Pemilu dalam Negara Khilafah
Negara Khilafah adalah Khalifah itu sendiri. Karena itu, kekuasaan di
dalam Negara Khilafah berbeda dengan kekuasaan dalam negara-negara
lain. Maka, negara Khilafah tidak mengenal pembagian kekuasaan (sparating of power),
sebagaimana yang diperkenalkan oleh Montesque dalam sistem negara
Demokrasi. Meski demikian, kekuasaan dalam sistem pemerintahan Islam
tetap di tangan rakyat. Khalifah yang berkuasa dalam Negara Khilafah
juga tidak akan bisa berkuasa, jika tidak mendapatkan mandat dari
rakyat.
Hanya saja, meski Khalifah memerintah karena mandat dari rakyat, yang diperoleh melalui bai’at in’iqad
yang diberikan kepadanya, namun rakyat bukan majikan Khalifah.
Sebaliknya, Khalifah juga buruh rakyat. Sebab, akad antara rakyat dengan
Khalifah bukanlah akad ijarah, melainkan akad untuk memerintah
rakyat dengan hukum Allah. Karena itu, selama Khalifah tidak melakukan
penyimpangan terhadap hukum syara’, maka dia tidak boleh diberhentikan.
Bahkan, kalaupun melakukan penyimpangan, dan harus diberhentikan, maka
yang berhak memberhentikan bukanlah rakyat, tetapi Mahkamah Mazalim.
Karena itu, sekalipun rakyat juga mempunyai representasi, baik dalam
Majelis Wilayah maupun Majelis Umat, tetapi mereka tetap tidak mempunyai
hak untuk memberhentikan Khalifah. Selain itu, representasi rakyat ini
juga tidak mempunyai hak legislasi, seperti dalam sistem Demokrasi,
sebagaimana konsep sparating of power-nya Montesque, yang
memberikan mereka kekuasaan legislasi. Karena kekuasaan dalam Islam
sepenuhnya di tangan Khalifah, dan dialah satu-satunya yang mempunyai
hak legislasi. Dengan begitu, representasi rakyat ini hanya mempunyai
hak dalam check and balance.
Pemilu Majelis Umat
Meski posisi Majelis Umat bukan sebagai legislatif, tetapi mereka tetap merupakan wakil rakyat, dalam konteks syura (memberi masukan) bagi yang Muslim, dan syakwa
(komplain) bagi yang non-Muslim. Karena itu, anggota Majelis Umat ini
terdiri dari pria, wanita, Muslim dan non-Muslim. Sebagai wakil rakyat,
maka mereka harus dipilih oleh rakyat, bukan ditunjuk atau diangkat.
Mereka mencerminkan dua: Pertama, sebagai leader di dalam komunitasnya. Kedua, sebagai representasi.
Sebelum dilakukan Pemilu Majelis Umat, terlebih dahulu akan diadakan Pemilu Majelis Wilayah. Majelis Wilayah ini dibentuk dengan dua tujuan:
1- Memberikan informasi yang dibutuhkan wali (kepala daerah
tingkat I) tentang fakta dan berbagai kebutuhan wilayahnya. Semuanya ini
untuk membantu wali dalam menjalankan tugasnya sehingga bisa mewujudkan
kehidupan yang aman, makmur dan sejahtera bagi penduduk di wilayahnya.
2- Menyampaikan sikap, baik yang mencerminkan kerelaan atau komplain terhadap kekuasaan wali.
Dengan demikian, fakta Majelis Wilayah ini adalah fakta administratif untuk membantu wali, dengan memberikan guidance kepadanya
tentang fakta wilayah, kerelaan dan komplain terhadapnya. Namun,
Majelis Wilayah ini tidak mempunyai kewenangan lain, sebagaimana
kewenangan yang dimiliki oleh Majelis Umat.
Pemilihan Majelis Umat didahului dengan pemilihan Majelis Wilayah,
yang mewakili seluruh wilayah yang berada di dalam Negara Khilafah.
Mereka yang terpilih dalam Majelis Wilayah ini kemudian memilih anggota
Majelis Umat di antara mereka. Dengan demikian, pemilihan Majelis
Wilayah dilakukan oleh rakyat secara langsung, sedangkan Majelis Umat
dipilih oleh Majelis Wilayah.
Anggota Majelis Wilayah yang mendapatkan suara terbanyak akan menjadi
anggata Mejelis Umat. Jika suaranya sama, maka bisa dipilih ulang.
Demikian seterusnya, hingga terpilihlah jumlah anggota Majelis Umat yang
dibutuhkan. Masa jabatan mereka sama dengan masa jabatan Majelis
Wilayah. Karena permulaan dan akhirnya bersamaan. Khalifah bisa
menetapkan, masa jabatan mereka dalam UU Pemilu, selama 5 tahun, atau
lebih. Semuanya diserahkan kepada tabanni Khalifah.
Tiap Muslim maupun non-Muslim, baik pria maupun wanita, yang berakal
dan baligh mempunyai hal untuk dipilih dan memilih anggota Majelis Umat.
Meski antara Muslim dan non-Muslim mempunyai hak yang berbeda. Bagi
anggota Majelis Umat yang Muslim mempunyai hak syura dan masyura,
yaitu menyatakan pandangan tentang hukum syara’, strategi, konsep dan
aksi tertentu. Sementara bagi yang non-Muslim hanya mempunyai hak dalam
menyatakan pendapat tentang kesalahan pelaksanaan hukum Islam terhadap
mereka, tentang kezaliman dan komplain. Tidak lebih dari itu.
Pemilihan Khalifah
Dalam kondisi terjadinya kekosongan kekuasaan, dimana Khalifah
meninggal dunia, diberhentikan oleh Mahkamah Mazalim atau dinyatakan
batal kekuasaannya, karena murtad atau yang lain, maka nama-nama calon
Khalifah yang telah diseleksi oleh Mahkamah Mazalim, dan dinyatakan
layak, karena memenuhi syarat: Laki-laki, Muslim, baligh, berakal, adil,
merdeka dan mampu, diserahkan kepada Majelis Umat.
Majelis Umat segera menentukan dari sejumlah nama tersebut untuk
ditetapkan sebagai calon Khalifah. Bisa berjumlah enam, sebagaimana yang
ditetapkan pada zaman ‘Umar, atau dua, sebagaimana pada zaman Abu
Bakar. Keputusan Majelis Umat dalam pembatasan calon Khalifah ini
bersifat mengikat, sehingga tidak boleh lagi ada penambahan calon lain,
selain calon yang ditetapkan oleh Majelis Umat ini.
Baik Mahkamah Mazalim maupun Majelis Umat, dalam hal ini akan bekerja
siang dan malam dalam rentang waktu 2 hari 3 malam. Mahkamah Mazalim
dalam hal ini bertugas melakukan verifikasi calon-calon Khalifah,
tentang kelayakan mereka; apakah mereka memenuhi syarat in’iqad
di atas atau tidak. Setelah diverifikasi, maka mereka yang dinyatakan
lolos oleh MahkamahMazalim diserahkan kepada Majelis Umat.
Selanjutnya, Majelis Umat akan melakukan musyawarah untuk menapis mereka yang memenuhi kualifikasi. Pertama, hasil keputusan Majelis Umat akan menetapkan 6 nama calon. Kedua,
dari keenam calon itu kemudian digodok lagi hingga tinggal 2 nama saja.
Ini seperti yang dilakukan oleh ‘Umar dengan menetapkan 6 orang ahli
syura, kemudian setelah itu mengerucut pada dua orang, yaitu ‘Ali dan
‘Utsman.
Perlu dicatat, pengangkatan Khalifah ini hukumnya fardhu kifayah,
sehingga tidak mesti dipilih langsung oleh rakyat. Jika kemudian
ditetapkan, bahwa Majelis Umat yang akan memilih dan mengangkatnya, maka
kifayah ini pun terpenuhi. Jika kifayah ini dianggap terpenuhi, maka Khalifah bisa dibai’at dengan bai’at in’iqad. Setelah itu, baru seluruh rakyat wajib memba’atnya dengan bai’at tha’ah.
Gambaran dan mekanisme di atas berlaku jika Khilafah sudah ada, dan
Khalifah meninggal, berhenti atau dinyatakan batal. Namun, ini akan
berbeda jika Khilafah belum ada, dan kaum Muslim belum mempunyai seorang
Khalifah, dimana bai’at belum ada di atas pundak mereka.
Khatimah
Dalam kondisi sekarang, ketika Khilafah belum ada,
maka solusi untuk mengangkat seorang Khalifah tentu bukan melalui
Pemilu. Karena pemilu bukanlah metode baku dalam mendirikan Khilafah.
Juga bukan metode untuk mengangkat Khalifah. Namun, ini hanyalah uslub.
Bisa digunakan, dan bisa juga tidak, sesuai dengan situasi dan kondisi
yang ada. Islam telah menetapkan, bahwa metode baku untuk mendapatkan
kekuasaan adalah thalab an-nushrah. Sedangkan metode baku untuk mengangkat Khalifah adalah bai’at. Meski dalam praktiknya, bisa saja dengan menggunakan uslub pemilu.
Karena itu, mengerahkan seluruh potensi untuk melakukan uslub yang mubah, namun meninggalkan metode baku yang wajib, yaitu thalab an-nushrah dan bai’at, jelas tidak tepat. Meski harus dicatat, bahwa thalab an-nushrah tidak
akan didapatkan begitu saja, tanpa proses dakwah dan adanya jamaah
(partai politik Islam idelogis) yang mengembannya. Untuk lebih jauh,
baca tulisan penulis, Tidak Ada Metode Baku dalam Meraih Kekuasaan dalam Islam? [Hafidz Abdurrahman]
Posting Komentar untuk "Pemilu dalam Negara Khilafah"