Kemenangan Makin Terang
Pertengahan bulan Maret 2014 lalu, saya bertemu dengan Ketua Umum
Majelis Ulama Indonesia (MUI), Prof. Din Syamsuddin. Dalam kesempatan
itu, saya berkata kepada beliau, “Menarik sekali pernyataan Pak Din
terkait air dalam Musyawarah Nasional Tarjih Muhammadiyah ke-28 di
Palembang pada akhir Februari lalu.”
Beliau pun segera menjawab, “Air seharusnya dikuasai negara dan tidak
boleh diprivatisasi apalagi dikuasai oleh pihak asing. Yang tidak boleh
itu adalah mata air yang dikuasai oleh swasta apalagi asing, khususnya
perusahaan yang menjadikan masyarakat menjadi tidak lagi dapat
memanfaatkan air tersebut.”
Ketua Umum PP Muhammadiyah ini pun segera menambahkan, “Bahkan,
kehilangan air. Mereka tidak memiliki air untuk irigasi dan minum
sehari-hari.”
Beliau juga menegaskan bahwa pihaknya sedang berjuang untuk
menggugat Undang-undang (UU) Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya
Air. “Sudah beberapa kali sidang,” ungkapnya.
Saya menyampaikan kepada beliau, “Pak Din, memang saat ini
liberalisasi dan privatisasi terus berlangsung, termasuk penjualan panas
bumi Ciremai kepada perusahaan AS, Chevron. Begitu juga dengan sumber
daya air. Padahal Rasulullah saw. mengatakan dalam hadis riwayat Abu
Dawud, Ibnu Majah dan Ahmad bahwa kaum Muslim berserikat dalam tiga hal:
air, padang gembalaan, dan api. Barang-barang tersebut secara syar’i tidak boleh diserahkan kepada sekelompok orang, baik pribumi ataupun asing.” Beliau sepakat akan hal itu.
Dalam kesempatan berikutnya, saya berkesempatan menghadiri Forum
Ukhuwah Islamiyah yang merupakan forum rutin para pimpinan ormas/lembaga
Islam yang diselenggarakan MUI Pusat. Banyak persoalan yang
diperbincangkan. Di antaranya tentang gonjang-ganjing sertifikasi
halal, RUU Jaminan Produk Halal, dan permasalahan keumatan lainnya.
Berkaitan dengan sertifikasi halal, MUI di antaranya dituding Tempo
menerima kucuran dana dari perusahaan sertifikasi di Australia yang
nilainya mencapai Aus$ 78 juta atau sekitar 820 miliar. Semua tuduhan
tersebut dibantah dan diklarifikasi saat itu oleh Ketua MUI KH Amidhan.
“Ini upaya untuk mendiskreditkan ulama. Semua ini adalah fitnah,”
pungkas Pak Amidhan.
Pada forum tersebut saya menyampaikan beberapa hal. Pertama:
upaya untuk mendiskreditkan ulama bukan hal yang baru. Bahkan beberapa
tahun lalu setelah munculnya fakwa MUI tentang keharaman paham
sekularisme, pluralisme, dan liberalisme (yang kelak dikenal dengan
paham sipilis), kaum liberal menuntut pembubaran MUI. Begitu juga, saat
ini.
Kedua: persoalannya adalah tidak mungkin ada asap kalau
tidak ada api. Oleh sebab itu, para ulama, khususnya yang ada di MUI
perlu melakukan introspeksi dan tidak melakukan perbuatan yang justru
akan menjadi pembenar bagi tuduhan tersebut.
Ketiga: berkaitan dengan sertifikasi halal itu merupakan
tugas Pemerintah. Negara harus menjamin kehalalan produk yang beredar
di tengah masyarakat. Hanya saja, pihak yang paham tentang hukum halal
dan haram itu, tentu saja, para ulama. Para ulama semestinya yang
mengeluarkan sertifikasi halal-haram sebagai hukum syariah terkait
berbagai produk.
Seusai saya bicara, tidak tahu siapa yang berkomentar, dari belakang
muncul celetukan, “Kalau semua harus negara, ya harus Negara Islam.
Kita ‘kan bukan Negara Islam.”
Moderator ketika itu, KH Umar Shihab, segera mengambil-alih. Saya
hanya sempat mengatakan, “Memang negara itu wajib menerapkan syariah
Islam.”
Berbeda dengan nuansa tersebut, semangat keislaman sangat tampak pada
kalangan intelektual. Pada 15 Maret 2014, saya mendapatkan nikmat
besar dapat menghadiri acara Halqah Intelektual Muslim di Institut
Pertanian Bogor. Temanya sangat menarik, “Kerusakan Demokrasi dan
Keagungan Khilafah”. Peserta yang hadir adalah para mahasiswa
pascasarjana, doktor dan beberapa profesor. Sebagai pembicara, saya
menyampaikan betapa rusaknya demokrasi mulai dari sekularisme sebagai
akarnya, liberalisme sebagai prinsipnya, hingga kebobrokannya dalam
realitas kehidupan saat ini. Begitu juga berkaitan dengan Khilafah,
saya menegaskan tentang prinsip Khilafah, hukum menegakkan Khilafah,
hingga keagungannya dalam berbagai bidang dalam kurun waktu dua belas
abad. “Kaum intelektual harus juga menguasai ilmu keislaman, berjuang
dan mendukung penegakkan syariah dan Khilafah,” pungkas saya.
Antusias! Antusiasme tersebut tergambar dari banyaknya pertanyaan
yang disampaikan. Pertanyaan beragam. Ada pertanyaan yang mengandung
unsur keingintahuan, klarifikasi, hingga pertanyaan yang
mempertanyakan. Ada yang bertanya tentang bagaimana sikap terhadap
partai Islam tapi berkoalisi dengan partai sekuler, metode penegakan
Khilafah, peluang keberhasilan menegakkan Khilafah, mekanisme kontrol
dalam Khilafah, posisi ilmuwan dalam konteks Khilafah, mengapa Hizbut
Tahrir berjuang outside of ring, cara menyatukan umat yang saat
ini sudah terkotak-kotak dalam berbagai paham dan organisasi, dan
sebagainya. Pertanyaan-pertanyaan dan komentar yang muncul
menggambarkan betapa para intelektual yang hadir sudah pesimis dengan
demokrasi, dan menaruh harapan besar pada Khilafah untuk dapat
menerapkan keadilan dan membawa kesejahteraan bagi umat manusia.
Prof. Ari mengungkapkan komentarnya, “Syariah dan Khilafah harus
merasuki para intelektual Muslim. Acara ini lebih merupakan TOT (training of trainer) sehingga kita yang hadir harus menyampaikannya kepada yang lain.”
Kalau komentar serupa lahir dari seorang ulama barangkali merupakan
perkara biasa. Berbeda apabila komentar demikian keluar dari mulut
seorang intelektual dan guru besar, tentu merupakan hal yang luar biasa.
Hal senada diungkapkan oleh tokoh intelektual lain. “Saya sudah
berkecimpung dengan berbagai organisasi Islam. Untuk mencari
kebenaran. Namun, hasilnya mengecewakan. Tidak ada pembinaan umat yang
kontinu dan fokus pada tujuan,” ungkap Prof. Amin Arif. Beliau
menambahkan, “Hingga akhirnya, saya berkenalan dengan Hizbut Tahrir.
Saya melihat Hizbut Tahrir serius membina umat untuk menegakkan Islam
dengan syariah dan Khilafah. Saya menaruh harapan kepada Hizbut Tahrir.”
Semangat berjuang pun terlihat. “Alhamdulillah, umur saya ini sudah
hampir mencapai maghrib. Pangkat pun sudah mentok semua,” begitu ungkap
Prof. Istiqlal. Beliau melanjutkan, “Alhamdulillah, saya bertemu
dengan teman-teman yang berjuang untuk Islam. Saya akan berikan sisa
hidup ini untuk perjuangan Islam.”
Di tengah berbagai kalangan yang pesimis, ternyata harapan datangnya kemenangan semakin terang. Allâhu Akbar.[Muh. Rahmat Kurnia (DPP HTI)]
Posting Komentar untuk " Kemenangan Makin Terang"