Akhlak Mulia
Imam Ibnu Sirin suatu saat bertanya
kepada seseorang, “Bagaimana kabarmu?” Orang itu balik bertanya,
“Bagaimana jika ada orang yang memiliki hutang 500 dirham, sedangkan ia
juga harus menanggung nafkah keluarga?”
Ibnu Sirin paham. Ia pun segera masuk ke
rumah dan keluar kembali dengan membawa uang 1000 dirham (sekitar Rp
70.000.000,-) hingga tidak ada sisa uang di rumahnya. Lalu ia berkata,
“Ini untuk melunasi hutangmu 500 dan untuk menafkahi keluargamu 500.”
(Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum ad-Din, 6/1052).
Imam Ahmad bin Hanbal suatu saat ditanya mengenai masalah wara’
(sifat kehati-hatian terhadap dosa). Beliau menjawab, “Aku
beristighfar kepada Allah. Tidak halal bagiku untuk berbicara masalah wara’,
sedangkan aku makan dari Pasar Baghdad. Bisyr bin al-Harits layak untuk
memberikan jawaban kepadamu mengenai hal itu, karena ia tidak makan
dari Pasar Baghdad.” (Al-Bidayah wa an-Nihayah, X/297).
Imam Hasan al-Bashri sering meng-ghibah
dirinya sendiri dengan mengatakan, “Kamu ini suka berkata-kata dengan
perkataan orang-orang shalih yang selalu taat dalam beribadah, sedangkan
engkau melakukan perbuatan orang-orang fasik, munafik dan mereka yang
suka pamer!” (Tanbih al-Mughtarrin, hlm. 9).
Muhammad bin Sa’ad adalah seorang ulama
zuhud. Suatu saat, tanpa disadari beberapa uang dinarnya—yang bernilai
jutaan rupiah jika dikurskan saat ini—jatuh dan hilang. Ia lalu berusaha
mengajak seorang pengayak tepung untuk mencari uang tersebut. Akhirnya,
beliau menemukan kembali uangnya. Namun, ia malah berkata sendiri
kepada dirinya, “Apakah di dunia ini hanya ada dinarmu saja?”
Seketika, uang itu pun ia tinggalkan. Ia lalu berkata kepada si pengayak, “Dinar itu menjadi milikmu.” (Tarikh Baghdad, 5/15).
Sultan Murad II, salah
seorang penguasa Khilafah Utsmaniyah, telah memilih guru-guru khusus
yang bertugas mendidik putranya. Salah satunya adalah Syaikh Ahmad bin
Ismail al-Kaurani. Sultan Murad II sekaligus memberi Syaikh al-Kaurani
pemukul, yang sewaktu-waktu bisa digunakan memukul Muhammad kecil jika
ia melakukan pembangkangan (Nashr al-Kabir Muhammad al-Fatih, hlm. 40-41).
Saat muda, Imam Abu Yusuf pernah
menghadiri majelis ilmu Imam Abu Hanifah. Namun, ayahnya melarang,
“Janganlah engkau pergi kepada Abu Hanifah. Ia bukan orang kaya,
sedangkan engkau membutuhkan materi (untuk bekal belajar).”
Sejak itu Abu Yusuf mulai jarang
menghadiri majelis Imam Abu Hanifah hingga beliau merasa kehilangan.
Suatu saat Imam Abu Hanifah bertanya mengenai sebab ketidakhadiran Abu
Yusuf di majelis. Abu Yusuf menjawab, “Aku sibuk bekerja dan menaati apa
yang dikatakan orangtuaku.”
Mendengar itu, Imam Abu Hanifah
memberikan sebuah kantong berisi 100 dirham (sekitar Rp 7.000.000,-),
“Gunakan ini dan tetaplah mengikuti halaqah-ku. Jika uang itu telah habis, segera kabari aku.”
Akhirnya, Imam Abu Yusuf aktif kembali dalam halaqah.
Imam Abu Hanifah terus secara rutin memberikan uang kepada Abu Yusuf
dan tidak pernah terlambat. Itu beliau lakukan selama 29 tahun sampai
Abu Yusuf memperoleh banyak ilmu dan juga materi (Al-Muwaffaq
al-Khawarizmi, Manaqib Abi Hanifah, 1/469).
Imam Abdurrahman bin Husain ad-Dimasyqi
adalah ulama besar Syam pengikut mazhab Syafii. Suatu saat, guru dari
Al-Hafidz Ibnu Asakir ini diminta oleh Sultan untuk menjadi hakim,
tetapi beliau menolak jabatan itu. Sultan terus meminta hingga beliau
menyampaikan agar diberi kesempatan untuk melaksanakan shalat istikharah
terlebih dulu.
Malam harinya beliau menghabiskan waktu di masjid untuk melakukan qiyamul layl
dan terus-menerus menangis hingga fajar datang. Saat selesai shalat
subuh dan kemudian terbit matahari, para utusan Sultan datang untuk
meminta kejelasan. Namun, Imam Abdurrahman tetap menolak untuk diangkat
menjadi hakim. Beliau bersama keluarganya memilih meninggalkan kampung
menuju kota Halab.
Mengetahui hal itu, Sultan meminta
beliau untuk kembali dan tidak mendesak beliau lagi untuk menjadi hakim.
Namun, Sultan meminta kepada Imam Abdurrahman untuk menunjuk orang lain
sebagai hakim. Imam Abdurrahman akhirnya memilih Ibnu al-Harastani (Thabaqat asy-Syafi’iyah al-Kubra, 8/178).
Imam Abu Hanifah pernah menahan diri
tidak memakan daging kambing, setelah mendengar bahwa ada seekor kambing
dicuri. Ia melakukan itu selama beberapa tahun sesuai dengan usia
kehidupan kambing pada umumnya hingga diperkirakan kambing itu telah
mati (Ar-Rawdh al-Faiq, hlm. 215).
Imam al-Hulwani, ulama pengikut mazhab
Hanafi yang menjadi imam besar di Bukhara, pernah berkata, “Sungguh, aku
memperoleh ilmu ini dengan memuliakannya. Aku tidak mengambil catatan
ilmu kecuali dalam keadaan suci.”
Murid beliau, yang juga seorang ulama
besar, yakni Imam Syamsuddin as-Sirakhsi, suatu saat mengulang wudhu
pada malam hari hingga 17 kali karena sakit perut. Hal itu beliau
lakukan agar bisa menelaah ilmu dalam keadaan suci. (Mukhatsar al-Fawaid al-Makkiyah, hlm. 30).
*****
Beberapa fragmen di atas hanyalah secuil
gambaran tentang bagaimana generasi Muslim terdahulu dalam
mempraktikkan adab atau akhlak mulia. Kebesaran dan keagungan mereka
bukan semata-mata karena keluasan ilmu mereka, tetapi juga karena
ketinggian adab dan akhlak mereka. Wajar saja, karena mereka memandang
adab atau akhlak mulia sebagai perkara amat penting; bahkan lebih
penting daripada ilmu. Diriwayatkan, Imam Malik bin Anas menghabiskan
waktu selama 16 tahun untuk mempelajari adab (akhlak) dan 4 tahun untuk
mencari ilmu.
Tentang pentingnya adab atau akhlak mulia, Imam Syafii pernah ditanya oleh seseorang, “Bagaimana Anda mempelajari adab?”
Imam Syafi’i menjawab, “Aku mempelajari adab seperti usaha seorang ibu yang mencari-cari anaknya yang hilang.” (Hasyim Asy’ari, Adab al-‘Alim wa al-Muta’allim, hlm. 10-11).
Imam Ibnu Qasim, salah satu murid senior
Imam Malik menyatakan, “Aku telah mengabdi sekaligus belajar kepada
Imam Malik bin Anas selama 20 tahun. Selama itu, 18 tahun aku
mempelajari adab (akhlak), sisanya 2 tahun untuk mempelajari ilmu.” (Tanbih al-Mughtarrin, hlm. 12).
Lalu bagaimana dengan adab dan akhlak
kita? Sudahkah kezuhudan, kewaraan, kemurahan dan kerendahan hati serta
sifat-sifat mulia menghiasi ucapan dan tindakan keseharian kita?
Wa ma tawfiqi illa bilLah. [Arief B. Iskandar]
Posting Komentar untuk "Akhlak Mulia"