Kaidah Mengikuti Ulama Dalam Pengambilan Hukum Syariah
Akhir-akhir ini kita melihat makin hangatnya perbincangan tentang keragaman fatwa fuqaha
dalam satu persoalan, antara yang mengharamkan dan menghalalkan.
Akibatnya, khalayak mengalami kebingungan: ulama manakah yang harus
mereka ikuti pendapatnya; seperti apakah standar yang benar dalam
mengambil dan menolak suatu pendapat dari para ulama? Untuk menjawab
pertanyaan yang sangat penting ini, kita akan membahas topik ini dari
beberapa sisi.
1. Prinsip yang ditetapkan oleh syariah dalam memahami dan mengamalkan hukum.
Allah SWT telah menyeru setiap Muslim
secara langsung untuk memahami nash-nash syariah baik ayat al-Quran
ataupun teks-teks as-Sunnah serta mengamalkan tuntutan yang terkandung
dalam nash-nash tersebut (Lihat: QS al-Anfal [8]: 20 dan al-A’raf
[7]:3).
Pada prinsipnya nash-nash syariah adalah ungkapan berbahasa Arab yang memiliki dilalah
dan makna yang bisa dipahami. Seorang Muslim bisa memahami bahasa
al-Quran, yakni bahasa Arab, secara langsung. Dengan itu ia pun bisa
langsung memahami seruan Asy-Syari’ dari nash-nash tersebut dan
mengamalkan tuntutan yang ada di dalamnya. Hal seperti ini telah
dipraktikkan oleh para sahabat Rasulullah saw. Itulah prinsip dalam
persoalan ini bagi setiap Muslim.
Dr. Abdul Karim Zaidan menyatakan dalam kitabnya, Al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh:
Setiap mukallaf harus menaati Allah dan Rasul-Nya tanpa kecuali.
Kewajiban ini tentu menuntut mereka untuk mengetahui perkara yang
disyariahkan Allah SWT baik yang termaktub dalam al-Quran ataupun yang
terangkai dalam ucapan Rasulullah saw. Mengetahui perkara yang
disyariatkan Allah SWT dilakukan dengan merujuk pada nash-nash al-Quran
dan as-Sunnah, mengambil hukum dari keduanya setelah memahami nash-nash
tersebut dan mengetahui maksud yang terkandung di dalamnya. Jika seorang
mukallaf tidak menemukan hukum secara jelas dalam nash-nash tersebut,
baru dia beralih pada ijtihad sebagaimana yang diperintahkan oleh
syariah. Lalu berijtihadlah dia dalam koridor yang ditetapkan
syariah. Inilah jalan yang lurus untuk mengetahui dan mengamalkan
hukum-hukum (Al-Wajiz, hlm. 411).
Hanya saja, kebanyakan kaum Muslim
kesulitan melakukan itu. Hal ini bisa disebabkan mereka tidak mengetahui
bahasa Arab atau kurang mengetahui makna-maknanya secara mendalam,
khususnya setelah banyak kesalahan dalam tata bahasa dan khalayak sudah
tidak mengetahui lagi bahasa Arab yang baik dan benar (fushha).
Mereka yang seperti ini membutuhkan orang lain yang lebih memahami
nash-nash syariah. Hal seperti itu dibolehkan di mata syariah dengan
sejumlah patokan tentunya.
Dulu, sekelompok sahabat Rasulullah saw.
saling bertanya satu sama lain tentang beberapa persoalan tertentu yang
memang cukup sukar untuk mereka pahami. Rasulullah saw. telah
menyebutkan bertingkatnya pemahaman para sahabat terhadap nash-nash
syariah. Rasulullah saw. bersabda, “Di antara umatku, orang yang
paling sayang kepada umatku adalah Abu Bakar; orang yang paling ketat
dalam masalah yang ditetapkan Allah adalah Umar; orang yang paling
pemalu adalah Utsman; orang yang paling mahir dalam membaca Kitabullah
adalah Ubay bin Kaab; orang yang paling memahami hukum faraidh adalah
Zaid bin Tsabit; orang yang paling tahu halal-haram adalah Muadz bin
Jabal. Setiap umat memiliki orang kepercayaan dan orang kepercayaan umat ini adalah Abu Ubaidah bin al-Jarrah.” (HR at-Tirmidzi).
Abdul Karim Zaidan mengatakan:
Jika seorang mukallaf tidak mampu
mengetahui hukum-hukum melalui cara ini (yakni berijtihad sendiri), dia
harus bertindak seperti apa yang diperintahkkan Allah SWT, yakni dia
harus bertanya kepada orang yang memiliki pengetahuan tentang hukum
Allah dalam persoalan yang ingin diketahui status hukumnya itu. Allah SWT berfirman dalam QS an-Nahl ayat 43 (yang artinya): Bertanyalah kalian kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kalian tidak tahu (Al-Wajiz, hlm. 411).
2. Perbedaan pendapat dan keragaman fatwa yang dibolehkan dan yang diharamkan.
Sesungguhnya perbedaan pendapat yang
terjadi di antara para sahabat Rasulullah saw. dan diakui oleh beliau
adalah dalam persoalan yang memungkinkan adanya keragaman pemahaman
terhadap suatu makna. Rasulullah saw., misalnya, bersabda, “Janganlah seorang pun shalat Ashar kecuali di Banu Quraidhah.” (HR
al-Bukhari dari Ibnu Umar). Para sahabat Rasulullah saw. berbeda
pendapat dalam menyikapi perintah ini: sekelompok sahabat melaksanakan
shalat di perjalanan; sekelompok lainnya tidak melakukan itu karena
berketetapan hendak shalat di perkampungan Banu Quraidzah. Rasulullah
saw. mengakui dua pemahaman ini dan memujinya (Lihat: Ibnu al-Qayyim, I’lam al-Muwaqi’in, 1/203).
Jika nash syariah mengandung keragaman
pemahaman maka perbedaan pendapat dalam hal itu dibolehkan. Lain halnya
dengan perkara yang qath’i maknanya dan tidak mengandung makna
ganda. Perbedaan pendapat di dalamnya adalah diharamkan. Misalnya firman
Allah SWT (yang artinya): Dirikanlah shalat (TQS al-Baqarah [2]: 43); Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa
riba (yang belum dipungut) jika kalian orang-orang yang beriman (TQS al-Baqarah [2]: 278).
Imam al-Mazari menyatakan dalam kitabnya, Idhah al-Mahshul min Burhan al-Ushul, bahwa nash yang tidak memberikan ruang ijtihad adalah teks yang menunjukkan hukum dengan jelas (sharih), disampaikan dalam redaksi yang tidak mengandung kemungkinan lain (Al-Idhah, hlm. 305).
Al-Asnawi menyatakan dalam kitab Nihayat as-Sul, “Hukum yang memberikan ruang ijtihad adalah hukum syariah yang bersifat zann menurut syariah.
Karena itu keharaman zina dan meminum khamar serta seluruh persoalan
agama yang mutlak (dharuri) berada di luar ruang ijtihad.” (Nihayat as-Sul, 4/530).
3. Standar syariah dalam memberikan pendapat syar’i atau fatwa.
Beberapa standar syariah yang terpenting adalah:
1) Pendapat tersebut lahir dari
dan berpijak pada nash syariah berupa al-Quran dan as-Sunah yang sahih,
dan dalil yang ditunjukkan oleh keduanya yakni Ijmak Sahabat dan Qiyas. Siapa saja yang memberikan pendapat syariah maka dia harus mengetahui nash-nash syariah, Ijmak Sahabat dan Qiyas; mengetahui nash-nash yang me-nasakh dan yang di-mansukh; mengetahui tatacara pen-tarjih-an
jika ada dua nash yang jelas-jelas bertentangan, sama saja apakah dua
nash ini adalah hadis dengan hadis, atau hadis dengan al-Quran (Lihat:
Abdul Karim Zaidan, Al-Wajiz, hlm. 402-405).
2) Harus memahami fakta dengan
pemahaman yang tepat dan cermat agar bisa menurunkan nash yang cocok
pada fakta tersebut. Karena itu nash-nash yang bercerita tentang
makanan dan minuman yang sangat urgen (dharurat) tidak bisa
diturunkan pada kebutuhan-kebutuhan lain yang tidak sampai pada taraf
urgen, misalnya mengambil riba untuk membeli mobil dan menganggap itu
sebagai dharurat syar’I; hal seperti ini menyalahi metode menurunkan nash-nash terhadap faktanya.
Dalam persoalan maslahat, Allah SWT
sajalah yang menetapkan kemaslahatan para hamba, bukan akal manusia,
karena akal itu bersifat kurang dan tidak mampu untuk mengetahui segala
yang bermanfaat dan yang menimbulkan madarat (Lihat: QS al-Baqarah [2]:
216).
3) Pendapat tersebut tidak boleh menyalahi nash atau pendapat yang jelas-jelas shahih, yang berasal dari al-Quran dan as-Sunnah. Tidak ada ruang ijtihad dalam perkara yang sudah ditetapkan oleh nash yang sharih. Jika sebuah ijtihad menyalahi pendapat yang sharih maka pendapat tersebut harus dibuang jauh-jauh. Imam an-Nawawi berkata, “Seorang
mufti dan qadhi tidak perlu menghiraukan orang yang menentang dirinya
jika memang dirinya tidak menyalahi nash, Ijmak atau Qiyas Jali (Syarh Shahih Muslim, hlam. 2/24).
4. Tarjih di antara sejumlah pendapat yang berbeda-beda.
Tarjih itu jika dilakukan oleh orang yang mampu mengkomparasikan sejumlah nash, atau mengetahui ilmu pengetahuan syar’i, yang memungkinkan dia mengamalkan dalil, meninjaunya dan men-tarjih salah satu dari dua dalil, maka harus didasarkan pada qarinah tertentu. Misalnya, ketika memperhatikan dua pendapat, orang tersebut melihat salah satu pendapat berpijak pada hadis dha’if, maka dia akan meninggalkan pendapat tersebut dan men-tarjih
pendapat yang lain. Contoh lain: orang tersebut memperhatikan dua
pendapat, lalu melihat bahwa salah satu pendapat berpijak pada nash yang
sudah di-nasakh, maka dia meninggalkan pendapat tersebut dan mengikuti pendapat yang kedua. Al-Juwaini berkata, “Tarjih itu adalah memenangkan sebagian amarat atas sebagian yang lain secara dzanni. (Al-Burhan, 2:175).
Jika tarjih dilakukan oleh
orang awam, itu harus dilakukan dengan tidak menuruti hawa nafsu,
misalnya karena pendapat tersebut lebih mudah atau di dalamnya ada
maslahat. Tarjih-nya harus berpijak pada dua perkara: (1)
faktor lebih mengetahui; yakni dengan mendengar dari orang-orang bahwa
si alim fulan itu lebih mengetahui dari yang lain; (2) faktor ketakwaan;
ini juga dengan cara mendengar dan menelusuri hal-ihwal ketakwaan dan
kewaraan si alim ini. Sirajudin al-Armawi menyatakan dalam kitab at-Tahshil min al-Mahshul, “Meminta fatwa tidak boleh dilakukan kecuali dari orang yang diduga kuat sebagai mujtahid dan wara.” (2/305).
Al-Khudhari berkata dalam kitab Al-Ushul, “Meminta fatwa tidak boleh dilakukan kecuali dari orang yang diketahui sebagai orang yang berilmu dan bersifat adil. Siapa saja yang diketahui tidak memiliki salah satu dari dua sifat ini, maka biasanya dia tidak boleh diikuti.” (hlm. 382).
Karena itu fatwa tidak boleh diambil
misalnya dari orang yang terkenal suka canggung terhadap para pelaku
kezaliman dan kefasikan, juga dari orang yang suka duduk-duduk dengan
mereka karena ketakwaan orang seperti itu diragukan (Lihat: QS al-An’am
[6]: 68 dan an-Nisa’ [4]: 140).
Rasulullah saw. bersabda, “Setelahku
nanti akan ada para pemimpin; siapa saja yang suka menemui mereka,
membenarkan kedustaan mereka, membantu mereka melakukan kezaliman, maka
orang itu tidak termasuk golonganku, aku bukan termasuk golongannya, dan
dia tidak akan datang kepadaku di telaga.” (HR al-Hakim).
Fatwa juga tidak boleh diambil dari
orang yang suka berubah-ubah dalam berfatwa sesuai dengan hawa nafsu dan
kepentingan (Lihat: QS Shad [38]: 26).
5. Pendapat waliyul amri dalam pen-tarjih-an.
Para khalifah radhiyalLahu anhum
telah mengadopsi satu pendapat syariah dalam sejumlah persoalan yang
diperselisihkan yang dengan itu bisa membentuk dan menjaga persatuan
kaum Muslim. Misalnya, selama masa kekhilafahannya, Abu Bakar mengikuti
pendapat jatuhnya talak tiga sekaligus; Umar mengambil pendapat yang
berbeda dengan pendapat Abu Bakar ketika dia (Umar) memegang jabatan
khilafah (tiga talak sekaligus tetap dipandang jatuh satu talak, red.). Abu Bakar juga dalam posisinya sebagai waliyul amri telah mengambil pendapat untuk membagikan fai dan ghanimah
berupa tanah untuk tentara yang ikut berperang. Sebaliknya, Umar
mengambil pendapat yang berbeda dengan bersandar pada nash syariah,
yakni firman Allah SWT dalam surat al-Hasyr: 10).
Seorang waliyul amri boleh mengikuti satu pendapat dalam pen-tarjih-an,
kemudian memberlakukan pendapat tersebut kepada seluruh kaum Muslim
untuk menyatukan pendapat mereka dengan pendapatnya ini. Syarat waliyul amri yang memiliki wewenang seperti itu adalah orang yang benar-benar mengurus urusan kaum Muslim, yakni amirul mukminin, atau khalifah kaum Muslim. Ketaatan kepada waliyul amri ini dikaitkan dengan ketaatan pada Allah dan Rasul-Nya (Lihat: QS an-Nisa’ [4]: 59). Disyaratkan pula agar terpenuhi sifat waliyul amri
dari sisi bahwa dia diserahi urusan kaum Muslim melalui metode yang sah
menurut syariah. Juga disyaratkan agar dia adalah seorang Muslim yang
telah memenuhi syarat-syarat in’iqad yang sah menurut syariah.
Imam al-Qarafi menyatakan dalam kitab Anwar al-Buruq fi Anwa’ al-Furuq, “Seorang
imam ketika memegang otoritas publik terhadap rakyatnya, diharuskan
untuk mencegah timbulnya ketidakharmonisan dan pertentangan serta
menghilangkan perbedaan di tengah-tengah umat. Inilah salah satu
kewajiban terpenting yang dia tanggung.” (2/103).
Inilah uraian singkat mengenai tatacara mengambil pendapat yang syar’i.
Seorang Muslim harus memperhatikan betul dari siapa dia mengambil
agamanya. Ingatlah, setiap orang akan berdiri di hadapan Allah SWT dan
akan ditanyai tentang segala sesuatu baik yang besar ataupun yang kecil.
Ketidaktahuannya tidak bisa dijadikan alasan karena dia telah
diwajibkan untuk bertanya kepada orang yang tahu dari kalangan orang
bertakwa dan berilmu (Lihat: QS an-Nahl [16]: 43).
Kami memohon kepada Allah SWTagar kami
termasuk orang yang mendengarkan pendapat dan kemudian mengikuti
pendapat terbaik. Akhir doa kami adalah pujian bagi Allah, Tuhan semesta
alam. [Hamad Thabib-Baitul Maqdis]; [Diterjemahkan dan disarikan oleh
Dede Koswara, Staff Pengajar Ma’had al-Abqary Serang]
Posting Komentar untuk "Kaidah Mengikuti Ulama Dalam Pengambilan Hukum Syariah"