Hubungan Australia, Indonesia, dan Gerakan Islam di Bawah PM Tony Abbott [2]
Adapun pendekatan hard power , tetap dilakukan Australia, untuk memberikan bantuan kepada pemerintah Indonesia memerangi apa yang diklaim sebagai kelompok teroris. Pembentukan Densus 88 pasca terjadinya bom Bali yang menewaskan banyak warga Australia, tidak bisa dilepaskan dari pendekatan ‘keras’ ini. Australia memiliki peran yang sangat penting dalam pembentukan dan sepak terjang Densus 88, baik berupa bantuan dana ,pelatihan dan perlengkapan persenjataan. Dibawan Tony Abbott kebijakan ini juga tidak akan berubah.
Pemerintah Australia, tentu tidak bisa mengandalkan sepenuhnya rezim
sekuler dan liberal di Indonesia. Mengingat kerapuhan rezim sekuler
liberal ini dimata rakyatnya sendiri akibat kegagalan menangani ekonomi
dan maraknya korupsi. Ditambah lagi geliat gerakan Islam yang semakin
menguat di Indonesia yang pada puncaknya akan sulit dibendung oleh rezim
sekuler liberal di Indonesia. Survey PEW baru-baru ini yang menunjukkan
72% menginginkan penerapan syariah Islam oleh negara di Indonesia,
tentu sangat mengkhawatirkan Australia.
Karena itu, untuk tetap memberikan payung keamanan yang kuat di
kawasan Asia Pasific termasuk Australia, keberadaan militer Amerika di
kawasan ini sangat penting. Penempatan 200 pasukan Amerika di Australia
yang berbasis di Darwin sejak April 2012 dari total 2500 pasukan yang
direncakan pada tahun 2017, merupakan indikasi penting akan hal ini .
Disamping dalam rangka kepentingan ekonomi, membendung pengaruh China
dan perebutan sumber daya alam dan jalur tranportasi dunia strategis,
kepentingan membendung berdirinya negara Islam dikawasan ini juga tidak
bisa diabaikan.
Termasuk keberadaan pesawat tempur tak berawak Global Hawk. Seperti
di Pakistan, Afghanistan,dan Yaman, pesawat tak berawak ini secara
khusus bertugas menyerang apa yang mereka sebut sebagai sasaran teroris
dan fundamentalis. Bukan tidak mungkin hal yang sama akan digunakan oleh
Amerika ke depan terhadap kelompok-kelompok Islam.
Tensi ‘ Retorika Politik’ Mungkin Memanas
Meskipun tidak ada perubahan yang signifikan, terpilihnya Tony Abbot
mungkin akan membuat retorika politik Australia Indonesia, termasuk
terhadap Islam dan kelompok Islam, sedikit memanas. Terutama untuk
memuaskan keinginan pendukung-pendukung ‘garis keras’ Tony Abbot.
Janji Abbot yang akan bersikap keras terhadap pencari suaka yang
kerap melawati wilayah Indonesia sedikit membuat tensi
Indonesia-Australia memanas, paling tidak secara retorika politik.
Tensi ini juga sedikit akan memanas, mengingat selama ini Abbot
dikenal mengidap Islamophobia dan pro Israel. Saat mengomentari pemakain
hijab terutama burqa di Australia Abbot mengatakan : ”Terus terang, ini
bukan jenis pakaian yang saya ingin lihat dipakai secara luas di
jalan-jalan kita”
Tidak pelak lagi ucapan pedas Abbot ini dikecam Maha Abdo, Executive
Officer Asosiasi Perempuan Muslim dengan mengatakan bahwa pernyataan
seperti itu adalah suatu usaha yang disengaja untuk menargetkan
komunitas Muslim Australia.
Selama kunjungan anggota parlemen Belanda dari sayap kanan Geert
Wilders, Abbott menjelaskan bahwa meskipun pandangan Wilders pandangan
tentang Islam “secara substansial salah,” dia tetap “berhak memiliki
sudut pandangnya.”
Namun sikapnya berbeda dengan kehadiran Taji Mustafa aktifis Hizbut
Tahrir Inggris, dengan keras Abbott mengatakan Taji sebagai pengkhutbah
kebenciaan. Dalam kampanye Abbot juga berjanji akan melarang
kelompok-kelompok Islam yang dia tuduh garis keras seperti Hizbut Tahrir
di Australia.
Ketika membahas isu pemisahan laki-laki dan perempuan muslim di
kampus-kampus Australia, Abbot memberikan komentar : ” Saya kira hal
ini (segregasi) yang terjadi di sini bukan tindakan orang Australia dan
saya tidak bisa mengerti mengapa Universitas Melbourne mentolerir hal
ini”
Padahal Wakil Rektor Universitas Melbourne, Glyn Davis, tidak
keberatan atas pemisahan ini. Davis menjelaskan bahwa meskipun dia tidak
secara pribadi mendukung pemisahan ini, hal ini adalah hak-hak
masyarakat untuk melakukannya di acara-acara seperti ini.
Dia juga menunjukkan kemunafikan atas pernyataan Abbott dengan
mengatakan :”Ketika Tony Abbott menemukan hal ini sebagai hal yang
benar-benar luar biasa bahwa sebuah lembaga liberal yang besar mengambil
lompatan besar kembali ke zaman kegelapan”, dia membela liberalisme
dengan mengabaikan nilai-nilai liberal lainnya seperti toleransi dan
kebebasan berkumpul.”
Ketika menjelaskan krisis saat ini di Suriah, dimana banyak terlihat
kematian atas sebagian orang tidak berdosa kerena kekejaman rezim Bashar
Assad Abbott menjelaskan :”Hal ini bukanlah tentang orang baik vs
orang jahat, namun ini mengenai orang jahat vs orang jahat dan itulah
alasannya mengapa sangat penting menjadikan situasi sulit ini menjadi
lebih buruk lagi.”
Pro Israel
Tony Abbot selama ini juga dikenal pro Zionis. Tidak mengherankan ,
kemenangan Abbott disambut gembira oleh Loby Yahudi. Goldberg menyambut
gembira kemenangan Tony Abbott seperti yang diwartakan harian Haaretz
.”Konsensus yang dekat dalam mendukung Tony Abbott untuk menggantikan
Kevin Rudd sebagai PM mendatang negara itu terjadi saat Partai Liberal
dilaporkan berencana untuk meningkatkan hubungan dengan Yerusalem,
memudahkan permohonan visa bagi orang Israel, melarang lebih banyak
kelompok-kelompok teror dan menghentikan dukungan keuangan dari
organisasi-organisasi yang mendukung kampanye untuk memboikot Israel, ”
kata Goldberg.
Abbott telah berjanji kepada Lobby Yahudi untuk memberikan visa
gratis bagi orang-orang Yahudi Israel (hanya AS dan Kanada yang memiliki
fasilitas tersebut yang diberikan kepada orang-orang), untuk melarang
atau menentang gerakan BDS (Boycotts, Divestments and Sanctions), dan
untuk melarang atau membatasi masuk setiap orang yang memiliki hubungan
dengan Hamas atau Hizbullah.
Dan penting dicatat peran lobi yahudi di Australia untuk mendorong
Indonesia menjalin hubungan diplomatic dengan negara Israel juga sangat
kuat. Tujuh orang dari Indonesia dikabarkan laman
berita israelhayom.com berkunjung secara diam-diam ke Israel diantaranya
Tantowi Yahya difasilitasi sebuah organisasi Yahudi Australia
pro-Zionis.
Dalam tulisan itu disebut kunjungan ketujuh tokoh itu untuk
berkunjung ke kantor parlemen Israel Knesset. Mereka bertemu dengan
beberapa anggota parlemen Israel.“Delegasi dari Indonesia itu dipimpin
anggota parlemen Tantowi Yahya,” tulis israelhayom.com.Menurut laman
itu, ini merupakan kunjungan pertama delegasi dari negara Asia Tenggara
yang bertemu dengan parlemen Israel. [Farid Wadjdi (Anggota Maktab I’lami Hizbut Tahrir Indonesia)] (Habis)
Posting Komentar untuk "Hubungan Australia, Indonesia, dan Gerakan Islam di Bawah PM Tony Abbott [2]"