Wawasan Kebangsaan HTI
Pada awal bulan Maret lalu saya diundang oleh Wantimpres untuk sebuah diskusi terbatas tentang Peran Ormas Islam Dalam Penguatan Wawasan Kebangsaan
Diskusi diikuti oleh Kelompok Kerja Bidang Keagamaan Wantimpres di
Kantor Wantimpres Jakarta. Dalam kesempatan itu saya menyampaikan
presentasi powerpoint berjudul, “Wawasan Kebangsaan Hizbut Tahrir Indonesia”.
Saya mengawali presentasi dengan pertanyaaan “Apa Makna Wawasan
Kebangsaan?” Pertanyaan awal ini saya anggap penting karena tanggapan
terhadap sebuah istilah akan sangat bergantung pada apa pengertian dari
istilah itu. Dalam situasi seperti sekarang ini, saat sering sebuah
istilah dimaknai secara berbeda-beda, memberikan batasan pengertian dari
sebuah istilah mutlak diperlukan. Sebelum jelas apa pengertian wawasan kebangsaan
itu, kita tidak bisa mengatakan bahwa seseorang atau sebuah kelompok,
termasuk Hizbut Tahrir Indonesia itu, memiliki atau tidak memiliki
wawasan kebangsaan.
Selanjutnya saya katakan, “Bila wawasan kebangsaan diartikan sebagai
bentuk kepedulian dan pembelaan terhadap negara, maka HTI memang sedang
bekerja untuk menjaga negara ini dari segala bentuk penjajahan. Namun,
bila wawasan kebangsaan diartikan sebagai ketundukan pada sekularisme,
maka HTI dengan tegas menolak.” Pernyataan ini sekaligus untuk
menegaskan posisi (standing position) HTI di hadapan istilah wawasan kebangsaan.
Selanjutnya saya nyatakan, “HTI bekerja untuk menjaga dan membebaskan
negara ini dari segala bentuk penjajahan melalui penegakan syariah.
Karena penjajahan yang paling nyata, setelah penjajahan fisik (militer)
berakhir, adalah melalui penerapan sistem sekular, utamanya di bidang
ekonomi dengan penerapan ekonomi kapitalis, dan di bidang politik
penerapan demokrasi yang terbukti telah menimbulkan berbagai bentuk
kerusakan (fasad).”
Melalui pernyataan itu, saya ingin menegaskan tentang
kontekstualisasi perjuangan penerapan syariah, bahwa itu semua
sesungguhnya merupakan bentuk kepedulian HTI terhadap keadaan negeri ini
dan masa depannya.
Lalu saya katakan, “Dengan semangat kecintaan pada negeri ini, HTI berjuang melalui dakwah fikriyah (menebarkan pemikiran Islam dan membantah ide yang tidak Islami), dakwah siyasiyah (membentuk kesadaran dan perubahan politik) dan la ‘unfiyah (non kekerasan). Inilah juga bentuk syukur yang benar kepada Allah SWT yang telah menganugerahkan kemerdekaan.”
Penegasan dalam kalimat terakhir ini penting disampaikan karena
sangat sering kita mendengar seruan untuk bersyukur terhadap kemerdekaan
yang telah didapat, tetapi bagaimana syukur itu harus diwujudkan tidak
pernah ditegaskan dan ditunjukkan dengan jelas. Yang sering terjadi,
justru banyak kegiatan untuk merayakan dan mengisi kemerdekaan yang
bertentangan dengan ketentuan-ketentuan Allah SWT.
Selanjutnya, saya menyinggung secara tidak langsung klaim sementara
pihak yang menyatakan negara ini sudah final dengan menyatakan, “HTI
memandang Indonesia adalah negara yang sedang terus berproses,
berkembang dan berubah Ini dibuktikan dengan 4 kali amandemen UUD 45
yang berimplikasi pada banyak sekali aspek kehidupan bermasyarakat dan
bernegara.”
Logikanya, bila konstitusinya saja terus diubah, bagaimana bisa
negara ini disebut sudah final? Lebih tepat negara ini disebut sedang
terus berproses, berkembang dan berubah.
“Karena itu, HTI ingin menghela perubahan itu ke arah yang baik,
yaitu ke arah Islam; bukan ke arah sosialisme ataupun kapitalisme yang
diatasnamakan Pancasila. Hanya ke arah Islam sajalah kita bisa berharap
terciptanya baldah thayyibah wa rabbun ghafur yang rahmatan lil alamin. Di situlah relevansi nyata dari usaha penegakan syariah.”
Akhirnya, saya menutup bagian awal dari presentasi dengan pertanyaan:
Jadi mengapa harus diterapkan syariah? Syariah harus diterapkan karena
akan menjadi ‘ilaju al-musykilati al-hayati al-insani (solusi persoalan hidup manusia).
Penerapan syariah juga merupakan konsekuensi dari iman kepada Allah
SWT. Syariah pasti membawa rahmat, bagi Muslim maupun non-Muslim.”
Presentasi kemudian dilanjutkan dengan penyampaikan lebih rinci
mengapa syariah harus diterapkan berikut contoh-contoh praktis dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang memakan waktu sekitar 30
menit. Di akhir presentasi, saya mengunci dengan sebuah kesimpulan,
“Jadi, perjuangan penegakan syariah sesungguhnya adalah bentuk kecintaan
amat dalam pada negeri ini untuk membawa negeri ini kepada penghambaan
yang hakiki kepada Allah SWT Yang yang telah memberikan kemerdekaan dari
penjajahan. Indonesia adalah bagian dari bumi Allah, milik Allah, maka
mestinya ditata dengan aturan Allah (syariah) .
++++
Usai presentasi dari 4 pembicara yang diundang, yaitu Habib
Muhsin (FPI), Yazir ASP (Pusat Studi Pancasila UGM), Irfwan S. Awwas
(MMI) dan saya, dilakukan disksusi. Sesi diskusi dan tanya-jawab
berlangsung hangat. Banyak pertanyaan yang diajukan kepada saya. Ada
satu pertanyaan yang menarik dan menggelitik, “HTI mengusung ide
khilafah, apakah ustadz Ismail merasa ide itu sesuai dengan peraturan
perundangan yang ada?”
Terus terang, saya belum pernah mendapatkan pertanyaan seperti ini.
Pembaca semua tentu tahu arah pertanyaan ini kemana. Lalu saya jawab
kurang lebih begini, “Tentu saja peraturan perundangan yang ada tidak
bisa memuat ide khilafah. Namun, bukan di situ persoalannya. Sebab,
kalau begitu cara berpikir kita, kita tidak akan bisa menemukan ide-ide
baru. Dalam menanggapi sebuah ide, mestinya kita harus menilai bagaimana
ide itu, bagus atau tidak, menyelesaikan masalah atau tidak, dan
seterusnya. Contohnya, dulu pada masa Orde Baru, gagasan partai lebih
dari tiga langsung ditolak karena tidak sesuai dengan aturan yang ada
pada waktu itu. Namun, karena gagasan itu dipandang baik, maka aturan
itu kemudian diubah sehingga sekarang bisa berdiri banyak parpol. Begitu
juga dengan gagasan Uni Eropa yang dilontarkan pertama kali pada tahun
1953. Bila menggunakan ukuran peraturan perundangan dari negara-negara
di Eropa ketika itu pasti gagasan Uni Eropa tidak sesuai. Namun, karena
ide itu dipandang bagus untuk menjawab tantangan globalisasi, dan pada
gilirannya nanti akan memberikan kebaikan kepada semua negara anggota,
maka peraturan perundangan di masing-masing negara Uni Eropa, seperti
soal moneter, keimigrasian dan sebagainya, kemudian disesuaikan agar
bisa memuat gagasan yang awalnya tidak sedikit yang menentang.”
Menutup jawaban, saya lalu mengatakan, “Jadi, supaya terbebas dari
kerangkeng pemikiran yang membelenggu, yang menghambat kita dari
menemukan gagasan-gagasan baru, tampaknya tidak cukup kita mengikuti
nasihat think out of the box, kalau perlu think without box. Kita ini sudah sangat lama terperangkap dalam apa yang disebut jebakan politik dan jebakan intelektual (political and intelectual trap)
sehingga kita menjadi gamang setiap menghadapi gagasan-gagasan baru,
seperti ide khilafah. Padahal Khilafah bukanlah ide baru. Dia pernah ada
dalam sejarah sehingga mempunyai basis historis dan empiris yang nyata.
Ide ini juga mempunyai basis teologis yang kokoh karena memiliki dasar
secara normatif dalam al-Quran, as-Sunnah, Ijmak dan Qiyas.”
Di akhir acara, saya meminta kepada Wantimpres untuk menghilangkan
stigmatisasi yang selama ini terjadi, khususnya di kalangan birokrat
pemerintah dan aparat keamanan, bahwa kelompok yang berjuang untuk
tegaknya syariah sebagai tidak memiliki wawasan kebangsaan, bahkan anti
Pancasila. Semestinya tudingan itu diarahkan kepada mereka yang menolak
syariah, yang mendukung sekularisme dan menjadi komprador negara Barat,
korup serta gemar menjual aset negara kepada pihak asing, yang semua itu
jelas-jelas telah menimbulkan kerugian besar pada bangsa dan negara
ini. [M. Ismail Yusanto]
Posting Komentar untuk "Wawasan Kebangsaan HTI"