Syura: Demokrasi Tidak Sama Dengan Islam
Syûrâ
Musyâwarah secara bahasa
merupakan mashdar (gerund) dari syâwara yang artinya thalabu ar-ra`yi
min al-mustasyâr (meminta pendapat dari yang dimintai pendapat).
Al-Fara’ berkata: “al-masyûrah asalnya adalah masywarah kemudian diubah
menjadi masyûrah untuk meringankan pelafalan.” (Ibn Manzhur, Lisân
al-‘Arab, II/379-381) Ibn Manzhur melanjutkan, “dikatakan masyûrah
adalah asy-syûrâ dan al-masyûrah, dan begitu pula al-masywarah. Anda
katakan, “syâwartuhu fî al-amri artinya istasyartuhu –saya meminta
pendapatnya-.”
Secara istilah, menurut ar-Raghib, al-masyûrah
adalah mengekstrak kesimpulan dengan jalan mengembalikan sebagian kepada
sebagian yang lain. Dr. Mahmud al-Khalidi menyimpulkan, syura adalah
berkumpulnya orang untuk mengambil kesimpulan dengan mengungkapkan
berbagai pendapat dalam satu masalah agar memperoleh petunjuk untuk
membuat keputusan.
Menurut syara’, musyâwarah atau syûrâ adalah
pengambilan pendapat secara mutlak. Sementara masyûrah merupakan
pengambilan pendapat yang bersifat mengikat untuk dilaksanakan.
Musyawarah Dalam Demokrasi
Musyawarah dan mengambil pendapat rakyat/wakilnya dalam demokrasi
merupakan keharusan dan dijadikan tolok ukur demokratis dan tidaknya
penguasa. Demokrasi dalam sejarah munculnya merupakan antitesis dari
kepemimpinan otoriter dan tirani pada masa kerajaan Eropa dimana segala
keputusan dan hukum jadi hak raja berkolaborasi dengan para pendeta.
Maka pelibatan rakyat atau wakil rakyat dalam pembuatan UU dan kebijakan
dalam segala perkara dijadikan tolok ukur tingkat kedemokratisan
penguasa.
Dalam demokrasi, musyawarah dilakukan dalam segala hal.
Semua urusan dan perkara bisa menjadi obyek musyawarah. Pembuatan
kebijakan dan penetapan hukum juga menjadi obyek musyawarah.
Dalam musyawarah, hal terpenting adalah mekanisme pemilihan pendapat dan pengambilan keputusan. Demokrasi menetapkan, pemungutan suara atau voting sebagai mekanisme baku pengambilan keputusan. Pendapat mana yang mendapat suara terbanyak, itulah yang dijadikan keputusan. Mufakat berarti suara mayoritas mutlak.
Yang menjadi standar adalah
banyaknya suara, tanpa membedakan benar atau salah, tepat atau tidak.
Bahkan, menilai benar salah, dan tepat keliru, dalam demokrasi adalah
mustahil atau sangat sulit, sebab tidak ada rujukan tetap.
Voting
itu dibangun di atas asumsi dasar bahwa setiap orang memiliki hak suara
yang sama, dan suara setiap orang derajatnya sama, tidak ada yang lebih
tinggi atau lebih utama dari lainnya. Jadi, dalam voting itu, tingkat
pendidikan, pengetahuan, keahlian, kepakaran, kebaikan pribadi,
penguasaan masalah, dsb, tidak berpengaruh. Dalam voting -metode
pengambilan keputusan dalam musyawarah demokrasi-, suara seorang
profesor sama dengan suara lulusan SMA, suara ahli sama dengan suara
orang awam, suara orang jujur sama dengan orang yang suka bohong, suara
orang amanah sama dengan suara orang yang suka ingkar janji dan khianat.
Dalam demokrasi, musyawarah dengan metode voting itu juga digunakan
dalam pelaksanaan kedaulatan atau kekuasaan legislatif membuat hukum dan
perundang-undangan. Rancangan undang-undang (RUU) yang diajukan oleh
pihak pemerintah atau parlemen sendiri, didiskusikan, diperdebatkan dan
dimusyawarahkan di sidang parlemen. Keputusan menjadi UU diambil
berdasarkan suara terbanyak. Jika mayoritas (minimal 50% + 1) setuju
maka, rancangan itu ditetapkan menjadi UU, dan sebaliknya jika mayoritas
tidak setuju maka tidak ditetapkan menjadi UU.
Proses yang sama
juga dilakukan dalam pembahasan RAPBN dan RAPBD. Proses yang sama juga
dilakukan untuk memutuskan apakah pemerintah tetap diberi kepercayaan
atau tidak dan diberi mosi tidak percaya sehingga dibubarkan dan
selanjutnya dipilih pemerintah yang baru, seperti dalam sistem demokrasi
parlementer.
Dengan proses seperti itu, mudah dipahami jika
sebuah UU, anggaran dan bertahannya pemerintah, sejatinya merupakan
kompromi dari beragam pendapat, pengaruh dan kepentingan. Itulah syura
dalam demokrasi.
Musyawarah Dalam Islam
Dalam Islam, syura atau musyawarah jelas disyariatkan. Allah SWT berfirman:
﴿…وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ …﴾
“…dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila
kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah…” (TQS
Ali Imran [3]: 159).
Adh-Dhahak bin Muzahim berkata, “Tidaklah
Allah memerintahkan nabi-Nya bermusyawarah kecuali karena keutamaan yang
ada di dalamnya.” (Tafsîr ath-Thabarî, iv/152). Perintah kepada Nabi
saw merupakan perintah kepada kita umat beliau, terutama kepada
khalifah/imam atau kepala negara dan penguasa untuk bermusyawarah dalam
berbagai urusan umat.
Para ulama menjelaskan bahwa hukum
musyawarah adalah sunah. Di dalamnya tersimpan banyak keutamaan.
Al-Hasan berkata, “Tidaklah satu kaum bermusyawarah kecuali ditunjuki
kepada perkara mereka yang paling lurus.” (Tafsîr ath-Thabari, iv/152).
Musyarawah itu disyariatkan dalam berbagai urusan. Lafazh al-amru dalam firman Allah di atas bersifat umum mencakup berbagai perkara. Namun, keputusan dalam musyawarah itu tidak semuanya diserahkan kepada pendapat mereka yang bermusyawarah.
Hak mengambil keputusan itu diberikan
kepada orang yang memiliki wewenang dan yang meminta pendapat melalui
syura. Firman Allah, “faidza ‘azamta –maka jika kamu sudah membulatkan
tekad-“. Jadi, Rasul diperintahkan untuk bermusyawarah, dan wewenang
menentukan keputusan pendapat mana yang diambil diserahkan kepada Rasul
saw. Itu artinya, yang berwenang mengambil keputusan pendapat mana yang
diambil adalah pihak berwenang yang meminta pendapat.
Adapun terkait keputusan pendapat mana yang diambil, Islam memberikan ketentuan.
Pertama, dalam masalah hukum, keputusan semata bersandar kepada syara’.
Sebab kedaulatan adalah milik syara’. Pendapat manusia dalam masalah
ini tidak ada nilainya. Allah juga berfirman:
﴿ اتَّبِعُوا مَا أُنزِلَ إِلَيْكُم مِّن رَّبِّكُمْ ﴾
“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu …” (TQS al-A’raf [7]: 3)
“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu …” (TQS al-A’raf [7]: 3)
Allah juga memerintahkan untuk mengambil apa saja yang dibawa oleh
Rasul dan meninggalkan apa saja yang dilarang oleh Rasul saw (QS
al-Hasyr [53]: 7). Dalam hal hukum yang jelas dinyatakan nash dan yang
qath’iy, maka tidak perlu musyawarah. Jadi masalah ini tidak boleh
diserahkan kepada pendapat manusia. Bahkan menyerahkan pembuatan hukum
kepada manusia, menurut Islam adalah haram dan merupakan suatu bentuk
penyekutuan (syirik) kepada Allah (lihat QS at-Tawbah [9]: 31 dan
penjelasan Rasul tentangnya misal dalam riwayat at-Tirmidzi). Ini
sekaligus menunjukkan bahwa musyawarah itu hanya dilakukan dalam perkara
mubah.
Kedua, dalam masalah hukum syara’ yang belum dijelaskan
nash secara gamblang atau masalah zhanniyah/ikhtilafiyah, hukum masalah
baru yang muncul dan memerlukan solusi hukum dan untuk itu perlu
pembahasan dan penelaahan; juga dalam masalah definisi, masalah keilmuan
dan pemikiran yang memerlukan pengkajian dan penelaahan; dan masalah
yang termasuk dalam sabda Rasul “ar-ra’yu wa al-harbu wa al-makîdah
–pendapat, strategi dan siasat perang-“ yang memerlukan keahlian; maka
pendapat dalam masalah ini semua dirujuk kepada para mujtahid, para
ulama, intelektual dan para ahlinya. Keputusan pendapat mengikuti
pendapat yang paling kuat atau paling shawab (benar). Dalam hal ini
banyak sedikitnya suara tidak ada nilainya. Seperti sikap Rasul saw yang
mengikuti pendapat al-Hubab bin al-Mundzir dalam strategi penempatan
pasukan pada perang Badar, atau merujuk pendapat Salman al-Farisi dalam
penggalian parit pada perang Khandaq, dsb.
Ketiga, dalam masalah
yang berkaitan dengan pelaksanaan suatu aktivitas dan dalam masalah
‘amaliyah (praktis) yang tidak perlu pengkajian dan penelaahan, maka
suara mayoritas dalam masalah ini bersifat mengikat. Masalah inilah yang
disebut masyûrah. Contohnya seperti ketika Rasul saw bermusyawarah
dengan para sahabat pada perang Uhud tentang apakah berperang di dalam
kota atau di luar kota, dan lalu Rasul mengikuti pendapat mayoritas yang
menghendaki berperang di luar kota. Sementara dalam hal strategi perang
pada perang Uhud, Rasul tidak merujuk kepada pendapat mayoritas.
Syura Islam Berlawanan Dengan Demokrasi
Tampak jelas bahwa dalam demokrasi, syura menjadi keharusan dalam semua
perkara; syura dilakukan dalam penetapan hukum apapun; dan suara
mayoritas bersifat mengikat dalam segala hal.
Dalam Islam, syura hukumnya sunnah; umat Islam khususnya pemimpin dan penguasanya dianjurkan untuk memperbanyak syura. Syura tidak boleh dilakukan dalam hal hukum syara’. Suara mayoritas hanya mengikat dalam masalah pelaksanaan aktivitas dan masalah praktis yang tidak perlu pengkajian. Sementara dalam masalah hukum syara’ yang zhanniyah, dan hukum masalah baru; masalah pemikiran dan definisi; dan masalah yang berkaitan dengan keahlian dan keilmuan; maka keputusannya merujuk kepada ra’yu shawab (pendapat yang benar) berdasarkan kekuatan dalil, dan pendapat yang paling kuat.
Dengan demikian tampak jelas bahwa syura dalam
ajaran Islam sama sekali berbeda dengan syura dalam sistem demokrasi,
bahkan bertentangan satu sama lain. Karena itu, tentu saja demokrasi
tidak sejalan dengan Islam. Lantas jika demikian, apakah pantas umat
Islam lebih memilih mengambil demokrasi, dan konsekuensinya tentu saja
harus melanggar Islam, mengebiri Islam dan bahkan mengambil sebagian
hukum Islam dan meninggalkan sebagian lainnya? Tentu saja tidak. Wallâh
a’lam bi ash-shawâb. [Al-Islam edisi 699, 26 Jumadul Awal 1435 H – 28 Maret 2014 M]
Posting Komentar untuk "Syura: Demokrasi Tidak Sama Dengan Islam "