jelas. Karena ada patokan dan standar yang
jelas. Dengan demikian, maka peluang mereka untuk melakukan aksi
spionase bisa dengan mudah dicegah.
Strategi Pertahanan dan Informasi
Jika mindframe, sikap dasar, patokan dan standar tersebut
diterapkan, sebenarnya masalah ancaman terhadap pertahanan dan keamanan
dari luar lebih mudah dideteksi. Tinggal akses informasi dan komunikasi
di dalam negeri yang menjadi sumber ancaman terhadap pertahanan dan
keamanan. Juga sistem informasi dan komunikasi melalui jaringan satelit.
Dalam konteks yang terakhir ini, dibutuhkan kerja keras negara. Meski
ada yang mengatakan, tidak mungkin akses informasi dan komunikasi tidak
ditutup, apalagi di era seperti ini. Pernyataan seperti ini sekilas
memang benar. Tetapi, kalau pun ini terjadi, justru ini menjadi
tantangan bagi Negara Khilafah, untuk menciptakan teknologi yang bisa
mengontrol semuanya tadi. Terlebih dengan kebijakan luar negeri
Khilafah, yang tidak membolehkan adanya hubungan luar negeri yang
dilakukan oleh siapapun, kecuali oleh Negara Khilafah.
Kebijakan ini, mau atau tidak, menuntut Khilafah untuk membangun
teknologi informasi dan komunikasi yang bisa mendukung kebijakannya itu.
Jika tidak, maka ini akan menjadi pintu aksi-aksi spionase, yang pasti
akan membahayakan eksistensinya.
Kesimpulan
Dengan demikian, memang sulit membendung, apalagi mengatasi aksi spionase di negeri-negeri kaum Muslim, di seluruh dunia, jika mindframe,
sikap dasar, patokan dan standar yang digunakan tidak jelas seperti
saat ini. Padahal, dengan Islam, semua persoalan tadi bisa diselesaikan.
Apalagi, jika yang digunakan sebagai mindframe, sikap dasar,
patokan dan standar yang digunakan, baik oleh umat Islam maupun
penguasanya adalah asas manfaat. Mengapa? Karena asas manfaat ini tidak
jelas standarnya, menurut siapa, apa ukurannya? Juga tidak jelas.
Perlu diperhatikan, digunakannya asas manfaat sebagai mindframe,
sikap dasar, patokan dan standar dalam hubungan dengan negara lain,
membuktikan, bahwa sebuah negara itu tidak mempunyai akidah (ideologi).
Inilah yang terjadi di seluruh negeri kaum Muslim.
Memang umat Islam mempunyai akidah Islam, tetapi akidah itu tidak digunakan sebagai dasar, dan mindfram,
yang dengannya kemudian terbentuk sikap dasar, patokan dan standar
halal-haram. Inilah yang menjadi masalah mendasar dari kasus-kasus yang
terjadi tadi. Karena itu, dari sinilah, sesungguhnya masalah ini harus
diselesaikan. Jika tidak, mustahil bisa diselesaikan. Wallahu a’lam. [Hafidz Abdurrahman]
Posting Komentar untuk "Tuduhan Snowden: “AS Menyadap SBY” Bagaimana Sikap Negara dalam Pandangan Islam?"