DARURAT (Dharûrah)
Makna Bahasa
Menurut Al-Jurjani dalam At-Ta‘rifât halaman 138, dharûrah berasal
dari kata dharar. Kata dharar sendiri mempunyai tiga makna pokok, yaitu
lawan dari manfaat (dhid al-naf‘i), kesulitan/kesempitan (syiddah wa
dhayq), dan buruknya keadaan (su’ul hâl). (Al-Munawwir, 1984: 876). Kata
dharûrah, dalam kamus Al-Mu‘jam al-Wasîth halaman 538 mempunyai arti
kebutuhan (hâjah), sesuatu yang tidak dapat dihindari (lâ madfa‘a lahâ),
dan kesulitan (masyaqqah).
Makna Istilah
Dalam makna istilahnya, dharûrah (darurat) mempunyai banyak
definisi yang hampir sama pengertiannya. Berikut berbagai definisi
darurat menurut ulama mazhab empat dan ulama kontemporer, yang terhimpun
dalam kitab Al-Dharûrah wa al-Hâjah wa Atsaruhumâ fî at-Tasyrî‘’
al-Islâmî, karya Abdul Wahhab Ibrahim Abu Sulaiman (1994), dan kitab
Nazhariyyah ad-Dharûrah asy-Syar‘iyyah, karya Wahbah az-Zuhaili (1997).
1. Menurut Mazhab Hanafi.
Al-Jashshash dalam Ahkâm al-Qur’ân (I/150) ketika membahas
makhmashah (kelaparan parah) mengatakan, darurat adalah rasa takut akan
ditimpa kerusakan atau kehancuran terhadap jiwa atau sebagian anggota
tubuh jika tidak makan. Al-Bazdawi dalam Kasyf al-Asrâr (IV/1518)
menyebutkan definisi serupa, yaitu darurat, dalam hubungannya dengan
kelaparan parah (makhmashah), ialah jika seseorang tidak mau makan,
dikhawatirkan ia akan kehilangan jiwa atau anggota badannya. Sedangkan
dalam kitab Durar al-Ahkâm Syarah Majallah al-Ahkâm (I/34), Ali Haidar
mengatakan, darurat adalah keadaan yang memaksa [seseorang] untuk
mengerjakan sesuatu yang dilarang oleh syariat (al-hâlah al-mulji’ah li
tanawul al-mamnû‘ syar‘an).
2. Menurut Mazhab Maliki.
Ibn Jizzi al-Gharnati dalam al-Qawânîn al-Fiqhiyyah (hlm. 194) dan
Ad-Dardir dalam Asy-Syarh al-Kabîr (II/115) mengatakan, darurat ialah
kekhawatiran akan mengalami kematian (khawf al-mawt)…tidak disyaratkan
seseorang harus menunggu sampai [benar-benar] datangnya kematian, tetapi
cukuplah dengan adanya kekhawatiran akan mati, sekalipun dalam tingkat
dugaan (zhann).
3. Menurut Mazhab Syafi‘i.
Imam asy-Suyuthi, dalam Al-Asybâh wa an-Nazhâ’ir (hlm. 61),
mengatakan bahwa darurat adalah sampainya seseorang pada batas ketika ia
tidak memakan yang dilarang, ia akan binasa (mati) atau mendekati
binasa. Muhammad al-Khathib asy-Syarbaini dalam Mughni al-Muhtâj
(IV/306) menyatakan, darurat adalah rasa khawatir akan terjadinya
kematian atau sakit yang menakutkan atau menjadi semakin parahnya
penyakit ataupun semakin lamanya sakit…, sementara ia tidak mendapatkan
yang halal untuk dimakan, yang ada hanya yang haram, maka saat itu ia
mesti makan yang haram itu.
4. Menurut Mazhab Hanbali.
Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni (VIII/595) menyatakan, darurat yang
membolehkan seseorang makan yang haram (adh-dharûrah al-mubâhah) adalah
darurat yang dikhawatirkan akan membuat seseorang binasa jika ia tidak
memakan yang haram.
5. Menurut Ulama Kontemporer.
Muhamad Abu Zahrah, dalam Ushûl al-Fiqh (hlm. 43), mendefinisikan
darurat sebagai kekhawatiran akan terancamnya kehidupan jika tidak
memakan yang diharamkan, atau khawatir akan musnahnya seluruh harta
miliknya. Mustafa az-Zarqa’, dalam Al-Madkhal al-Fiqhi al-‘Am (I/991),
menyatakan bahwa darurat adalah sesuatu yang jika diabaikan akan
berakibat bahaya, sebagaimana halnya al-ikrâh al-mulji’ [paksaan yang
mengancam jiwa] dan khawatir akan binasa (mati) karena kelaparan. Wahbah
Az-Zuhaili, dalam Nazhariyyah adh-Dharûrah (hlm. 65), mendefinisikan
darurat sebagai datangnya bahaya (khathr) bagi manusia atau kesulitan
(masyaqqah) yang amat berat, yang membuat dia khawatir akan terjadinya
madarat atau sesuatu yang menyakitkan atas jiwa, anggota tubuh,
kehormatan, akal, harta, dan yang bertalian dengannya.
Definisi yang Râjih
Berbagai definisi ulama mazhab empat mempunyai pengertian yang
hampir sama, yaitu kondisi terpaksa yang dikhawatirkan dapat menimbulkan
kematian, atau mendekati kematian. Dengan kata lain, semuanya mengarah
pada tujuan pemeliharaan jiwa (hifzh an-nafs). Wahbah Az-Zuhaili menilai
definisi tersebut tidaklah lengkap, sebab menurutnya, definisi darurat
haruslah mencakup semua yang berakibat dibolehkannya yang haram atau
ditinggalkannya yang wajib. Maka dari itu, Az-Zuhaili menambahkan tujuan
selain memelihara jiwa, seperti tujuan memelihara akal, kehormatan, dan
harta. Abu Zahrah juga menambahkan tujuan pemeliharaan harta, sama
dengan Az-Zuhaili. Akan tetapi, apakah definisi yang lebih “lengkap” ini
otomatis lebih rajih (kuat)?
Sesungguhnya definisi darurat haruslah dikembalikan pada nash-nash
yang menjadi sumber pembahasan darurat. Sebab, istilah darurat memang
bersumber dari beberapa ayat al-Quran, seperti dalam QS al-Baqarah [2]:
173; QS al-Maidah [5]: 3; QS al-An‘am [6]: 119; QS al-An‘am [6]: 145;
dan QS an-Nahl [16]: 115 (Asjmuni Abdurrahman, 2003: 42-43). Ayat-ayat
ini intinya menerangkan kondisi darurat karena terancamnya jiwa jika
tidak memakan yang haram, seperti bangkai dan daging babi. Jadi, kunci
persoalannya bukanlah pada lengkap tidaknya definisi darurat, melainkan
pada makna dalil-dalil syariat yang mendasari definisi darurat itu
sendiri.
Berdasarkan ayat-ayat itulah, Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, dalam
Asy-Syakhshiyah al-Islâmiyyah (III/477) menyatakan, definisi darurat
adalah keterpaksaan yang sangat mendesak yang dikhawatirkan akan dapat
menimbulkan kebinasaan/kematian (al-idhthirâr al-mulji’ alladzi yukhsya
minhu al-halak). Inilah definisi darurat yang sahih, yaitu kondisi
terpaksa yang membolehkan yang haram, sebagaimana termaktub dalam kaidah
yang masyhur: Ad-dharûrat tubîh al-mahzhûrat (Kondisi darurat
membolehkan yang diharamkan) (Abdul Hamid Hakim, t.t.: 59). Definisi
Taqiyuddin an-Nabhani ini dekat dengan definisi Mustafa az-Zarqa‘ dan
kurang lebih sama maknanya dengan definisi ulama mazhab empat.
Implikasi Definisi
Dari definisi darurat yang râjih (kuat) tersebut, kita dapat
mengetahui cakupan darurat, yaitu kondisi terpaksa yang berkaitan dengan
pemeliharaan jiwa (hifzh an-nafs), seperti misalnya orang kelaparan
yang terancam jiwanya yang tidak mendapatkan makanan selain daging babi
atau bangkai (Muhlish Usman, 1996: 134), atau seperti orang yang diancam
akan dibunuh jika tidak mau mengucapkan kata-kata kufur, asalkan
hatinya tetap beriman (Dja’far Amir, t.t.: 37).
Adapun tujuan syariat lainnya, misalnya pemeliharaan harta (hifzh
al-mâl), sebenarnya bukanlah termasuk cakupan darurat. Jadi, tidak benar
fatwa yang membolehkan mengambil atau memanfaatkan bunga bank dari bank
konvensional, dengan alasan darurat karena belum adanya bank syariah di
suatu tempat. Tidak benar pula “fatwa” yang mewajibkan ikut Pemilu
dengan alasan darurat karena khawatir kekuasaan legislatif atau
eksekutif akan dikuasai oleh orang kafir atau sekular yang tidak memihak
kepada umat Islam.
Fatwa-fatwa yang tidak tepat itu kemungkinan karena didasarkan pada
definisi darurat yang lebih “lengkap” dari ulama kontemporer. Padahal,
definisi “lengkap” itu sebenarnya tidaklah sesuai dengan maksud yang
dikehendaki oleh dalil-dalil syariat untuk makna dharûrah. [M. Shiddiq Al-Jawi]
Daftar Pustaka
- Abdurahman, Asjmuni. 2003. Qawâ‘id Fiqhiyyah: Arti, Sejarah, dan Beberapa Qa’idah Kulliyah. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah.
- Abu Sulaiman, Abdul Wahhab Ibrahim. 1994. Pengaruh Dharurat dan Hajat Dalam Hukum Islam (Adh-Dharûrah wa al-Hâjah wa Atsaruhumâ fî at-Tasyrî‘ al-Islâmi). Terjemahan oleh Said Agil Husain Al-Munawar & Hadri Hasan. Semarang: Dina Utama Semarang.
- Al-Jurjani. t.t., At-Ta‘rifât. Jeddah: Al-Haramain.
- Amir, Dja’far. t.t., Qaidah-Qaidah Fiqih. Semarang: Ramadhani.
- An-Nabhani, Taqiyuddin. 1953. Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah. Juz III (Ushûl al-Fiqh). T.tp.: Mansyurat Hizb at-Tahrir.
- As-Suyuthi, Jalaluddin. t.t., Al-Asybâh wa an-Nazhâ’ir fî al-Furû‘. Semarang: Toha Putera.
- Az-Zuhaili, Wahbah. 1997. Konsep Darurat Dalam Hukum Islam: Studi Banding dengan Hukum Positif (Nazhariyyah adh-Dharûrah asy-Syar‘iyyah Muqaranatan ma‘â al-Qanûn al-Wadh‘i). Terjemahan oleh Said Agil Husain Al-Munawar & Hadri Hasan. Jakarta: Gaya Media Pratama.
- Hakim, Abdul Hamid. t.t., As-Sulâm. Jakarta: Sa’adiyah Putra.
- Munawwir, Ahmad Warson. 1984. Kamus al-Munawwir. Cet. Ke-1. Yogyakarta : PP. Al-Munawwir Krapyak.
- Usman, Muhlish. 1996. Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Posting Komentar untuk "DARURAT (Dharûrah)"