Krisis Kedelai, Ironis Negara Agraris!
Awal September 2013, harga kedelai kembali mencapai rekor tinggi
dengan harga Rp9.500 bahkan di beberapa daerah ada yang menembus
Rp10.000 per kilogram (okezone.com). Bagi Indonesia yang merupakan
negara agraris tentu kenaikan harga kedelai seharusnya menjadi berkah.
Namun yang terjadi tidaklah demikian. Kenaikan harga kedelai justru
menjadi bencana yang serius yang menimpa masyarakat. Harga kedelai yang
awalnya murah melambung sangat tinggi. Hal ini berdampak pada
produksi makanan tahu dan tempe yang melambung tinggi. Bahkan di setiap
wilayah para produsen tahu dan tempe meluapkan kemarahannya dengan aksi
mogok produksi. walhasil hal ini berdampak pada langkanya makanan tahu
dan tempe di masyarakat.
Padahal seperti kita ketahui, bahwa tahu dan tempe adalah makan
rakyat yang kaya gizi yang bisa dijangkau oleh kalangan masyarakat
bawah. Namun apalah yang terjadi, kini harga makanan tersebut sangat
mahal dan langka.
Permasalahan kelangkaan kedelai tidak lepas dari kebijakan swasembada
pangan negeri ini yang carut marut. Seperti yang dikutip dari
okezone.com, Produksi kedelai nasional terbukti semakin hari terus
menurun dari 1,4 juta ton pada 1990 menjadi 851 ribu ton pada Angka
Tetap (ATAP) 2011. Sementara konsumsi nasional mencapai 2,4 juta ton
pada 2011. Dengan rata-rata produktivitas hanya berkisar 1,368 ton/ha
pada 2011. Sedangkan kebutuhan kedelai nasional mencapai sekira 3 juta
ton per tahun, kemampuan produksi hanya sebesar 800 ribu ton per tahun,
sehingga kekurangannya mengandalkan impor. (okezone.com).
Ketergantungan pada impor tentu menambah daftar panjang permasalahan
ekonomi Indonseia. Ekonomi Indonesia sekarang memang benar-benar dalam
keadaan yang sangat sulit. Di tengah-tengah krisis ekonomi yang
menghimpit masyarakat saat ini, kenaikan harga kedelai yang berujung
pada langkanya makanan tahu dan tempe adalah buah dari kebijakan ekonomi
pasar. Dimana segala sesuatu diserahkan pada mekanisme pasar dan peran
pemerintah diminimalisir. walhasil pemerintah lagi-lagi tidak berkutik
mengatasi kelangkaan kedelai ini.
Pemerintah seolah tidak mempedulikan kesulitan yang diderita
masyarakat akibat kelangkaan kedelai ini. Pemerintah tidak menunjukkan
dirinya sebagai sebuah institusi yang memiliki otoritas untuk melindungi
dan mengatur kesejahteraan rakyatnya. Bukankah keberadaan pemerintah
dan penguasa dimanapun adalah untuk mengatur dan memelihara urusan
rakyat? Jika pemerintah sudah tidak lagi mempedulikan urusan rakyatnya
sendiri, dan tidak mau tahu dengan kesulitan yang dihadapi masyarakat,
lalu siapa yang mengatur dan memelihara urusan rakyat?.
Pemerintah lebih suka berlepas tangan sehingga krisis dari kelangkaan
kedelai ini ditimpakan kepada rakyatnya sendiri untuk menanggung
beban. Bukankah sikap ini sama dengan menelantarkan dan menyengsarakan
rakyatnya sendiri? Padahal Selama ini harga-harga kebutuhan pokok rumah
tangga mengalami kenaikan yang sangat tinggi akibat dari kebijakan
menaikan BBM. Untuk ke sekian kalinya rakyat yang menjadi objek
penderita.
Produsen tempe tidak memproduksi tempe bukan karena mereka malas
bekerja, bukan karena mereka tidak punya etos kerja, bukan karena mereka
tidak amanah, bukan karena mereka tidak jujur. Semua ini akibat dari
kebijakan pangan ala neoliberal yang sangat pro pasar bebas (free –
market). Selama 20 tahun terakhir, pemerintah RI telah mengadopsi
kebijakan pangan ala neo-liberal yang sangat pro pasar bebas
(free-market) . Beberapa bentuk kebijakan yang telah diambil antara
lain: Penghapusan dan atau pengurangan subsidi, penurunan tarif impor
komoditi pangan yang merupakan bahan pokok (beras, terigu, gula, dll.),
pengurangan peran pemerintah dalam perdagangan bahan pokok. Hasil dari
kebijakan itu adalah ketergantungan ketersediaan pangan dalam hal ini
kedelai terhadap pasar luar negeri, ketika rupiah melemah otomatis
barang-barang impor juga mengalami kenaikan. Inilah yang menyebabkan
mereka mogok berproduksi karena harga kedelai melambung tinggi,
sementara daya beli masyarakat semakin turun.
Jadi mahalnya kedelai di negeri ini bukan karena tanah negeri ini
yang tidak subur, bukan lahan yang sempit, bukan juga faktor petani yang
malas menanam kedelai tapi semua itu berpangkal dari
kebijakan-kebijakan pertanian dan perdagangan yang muncul dari sistem
ekonomi kapitalisme yang menjadi pijakan pemerintah dan para penguasa
yang korup pemburu rente melalui mafia Impor. Peran negara diminimalkan
dalam kegiatan pertanian dan ekonomi serta hanya diposisikan sebagi
regulator. Dengan demikian peluang swasta khususnya asing akan semakin
besar dalam menguasai perekonomian negeri ini. Padahal Allah SWT
berfirman:
وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلًا
“Dan Allah tidak memberikan jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang beriman.” (QS: An-Nisa: 141)
Karena itulah Islam telah mengembalikan seluruh persoalan-persoalan
yang tidak dapat dipecahkan oleh individu dan masyarakat, dengan
menyerahkannya kepada negara (khalifah/kepala negara). Dalam hal ini
tidak ada alasan bagi negara untuk melalaikan kewajibannya dalam
memelihara dan mengurus urusan masyarakat. Sebab ia telah diberi
wewenang oleh Allah SWT untuk menerapkan hukum Islam dalam sistem
ekonomi, khususnya jaminan atas pemenuhan kebutuhan-kebutuhan pokok
rakyatnya. Dan Allah SWT sudah mempersiapkan dunia dan seisinya ini
untuk dijadikan sumber-sumber yang diperlukan bagi negara untuk
memelihara dan mengatur urusan manusia. Termasuk perangkat-perangkat
hukum dan sistem ekonominya telah ditawarkan oleh Allah SWT, jika saja
manusia itu bersedia beriman dan menaati Allah SWT dengan jalan
menerapkan sistem/hukum syariat Islam. Karena hanya Islamlah yang
menghasilkan kesempurnaan dan keadilan. Bukan sistem ekonomi atau
ideologi lainnya yang menjadi produk buatan manusia yang lemah dan
rusak.
Oleh karena itu, tidak ada cara lain untuk membebaskan rakyat dari
sistem Kapitalisme yang terbukti menyengsarakan ini kecuali menerapkan
sistem Ekonomi Islam dalam Tatanan Institusi negara, sebuah sistem yang
bersumber dari Aqidah Islam dan mengatur seluruh urusan masyarakat
dengan syariat Islam termasuk dalam pengelolaan sumber daya alam. Wallahu a’lam bisshawab. [Julian, S.Pd., M.Esy (Dosen Prodi Ilmu Ekonomi dan Keuangan Islam Universitas Pendidikan Indonesia)]
Posting Komentar untuk "Krisis Kedelai, Ironis Negara Agraris!"