Harga Diyat Satinah
Pendahuluan
Sebelum membahas lebih jauh tentang diyat Satinah, yang dibayar oleh
pemerintahan Indonesia, karena Satinah divonis oleh Mahkamah Kerajaan
Arab Saudi membunuh majikannya, dengan nilai 22 Milyar Rupiah, maka
penting dipahami fakta diyat itu sendiri dalam fikih Islam.
Diyat, dalam Mu’jam Lughat al-Fuqaha’, artinya uang tebusan yang wajib dibayar karena menghilangkan nyawa, atau salah satu anggota badan secara utuh.[1] Sedangkan tebusan untuk sebagian anggot badan yang dihilangkan disebut Arsy.[2] Diyat ini ada dua macam, yaitu Diyat Mughalladhah (Diyat Berat), dan Diyat Mukhaffafah (Diyat Ringan).[3]
Diyat Mughalladhah, yaitu tebusan yang dibayar dengan sejumlah 100 unta, 40 dari unta tersebut bunting. Diyat ini diberlakukan untuk pembunuhan yang disengaja (qatl ‘amd). Sedangkan Diyat Mukhaffafah adalah tebusan yang dibayar lebih ringan, yaitu 100 unta. Diyat ini diberlakukan untuk kasus pembunuhan yang salah (qatl khatha’), atau yang disamakan statusnya dengan qatl khatha’.[4]
Membunuh dengan sengaja (qatl ‘amd) ini ada dua kategori: Pertama,
membunuh yang dilakukan dengan alat atau senjata yang lazim digunakan
untuk membunuh, seperti pisau, pedang, senjata api dan sebagainya. Kedua,
membunuh dengan alat yang tidak lazim digunakan untuk membunuh, tetapi
dilapisi, diisi atau disepuh dengan sesuatu yang bisa digunakan untuk
membunuh, seperti tongkat yang dilapisi, diisi atau disepuh dengan besi
yang berat, atau tongkat yang dipukulkan berulang-ulang hingga korban
meninggal dunia. Ini semua merupakan bentuk kesengajaan, sehingga
dihukumi membunuh dengan sengaja (qatl ‘amd).[5]
Sedangkan membunuh dengan tidak sengaja (qatl syibh ‘amd),
membunuh yang dilakukan dengan alat yang tidak lazim digunakan untuk
membunuh, seperti dengan tongkat, cambuk, batu kecil, dan lain-lain yang
lazimnya memang bukan untuk membunuh. Tujuannya juga untuk memberi
pelajaran, bukan untuk membantai. Tetapi, korban meninggal, karena
pukulan tersebut.[6]
Sedangkan membunuh dengan salah (qatl khatha’), bisa dipilah menjadi dua: Pertama,
pembunuhan yang terjadi bukan karena kesengajaan, seperti menembak
burung, lalu pelurunya nyasar terkena orang, lalu orang tersebut
meninggal dunia. Kedua, membunuh orang di Negeri Kafir, seperti
di Eropa atau Amerika, yang diduga kuat orang tersebut adalah Kafir
Harbi, ternyata orang tersebut sudah masuk Islam, maka pembunuhan
seperti ini dihukumi qatl khatha’.[7]
Bagaimana Hukuman Dieksekusi?
Bagi orang yang membunuh dengan sengaja (qatl ‘amd), baik kategori pertama maupun kedua, semuanya wajib dibunuh, atau disebut Qawad,
sebagai balasan atas tindak kejahatan yang telah dilakukannya. Dengan
catatan, jika wali korban pembunuhan tersebut tidak memberikan
pengampunan. Allah SWT berfirman:
وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ [البقرة: 179]
“Bagi kalian di dalam hukuman qishash itu terdapat kehidupan.” (Q.s. al-Baqarah [02]: 179)
Nabi bersabda:
من قتل متعمدا دفع إلى أولياء المقتول، فإن شاؤوا قتلوا، وإن
شاؤوا أخذوا الدية، وهي ثلاثون حقة، وثلاثون جذعة، وأربعون خلفة، وما
صولحوا عليه فهو لهم.
“Siapa saja yang membunuh dengan sengaja, maka diserahkan kepada
wali korban. Jika mereka mau, maka mereka bisa membunuhnya. Jika mereka
mau, maka mereka bisa mengambil diyat, yaitu 30 hiqqah, 30 jadza’ah, dan
40 khalifah. Apa mereka sepakati (untuk damai) maka itu merupakan hak
mereka.” (H.r. at-Tirmidzi dari ‘Amru bin Syu’aib) [8]
Namun, jika wali memberikan pengampunan, maka pembunuhnya bisa
dibebaskan. Karena itu, eksekusi hukumannya tidak boleh disegerakan,
tetapi bisa ditangguhkan, dengan harapan ada pengampunan yang diberikan
oleh wali korban.
Adapun pihak yang berhak memilih hukuman, antara membunuh, diyat
atau pengampunan, mereka adalah ahli waris korban. Orang yang berhak
atas darah korban adalah seluruh ahli warisnya, tak terkecuali pria,
wanita, baik karena nasab atau sebab. Qishash (membunuh) adalah
hak mereka semua. Karena itu, pengampunan merupakan hak ahli warisnya.
Siapapun dari salah seorang ahli warisnya yang memberikan pengampunan,
maka qishash tersebut bisa dibatalkan.[9]
Jika ahli waris memilih diyat, maka diyat itu merupakan hak mereka. Adapun diyat bagi orang yang membunuh dengan sengaja (qatl ‘amd)
adalah 100 unta, dengan 40 di antaranya bunting. Rinciannya,
sebagaimana disebutkan dalam hadits at-Tirmidzi di atas, yaitu 30 Hiqqah (umur 3 tahun), 30 Jadz’ah (4 tahun), dan 40 sisanya Khalifah (bunting).
Jika ahli waris memilih diyat, maka yang wajib membayar diyat adalah pembunuhnya. Karena kasus pembunuhan ini dilakukan dengan sengaja (qatl ‘amd). Ini berbeda dengan kasus pembunuhan yang tidak disengaja (syibh ‘amd), atau salah (qatl khatha’). Bagi orang yang tidak sengaja membunuh, atau salah, maka diyat-nya dibayar oleh ‘aqilah, yaitu saudara paman dan anak-anak paman pembunuh tersebut, termasuk cucu-cicitnya. Mereka ini dalam ilmu waris juga disebut ‘ashabah.[10]
Diyat Unta atau Emas?
Hukum asal diyat ini adalah unta. Menurut al-‘Allamah Syaikh al-Muhami ‘Abdurrahman al-Maliki, diyat
ini tidak bisa digantikan dengan yang lain. Nilainya tidak bisa
dikonversi, misalnya dibayar dengan kambing, sapi maupun yang lain. Unta
harus dibayar dengan unta, tidak boleh dikonversi dengan uang. Karena
tidak ada satu nash pun yang menyatakan kebolehan konversi tersebut.
Karena ini statusnya merupakan diyat asal, bukan kompensasi.
Namun, ada juga diyat yang dibayar dengan Dinar dan Dirham.
Untuk Dinar emas, kadarnya seberat 1000 Dinar, sedangkan untuk Dirham
perak, kadarnya seberat 12,000 Dirham. Dalilnya adalah hadits yang
diriwayatkan oleh an-Nasa’i:
وعلى أهل الذهب ألف دينار
“Bagi orang yang mempunyai emas, wajib membayar 1000 Dinar.”
Dalam riwayat lain:
أن رجلا قتل، فجعل النبي صلى الله عليه وسلم ديته اثنى عشر ألفا
“Seseorang pria telah membunuh, maka Nabi saw. menetapkan kepadanya Diyat sebesar 12,000 Dirham.”
1 Dinar secara syar’i beratnya 4,25 gram emas, sehingga 1000 Dinar
sama dengan 4,250 gram emas. Adapun 1 Dirham secara syar’i beratnya
2,975 gram perak, sehingga 12,000 Dirham sama dengan 35,700 gram perak.
Jika kita menggunakan Dinar, 1000 Dinar atau setara dengan 4,250 gram,
dengan harga 1 gram emas Rp. 480,000, maka nilai diyat yang harus dibayar adalah Rp. 2,040,000,000 (Dua milyar empat puluh juta rupiah).
Inilah diyat yang harus dibayarkan untuk orang yang sengaja membunuh (qatl ‘amd),
dan itupun tidak boleh dibayarkan oleh orang lain, baik keluarga maupun
pemerintah, kecuali harta pelakunya sendiri. Meski juga tidak ada
laranga, jika pelakunya tidak mempunyai harta, bisa diampuni, atau harta
yang dibayarkan oleh keluarga atau pemerintah, diberikan kepadanya,
baru setelah itu pelakunya membayarkan diyat tersebut sebagai hartanya.
Diyat Satinah
Mengenai diyat Satinah, ada yang menarik. Pertama, karena nilai diyat tersebut tidak wajar. Pihak keluarga ngotot, menetapkan SAR 7,5 juta, atau senilai Rp 21 milyar, sebagai syarat negosiasi diberikan dan tidaknya pengampunan. Kedua, diyat ini tidak dibayar sendiri oleh Satinah, sebagai pembunuhnya, tetapi dibayar oleh pemerintah Indonesia.
Dalam kasus pertama, yaitu kewajaran diyat, jika merujuk kepada nash-nash hadits, maupun Ijmak Sahabat, maka diyat yang paling berat, yaitu Diyat Mughalladhah sekalipun tetap atas batasnya. 100 unta, dengan rincian 30 Hiqqah, 30 Jadz’ah dan 40 Khalifah.
Itu kalau dibayar dengan unta. Jika dibayar dengan Dinar, nilainya 1000
Dinar. Kalau dikonversi dengan rupiah, nilainya setara dengan Rp.
2,040,000,000 (Dua milyar empat puluh juta rupiah). Inilah yang
seharusnya dibayar untuk membebaskan Satinah. Tidak lebih dari itu.
Karena, jumlahnya oleh nash telah ditetapkan dengan angka 100 unta, atau
1000 Dinar.
Dalam konteks ini, bisa ditarik Mafhum Mukhalafah-nya, bahwa diyat tersebut tidak boleh kurang dari angka tersebut, dan juga tidak boleh lebih. Masalahnya, pihak mujna ‘alai (korban pembunuhah) atau wali ad-dam
(keluarga korban) tidak mau memberikan pengampunan, kecuali dengan
kompensasi sebesar Rp. 21 milyar itu. Dalam kasus seperti ini,
semestinya Mahkamah Arab Saudi yang bisa menengahi, atau membuat
keputusan yang tegas, bahwa batas maksimal diyat yang
dibayarkan tidak lebih dari 1000 Dinar atau 100 unta. Keputusan ini
mengikat kedua belah pihak, sehingga tidak bisa dieksploitasi oleh
keluarga korban untuk melakukan pemerasan.
Nah, apa yang terjadi dalam kasus ini jelas pemerasan. Karena
permintaannya tidak wajar. Pemerintah Saudi sendiri tidak melakukan
tindakan apapun untuk menghentikan praktik pemerasan ini. Semestinya,
dalam kasus seperti ini, keluarga korban bisa dijerat dengan pasal
pemerasan terhadap pelaku. Karena, yang ada justru sebaliknya, keluarga
korban seharusnya bisa meringankan beban diyat, bukan malah
sebaliknya. Terlebih, beban yang dimintai jauh melampaui batas yang
ditetapkan oleh syariah. Karena itu, dalam kasus ini, baik pemerintah
Saudi maupun keluarga korban, sama-sama melakukan penyimpangan.
Adapun kasus kedua, pembayaran yang dilakukan pemerintah Indonesia,
meski hukum asalnya merupakan kewajiban pelaku, yaitu Satinah, dan tidak
boleh ditanggung oleh yang lain, namun jika keluarga Satinah bersedia
menanggungnya dengan suka rela, secara syar’i diperbolehkan. Jika
keluarga Satinah tidak berada, maka keluarga korban bisa memaafkan,
dengan tanpa kompensasi. Namun, jika tetap ngotot minta kompensasi, maka Baitul Mal
bisa membantu pembayaran kompensasi tersebut. Dalam konteks ini, apa
yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia terhadap Satinah sah. Meski,
tentu tidak sebesar yang harus dibayarkan sebagaimana klaim keluarga
korban.
Hanya saja, apa yang dilakukan pemerintah Indonesia, jika dilakukan
bukan karena pertimbangan hukum syara’, tetapi lebih karena faktor
politik, menjelang Pemilu, tentu nilainya di hadapan Allah berbeda.
Wallahu a’lam.[Hafidz Abdurrahman]
[1] Prof. Dr. Rawwas Qal’ah Jie, Mu’jam Lughat al-Fuqaha’, Dar an-Nafais, Beirut, cet. I, 1996, hal. 188.
[2] Prof. Dr. Rawwas Qal’ah Jie, Mu’jam Lughat al-Fuqaha’, Dar an-Nafais, Beirut, cet. I, 1996, hal. 189.
[3] Al-‘Allamah Syaikh al-Muhami, ‘Abdurrahman al-Maliki, Nidzam al-‘Uqubat, Dar al-Ummah, Beirut, cet. II, 1990, hal. 111.
[4] Al-‘Allamah Syaikh al-Muhami, ‘Abdurrahman al-Maliki, Nidzam al-‘Uqubat, Dar al-Ummah, Beirut, cet. II, 1990, hal. 111.
[5] Al-‘Allamah Syaikh al-Muhami, ‘Abdurrahman al-Maliki, Nidzam al-‘Uqubat, Dar al-Ummah, Beirut, cet. II, 1990, hal. 89-90.
[6] Al-‘Allamah Syaikh al-Muhami, ‘Abdurrahman al-Maliki, Nidzam al-‘Uqubat, Dar al-Ummah, Beirut, cet. II, 1990, hal. 99.
[7] Al-‘Allamah Syaikh al-Muhami, ‘Abdurrahman al-Maliki, Nidzam al-‘Uqubat, Dar al-Ummah, Beirut, cet. II, 1990, hal. 100.
[8] Unta Hiqqah adalah unta yang berusia 3 tahun, dan memasuki usia 4 tahun. Unta Jadza’ah adalah unta yang usianya telah 4 tahun sempurna, dan memasuki usia 5 tahun. Sedangkan Unta Khalifah adalah unta betina yang sedang bunting.
[9] Al-‘Allamah Syaikh al-Muhami, ‘Abdurrahman al-Maliki, Nidzam al-‘Uqubat, Dar al-Ummah, Beirut, cet. II, 1990, hal. 110.
[10] Al-‘Allamah Syaikh al-Muhami, ‘Abdurrahman al-Maliki, Nidzam al-‘Uqubat, Dar al-Ummah, Beirut, cet. II, 1990, hal. 118.
Posting Komentar untuk "Harga Diyat Satinah"