Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pilwalkot dan Sikap Politik Mahasiswa


Perhelatan pesta demokrasi yang dibungkus dalam Pilwalkot, tinggal menunggu hari. Masing-masing Kandidat Walikota dan Wakil Walikota terus menyuarakan program-program termanis kepada masyarakat Kota Makassar. Para kandidat pun saling bersaing, baik dalam Kampaye terbuka, seperti Iklan di TV Lokal, Spanduk, banner, stiker, selebaran, dan lain sebagainya. Yang nampak, tentu saling adu keunggulan janji dari masing-masing pasangan kandidat.

Warna-warni kompetisi demokrasi dalam Pilwalkot ini juga diwarnai Black Campain (Kampanye Hitam) yang menampakkan keruhnya demokrasi. Black Campain tidak hanya terjadi di Perhelatan Pilwalkot kali ini. Hampir tidak pernah terdengar pemilu di seantero negeri ini terlaksana tanpa black campain. Walaupun para kandidat bisa mengklaim black campain dilakukan pihak-pihak di luar lingkaran mereka, tapi hal ini menjadi indikator lemahnya tatanan politik dalam demokrasi. Kompetisi ketat yang mengisyaratkan saling sikut antar kandidat sulit dihindari, jika melihat besarnya pengorbanan yang dicurahkan untuk naik ke podium pemenang kekuasaan.

Kelemahan tatanan politik demokrasi juga tampak pada motivasi para calon pemilih dalam menjatuhkan pilihanya di TPS (Tempat Pemungutan Suara) nanti. Dilihat dari cara menggaet para calon pemilih lewat kampanye-kampanye para kandidat, rasanya motivasi karena masyarakat benar-benar cerdas politik masih jauh panggang dari api. Masyarakat masih disuguhi dengan praktek bagi-bagi uang dan bentuk materi lain dalam kampanye ataupun diluar kampanye resmi. Walapun praktek bagi-bagi materi itu dibungkus dengan bermacam modus, seperti hadiah dari lomba yel-yel pemilu, pembagian sembako, ataukah modus lain. Intinya kampanye hanya berisi iming-iming dan keuntungan sesaat, yang justru membekukan daya berfikir masyarakat. Pencerdasan masyarakat tidak akan tercapai lewat model kampanye demokrasi seperti itu, yang memang sebelum-sebelumnya banyak masyarakat yang jauh dan dijaukan dari sarana pencerdasan politik. Politik demokrasi digambarkan hanya dengan pencoblosan, setelah itu hak-hak politik masyarakat di simpan dalam kantong pemenang pemilu. Ini ulah penguasa sebelumnya dan rasanya tak akan banyak berubah untuk penguasa selanjutnya. Gambaranya selalu sama, dekat dan peduli saat kampanye, tapi keberadaannya tak terendus saat berkuasa. Ini bisa disebut fenomena dongeng demokrasi.
Semakin menyadarkan, ketika mengetahui kucuran dana kampanye pada Pilwalkot Makassar adalah yang terbesar dari seluruh Pilwalkot/Pilbup yang pernah terlaksana di Indonesia. Ini bukan prestasi yang patut dibanggakan, apalagi di tengah krisis ekonomi yang mencekik. Posisi Makassar sebagai salah satu kota metropolitan tak mungkin lepas dari efek melonjaknya Dolar terhadap Rupiah. Beberapa komoditas pangan penopang hidup rakyat sudah merangkak naik, ini pasti mencekik rakyat. Tapi faktanya tak terlalu berefek pada menterengnya dana kampanye masing-masing kandidat.

Tengok saja mahar parpol pengusung , mencapai Rp. 4 Milyar, masing-masing parpol di berikan 8 kursi untuk maju ke pilkada, dan harga satu kursi Rp. 500 Juta. Biaya Survei pilkada di makassar, satu kali survei minimal 80 Juta, dan untuk Quick Count atau hitung cepat mencapai Rp. 80 Juta – Rp. 100 Juta. Biaya Konsultan Pemenang, mencapai Rp. 5 Milyar – Rp. 10 Milyar. Biaya saksi, pelatihan saksi di taksir Rp. 500 Juta, dan honor saksi peroranagnya Rp. 200 Ribu, Jika honor saksi di jumlahkan mencapai Rp. 2 Milyar. Biaya Operasional tim pemenang, pembentukan infrastruktur pemenang disemua tingkatan berkisar Rp. 5 Milyar, pembuatan posko pemenang di setiap kelurahan Rp. 1 Milyar, Sewa perlengkapan posko pemenang induk Rp. 400 Juta. Biaya kampanye, Kontrak artis ibu kota, Rp. 1 Milyar selama 12 hari masa kampanye, belum lagi biaya mobilisasi massa ke lokasi kampanye, dan biaya peralatan panggung. Belanja iklan, Iklan di TV Nasional Rp. 15 juta per durasi 30 detik tiap kali tayang (Koran Sindo Makassar). Dana yang cukup fantastis untuk mendulang suara. Menjadi pertanyaan besar, dengan apa nanti dana-dana itu digantikan?.

Krisis yang memburuk di tahun demokrasi ini tentu akan menjadi beban hebat di tengah masyarakat. Bagaimana tidak, sebelum beban krisis ekonomi, kenaikan TDL dan kenaikan BBM sudah cukup mencekik . tapi justru biaya kampanye meluber , mengalir bagaikan air di rumah rakyat yang kebanjiran. Besarnya aliran dana kampanye pilkada, mengisaratkan adanya main mata dengan para sponsor atau pemilik modal. Langkah selanjutnya bisa terbaca, kepentingan sponsor ikut bermain dalam kucuran dana. Mahalnya demokrasi kemudian tak berdampak pada rasa kemakmuran masyarakat.

Sikap Mahasiswa

Mahasiswa sebagai intelektual muda memiliki peran yang tercantum dalam tridharma perguruan tinggi, pendidikan, penelitian, dan pegabdian.  Peran dari tridharma perguruan tinggi harus nampak di tengah masyarakat, agar tidak hanya jadi jargon. Jika lembaga pendidikan formal sudah terlalu pasif memberi pemahaman politik kepada masyarakat, maka mahasiswa harus menggelar pendidikan terbuka lewat mimbar bebas dan parlemen jalanan yang damai. Langkah lain, mahasiswa harus terus menganalisis fakta sosial yang terjadi dan menghasilkan produk-produk penelitian berdasarkan disiplin ilmu masing-masing, yang nantinya akan dilempar di tengah masyarakat. Ini merupakan wujud nyata pengamalan tridharma perguruan tinggi. Bukannya larut dalam lobi-lobi dan transaksi untung dan rugi demokrasi, karena justru sikap politik mahasiswa menjadi klise, klise pula identitasnya sebagai mahasiswa.

Harus disadari mahasiswa, demokrasi merupakan perwujudan sekularisme yang selama ini telah membungkus periode perjuangan politik Gerakan Mahasiswa. Seakan demokrasi menjadi doktrin ‘suci satu-satunya’ yang membawa pada perubahan. Aktivitas politik dibatasi hanya pada mencoblos. Jika tidak mencoblos, artinya pasrah pada kemungkinan naiknya pemimpin yang nantinya justru tidak mewakili aspirasi rakyat. Bijak jika jargon ini didudukkan pada ruang analisis yang kritis.

Nyatanya memilih salah satu kandidat dalam pilkada memiliki resiko laten yang sama. Ini bisa dilihat dari rekam jejak semua calon yang turun dalam gelanggang demokrasi. Berulangnya para penguasa terpilih lewat pemilu, berulang pula raport hitam pemerintahan mereka torehkan. Model kampanye yang penuh dengan iming-iming, hiburan membuai, dan bagi-bagi materi yang dibungkus dengan berbagai dalih, sangat jauh dari nilai edukasi kepada masyarakat. Masyarakat hanya dibujuk untuk menjatuhkan pilihan pada calon yang bisa menguntungkan saat kampanye, tak perlu terlalu pusing dengan siapa yang akan dipilih. Masyarakat terbentuk menjadi massa yang mengambang, tak punya patokan jelas kenapa harus memilih. Kelak di pemilu berikutnya, siklus massa mengambang akan terus berulang. Tentu bisa dikatakan para pemilih juga ikut andil karena telah mengantar seseorang naik ke kursi kekuasaan.

Demokrasi hanya menjadi hiburan dan janji-janji kosong yang sudah termanifestasikan ditengah masyarakat. Demokrasi yang meletakkan kedaulatan pada manusia, menjadikan kehidupan berada pada timbangan untung dan rugi. Biaya kampanye yang selangit dan komposisi koalisi partai-partai yang mengusung masing-masing pasangan calon bisa mengindikasikan berbagai kepentingan yang berebut kekuasaan. Sangat naif jika menganggap tingginya biaya kampanye dan pengerahan segala sumber daya partai-partai koalisi murni untuk membela rakyat, jika dibandingkan dengan pendapatan dan tunjangan pasangan calon jika nanti memimpin Kota Makassar. Pengembalian segala hal yang telah dicurahkan saat kampanye  menjadi aroma yang tercium kuat.

Dalam sikap politiknya harusnya mahasiswa bisa menimbang perkara ini. Harus disadari kekuatan politik yang nyata ada di masyarakat, jika lemah pengetahuan politik masyarakat maka lemah pula struktur kehidupan. Akan jadi timpang ketika mahasiswa hanya bisa mengindra perkara untung dan rugi. Disinilah dituntut peran lebih mahasiswa untuk menularkan intelektualisme di tengah masyarakat, menalar dengan jernih dan dengan bermacam sudut pandang. Bahwa dengan berada diluar jalur demokrasi bukan berarti kehilangan hak politik, tapi sebenarnya mahasiswa bisa membuat barisan politik tandingan. Maka dalam masalah Pilwalkot mahasiswa harus bersuara serentak dengan masyarakat, bersuara menolak pesta demokrasi yang menghamburkan uang dengan hasil yang nihil. Barisan politik yang justru merumuskan kondisi sosial yang lebih unggul dibanding kerusakan demokrasi. Saat itulah mahasiswa harus berusaha mengumpulkan seluruh simpul masyarakat di dalam barisan politik tandingan. Merumuskan langkah jangka panjang untuk mengakhiri kepiluan demokrasi.

Politik Mahasiswa

Tak bisa disangkal bahwa kelak mahasiswa adalah pemimpin masa depan, pihak yang merumuskan kondisi sosial dan mengolah rumusan kondisi sosial tersebut. Tapi fakta, bahwa aktivitas politik mahasiswa sekarang tengah sempoyongan, ini cukup mengkhawatirkan. Bukan karena tingginya fenomena golput (golongan putih)di tengah mahasiswa, tapi suasana kampus yang telah jauh bergeser. Siklus kampus yang hedonis, apatis, dan kadang terlihat barbar menggambarkan pergeseran nilai politik dalam kampus. Politik menjadi bahasan yang terkesan membosankan. Tak disadari jika besarnya sarjana yang menganggur, mahalnya biaya kuliah, dan rusaknya moral sebagian mahasiswa, ini dikondisikan oleh situasi politik. Wacana ini yang seharusnya riuh dibicarakan di seantero sudut kampus. Tikar-tikar diskusi ilmiah tak boleh lenyap dari kampus, karena itulah ranah politik mahasiswa.

Mengurusi politik tidak selamanya harus berlumur politik praktis. Apalah artinya politik praktis jika dijalankan dengan sistem yang sesat. Politik hanya menjadi lahan cari makan lewat memeras rakyat. Lebih produktif jika wujud pengurusan politik, mahasiswa bisa menghimpun kesadaran masyarakat luas tentang politik yang benar. Karena bepolitik berarti berusaha mengatur dan memecahkan persoalan kehidupan, dari sini mahasiswa dan masyarakat harus berbicara idelogi untuk membingkai politik.

Tidak terlalu berlebihan jika ideologi Islam menjadi bingkai politik mahasiswa. Jika dalam demokrasi masih merembukkan apa yang baik dan buruk untuk kehidupan, di dalam Islam telah termuat penawar masalah-masalah kehidupan yang siap pakai. Islam yang menitik beratkan pendidikan menjadi penguat struktur masyarakat lewat perintah dalam Kitabullah dan anjuran Rasulullah SAW. Bukan hanya itu, tapi keharusan menjalankan seluruh perangkat-perangkat kehidupan dalam Islam agar tercapai keluhuran hidup. Ideologi Islam cukup ampuh untuk mencapai ini karena mengelola kehidupan di tiga sektor, pengelolaan hubungan dengan Sang Pencipta, pengelolaan hubungan dengan sesama manusia, dan pengelolaan hunbungan dengan diri sendiri, masing-masing memiliki ketentuan yang telah digariskan. Dengan keparipurnaan ini, Ideologi Islam akan mudah merangkum kepahaman masyarakat untuk bisa memandang diluar kacamata demokrasi. [Harly Yudha Priyono ( Koord. Divisi Analisis Politik GEMA (Gerakan Mahasiswa) Pembebasan Kota Makassar)]

Posting Komentar untuk "Pilwalkot dan Sikap Politik Mahasiswa"

close