Bagaimana Khilafah Memperlakukan Alquran

K.H. Hafidz Abdurrahman (Ketua Lajnah Tsaqafiyah DPP HTI)
Sikap penguasa bayaran yang menuduh Alquran sebagai inspirasi terorisme, dan menjadikan kitab suci Alquran sebagai barang bukti aksi terorisme adalah bentuk penghinaan terhadap Alquran. Boleh jadi, karena membebek kepada kaum kafir yang mengordernya, atau karena kebodohannya terhadap Alquran.

Ini wajar saja, karena para penguasa itu tidak pernah mengenal Alquran dengan baik, meski di antaranya adalah Muslim. Sampai ada seorang pejabat yang berkomentar, ketika mendengar penjelasan bahwa ada seorang bocah yang hafal Alquran 30 juz, dengan lugunya pejabat itu bertanya, “Luar biasa, masih berapa juz lagi yang berlum dihafal?” Jumlah juz Alquran saja tidak tahu, lalu bagaimana pejabat seperti ini bisa memuliakan Alquran?

Alquran Kitab Suci

Alquran adalah kalam Allah, mukjizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW  melalui Malaikat Jibril as yang dinukil secara mutawatir di antara dua ujung mushaf (al-Fatihah hingga an-Nas). Alquran adalah wahyu Allah, yang makna dan redaksinya berasal dari Allah SWT. Karena itu, hukum membacanya bernilai ibadah. Begitulah Alquran didefinisikan oleh para ulama.

Maka, Alquran dimuliakan, karena kalam Allah yang diturunkan kepada manusia. Generasi salaf di kalangan sahabat Nabi, bahkan melihat Alquran ini sebagai surat cinta dari Sang Kekasih, Allah SWT yang diterima, dibaca, disimak dan dilaksanakan dengan penuh cinta dan kerinduan. Sayyidina al-Hasan bin ‘Ali ra. berkata, “Sesungguhnya generasi sebelum kalian memandang Alquran sebagai surat dari Tuhan mereka. Mereka menelaahnya di malam hari, dan menyimpannya di siang hari.” (an-Nawawi, at-Tibyan fi Adab Hamalati Alquran, hal 28).

Sampai para Malaikat pun iri dan ingin mendengar bacaan yang dibaca oleh manusia, karena kemuliaan ini tidak diberikan kepada mereka. Ibn Shalah menyatakan, “Membaca Alquran merupakan kemuliaan yang diberikan oleh Allah kepada manusia. Telah diriwayatkan, bahwa malaikat tidak mendapatkannya, sehingga mereka berkeinginan kuat untuk mendengarkannya dari manusia.” (as-Suyuthi, al-Itqan, Juz I/291)

Karena ini merupakan kitab suci, kalam Allah dan membacanya bernilai ibadah, maka orang yang membacanya juga diwajibkan dalam keadaan suci. Sebagaimana firman Allah, “Tidaklah ia disentuh, kecuali oleh orang-orang yang suci.” (TQS al-Waqi’ah [56]: 79). Karena itu, tidak boleh menghina Alquran dan melecehkannya, baik langsung maupun tidak. Al-Imam al-Hafidh Qadhi Iyadh menyatakan, “Ketahuilah, siapa saja yang merendahkan Alquran, mushaf, atau sesuatu dari Alquran, mencacinya, menolaknya, mendustakan hukum dan berita yang dinyatakannya, menetapkan apa yang dinafikannya, menafikan apa yang ditetapkannya, padahal dia mengetahuinya, atau dia meragukan bagian dari Alquran tadi, maka dia dinyatakan kafir berdasarkan Ijmak kaum Muslim.” (an-Nawawi, at-Tibyan fi Adab Hamalati Alquran, hal 131).

Di Baghdad, Irak, seorang ulama ahli bacaan Alquran yang bernama Ibn Syanbudz, difatwakan oleh para fuqaha di sana agar bertaubat kepada Allah, karena telah membaca Alquran, dengan bacaan syadz (yang tidak dikenal). Mereka sampai menulis sertifikat berisi pernyataan syahadat, yang dinyatakan di hadapan Wazir Abu Ali ibn Muqillah, tahun 323 H, di masa Khalifah al-Muqtadir Billah, di era Khilafah Abbasiyyah. Bahkan, Muhammad bin Abu Bakar mengeluarkan fatwa untuk orang yang melaknat (mencela) mushaf dengan hukuman mati. (an-Nawawi, at-Tibyan fi Adab Hamalati Alquran, hal 132).

Alquran Sumber Hukum

Alquran diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad bukan hanya menjadi bacaan, tetapi untuk diamalkan, baik dalam konteks pribadi, masyarakat maupun negara. Karena Alquran tidak hanya berisi ayat-ayat yang ditujukan kepada individu, tetapi juga diperuntukkan bagi masyarakat dan negara. Tujuannya, agar kehidupan mereka diatur dengan hukum-hukum Alquran. Dengan menerapkan hukum-hukum Allah yang bersumber dari Alquran ini, kehidupan mereka akan dijamin penuh berkah, baik dari langit maupun bumi (QS al-Anfal: 96).

Sebaliknya, jika hukum-hukum Alquran ini tidak diterapkan, maka Allah pun mengancam mereka dengan ancaman fitnah di dunia, atau adzab yang pedih di akhirat (QS al-Furqan: 63). Terjadinya kerusakan di daratan dan lautan juga karena manusia tidak menerapkan hukum-hukum Alquran ini, di mana kerusakan itu sengaja ditunjukkan oleh Allah kepada mereka, agar mereka bisa merasakan akibat dari perbuatannya. Tujuannya, agar mereka sadar, dan kembali ke jalan yang benar (Islam) (QS ar-Rum []: 41).

Begitulah Alquran diposisikan dalam kehidupan kaum Muslim. Alquran bukan hanya bacaan, tetapi kitab suci yang diturunkan untuk dijadikan sebagai sumber hukum dan perundang-undangan. Dengannya, manusia mendapatkan jaminan hidup yang aman, damai dan sejahtera di dunia dan akhirat. Itulah fakta yang ditunjukkan oleh Nabi dan para sahabat, ketika mereka memerintah dunia dengan Alquran.

Fakta yang sama ditunjukkan oleh Khilafah setelah mereka, baik Khilafah Umayyah, Abbasiyyah hingga Utsmaniyyah. Namun, ketika Alquran mulai ditinggalkan, dan tidak lagi dijadikan sebagai sumber hukum dan perundang-undangan, maka kehinaan demi kehinaan terus mendera kehidupan umat Islam. Mereka tidak hanya dihinakan di dunia, tetapi juga di akhirat.

Ketika Alquran diemban oleh para sahabat, tabiin, atba’ tabiin di tangan kanan mereka, dan bahasa Arab di tangan kiri mereka, maka dalam waktu yang singkat, bangsa-bangsa non-Arab itu berhasil mereka lebur dalam satu ikatan akidah, dan menjadi satu umat, umat Islam. Lihatlah, bangsa Spanyol yang berhasa Spanyol itu bisa melahirkan ulama-ulama mujtahid sekaliber al-Qurthubi, al-Hafidh as-Syathibi, al-Hafidh Ibn Abd al-Barr, al-Hafidh Ibn Hazm, dan lain-lain. Bangsa Asia Tengah melahirkan ulama sekaliber al-Bukhari, az-Zamakhsyari, dan lain-lain.

Mereka bukan orang Arab, tetapi telah menjelma menjadi ulama-ulama hebat, karena Khilafah telah mengejawentahkan Alquran dan bahasa Arab dalam kehidupan mereka. Hasilnya, dalam waktu yang singkat, mereka menjadi generasi emas yang luar biasa.

Begitulah Khilafah telah memperlakukan Alquran. Maka, hanya Negara Khilafah yang bisa mengembalikan kemuliaan Alquran, mengembalikan kedudukannya bukan hanya sebagai kitab suci, tetapi juga sumber hukum dan perundangan-undangan. Tidak hanya itu, Khilafah juga akan melindungi dari penghinaan atau penistaan yang dilakukan terhadap Alquran, meski hanya terhadap satu huruf Alquran, apalagi jika ada yang menghina Alquran sebagai kitab teroris, atau barang bukti praktik terorisme. [Hafidz Abdurrahman (Ketua Lajnah Tsaqafiyah DPP HTI)]
Print Friendly

Posting Komentar untuk "Bagaimana Khilafah Memperlakukan Alquran"