Pemerintah Tak Berdaya Menghadapi Perusahaan Asing
Pemerintah Indonesia kembali menunjukkan ketundukannya pada
korporasi asing. Adalah PT Freeport Indonesia dan sejumlah perusahaan
asing seperti PT Newmont dan PT Vale Indonesia, enggan untuk tunduk pada
Peraturan Pemerintah (PP) nomor 22 Tahun 2010 dan PP. nomor 24 tahun
2012 yang merupakan turunan dari UU Minerba 2009. Beberapa ketentuan
dalam regulasi tersebut dianggap merugikan mereka seperti kewajiban
divestasi saham, pembatasan luas wilayah pertambangan, peningkatan
jumlah deviden dan kewajiban pengolahan dan pemurnian hasil tambang
dalam negeri. Saking lemahnya, hingga saat ini pemerintah harus
berkali-kali bernegosiasi dengan perusahaan-perusahaan tersebut bahkan
pernah dibatalkan secara sepihak oleh mereka. Padahal dalam UU Minerba
2009 tersebut tercantum bahwa penyesuaian terhadap peraturan tersebut
selambat-lambatnya satu tahun sejak UU tersebut disahkan yang berarti
pada Januari 2010.
Dalam hal kewajiban divestasi, perusahaan tambang asing diwajibkan
menjual 51% sahamnya ke pihak Indonesia dalam jangka waktu sepuluh
tahun. Penjualan saham tersebut harus dijual kepada peserta Indonesia
yaitu pemerintah pusat, provinsi, daerah kabupaten/kota, Badan Usaha
Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), atau swasta
nasional.
Meskipun demikian, PT Freeport menyatakan hanya akan mengikuti aturan
Kontrak Karya (KK) yang sudah dilakukan dua kali sejak tahun 1967.
Hingga saat ini, sebanyak 90,64% kepemilikan saham Freeport Indonesia
dikuasai perusahaan asal Amerika Serikat (AS), yaitu Freeport McMoran.
Sisanya, sebanyak 9,36% dipegang oleh pemerintah Indonesia. Memang,
dalam UU Minerba pasal 169 disebutkan bahwa UU tersebut tidak berlaku
bagi KK dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B)
sebelum peraturan tersebut ditetapkan hingga kontrak tersebut berakhir.
Alasan inilah yang dipakai Freeport untuk mengelak dari PP tersebut yang
kontraknya baru berakhir tahun 2021 dan berencana diperpanjang hingga
2041.
Selain itu, PT Freeport dan sejumlah perusahaan tambang juga enggan
tunduk pada Peraturan Pemerintah yang membatasi kepemilikan wilayah
kerja yakni maksimal 100.000 hektare untuk perusahaan mineral dan 50.000
hektare untuk perusahaan batubara. Saat ini, wilayah kerja Freeport
telah mencapai 1,8 juta hektare dana Vale tercatat sekitar 180.000
hektare (detikfinance, 18/12/2012). Jika mengacu pada peraturan
tersebut maka sebagian besar wilayah pertambangan Freeport harus
diserahkan kepada Pemerintah. Adapun dari sisi royalti, PT Freeport
selama ini juga membayar satu persen saja. Padahal dalam Peraturan
Pemerintah mengenai PNBP tahun 2003 seharusnya royalti untuk emas
mencapai 3,75%.
Secara ekonomis, cadangan PT Freport memang sangat besar. Freeport
memperkirakan cadangan bijih yang siap ditambang pada saat itu mencapai
2,6 miliar ton. Setiap satu ton bijih hasil olahan bisa menjadi 7,9 kg
tembaga dan 0,93 gram emas. Dari cadangan sebanyak 2,6 miliar ton itu
jika dihitung secara kasar, bisa menghasilkan 2.418 ton emas. Jika harga
emas dipatok sebesar Rp 550.000 per gram, maka nilai cadangannya
senilai Rp 1.329 triliun (detikfinance, 12/03/2012). Angka
tersebut belum menghitung nilai tembaganya. Jika harga tembaga dipatok
Rp. 60 ribu perkilogram, maka pendapatannya mencapai Rp 1,232 triliun.
Jika ditotal maka nilai kotor cadangan bijih perusahaan tersebut
mencapai Rp 2,561 triliun. Angka itu hampir dua kali lipat belanja APBN
tahun 2012 yang mencapai Rp 1.490 triliun. Memang tidak dapat dinafikan
bahwa perusahaan tersebut juga menyetor pajak dan deviden sebesar 21,4
triliun pada 2011. Namun demikian, angka itu tentu akan sangat kecil
jika aset perusahaan tersebut jatuh ke tangan pemerintah.
Lantas apakah ketika UU ini diterapkan secara penuh, hasil
pertambangan negara ini akan memberikan keuntungan sebesar-besarnya
bagi rakyat Indonesia. Nampaknya tidak demikian. Upaya pemerintah untuk
mengurangi kepemilikan asing pada sektor pertambangan bukan berarti
pengelolaan pertambangan tersebut akan dikembalikan kepada negara
melalui BUMN. Pada kasus divestasi saham PT Newmont misalnya, akibat
tidak memiliki cukup anggaran, Pemerintah Provinsi NTB, Kabupaten
Sumbawa dan Sumbawa Barat terpaksa bekerja sama dengan perusahaan milik
Bakrie dalam PT Multi Daerah Bersaing (MDB) untuk menguasai 24 persen
saham perusahaan tersebut. Sementara itu, Pemerintah Pusat batal
mengakuisisi tujuh persen saham perusahaan tambang tersebut lewat Pusat
Investasi Indonesia (PIP), karena MK menganggapnya inkonstitusional.
Belakangan disebut-sebut bahwa MDB berhasrat untuk mengambil jatah
Pemerintah Pusat tersebut.
Sikap pemerintah yang lemah di atas menunjukkan betapa pemerintah
takluk pada kepentingan swasta. Bahkan dalam beberapa kasus sebagaimana
yang terungkap di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, terbukti bahwa
banyak pengambil kebijakan di eksekutif dan legislatif justru bekerja
sama dengan perusahaan swasta dalam menjarah kekayaan negeri ini. Selain
itu, aturan mengenai pengelolaan SDA di negara ini, memang didesain
agar pihak swasta termasuk di dalamnya investor asing diberi kesempatan
yang sangat besar. Adapun pemerintah hanya sebagai regulator yang
mendapatkan pajak dan royalti semata.
Perubahan Sistem
Pengelolaan SDA di negara ini jelas bertentangan dengan syariah
Islam. Pasalanya di dalam Islam, tambang yang memiliki cadangan yang
melimpah seperti yang dikelola oleh Freeport, Newmont, Vale Indonesia
dan tambang migas dan mineral lainnya, merupakan barang milik umum (al-milkiyyah al-ammah). Dengan demikian pengelolaannya
harus diserahkan kepada negara. Adapun hasilnya seluruhnya digunakan
untuk kepentingan publik. Dengan demikian ia tidak boleh
diserahkan/dikuasakan kepada swasta apalagi asing. Hal ini didasarkan
pada sabda Rasulullah saw. Dari Abyadh bin Hammal: beliau menghadap
kepada Nabi saw dan memohon diberikan bagian dari tambang garam yang
menurut Ibnu Mutawakkil, berada di daerah Ma’rib lalu beliau
memberikannya. Namun tatkala orang tersebut berpaling, seseorang yang
berada di majelis beliau berkata : “Tahukah Anda bahwa yang Anda berikan
adalah [seperti] air yang mengalir? Maka beliau pun membatalkannya.”
(HR. Baihaqy & Tirmidzy). Namun demikian, aturan tersebut tentu
hanya dapat diimplementasikan secara menyeluruh oleh negara yang
menjadikan Aqidah Islam sebagai dasarnya yakni negara Khilafah
Islamiyyah. Wallahu a’lam bisshawab [Muhammad Ishak]
Posting Komentar untuk "Pemerintah Tak Berdaya Menghadapi Perusahaan Asing"