Memilih yang Terbaik diantara yang Buruk
“Memang
tidak ada yang ideal, semuanya buruk, tapi paling tidak kita memilih
presiden yang terbaik diantara yang buruk”, ujar sang pengamat politik
nasional yang sedang naik daun dalam sebuah forum diskusi. Argumentasi
seperti ini juga cukup popular dikalangan gerakan Islam. Dalam bahasa
kaedah ushul dikenal dengan ahwanusy-syarrain atau akhofudh-dhororoin : mencari syar’(keburukan) yang lebih ringan atau yang dhoror(bahaya)nya lebih ringan.
Kita
tentu setuju bahwa dalam Islam terhadap kewajiban untuk mengangkat Imam
(kepala Negara). Jangankah kepala Negara , tiga orang yang melaku
perjalanan (safar) harus ada seorang yang diangkat menjadi amir
(pemimpin), apalagi ini urusan masyarakat yang lebih banyak dan lebih
kompleks.
Namun, kewajiban mengangkat kepala Negara, bukanlah sekedar adanya pemimpin.
Tapi juga berhubungan dengan sistem apa yang akan diterakan oleh sang
kepala Negara. Imam (Kepala Negara) diangkat untuk mengurus urusan kaum
muslim baik urusan dunia maupun agama. Dan kaum muslim diurus bukan
dengan sembarang hukum, tapi wajib dengan hukum Allah SWT. Karena itu
kewajiban mengangkat pemimpin tidak bisa dipisahkan dengan sistem yang
dijalankan sang pemimpin. Umat Islam wajib memilih pemimpin tentunya
pemimpin yang akan menjalankan syariah Islam , bukan yang hukum lain.
Dalam kitab Nizhamul Hukm fi Al Islam, dijelaskan tentang tugas kepala negara (Kholifah): “Khilafah
adalah kepemimpinan umum bagi kaum muslimin seluruhnya di dunia, untuk
menegakkan hukum-hukum syariah Islam dan mengemban dakwah Islam ke
seluruh dunia.”
Hal senada disebutkan oleh Imam Al Ramli Muhammad bin Ahmad bin Hamzah “Khalifah itu adalah imam agung yang menduduki jabatan khilafah nubuwwah dalam melindungi agama serta pengaturan urusan dunia.”[, Nihayat al-Muhtaaj ila Syarh al-Minhaj fil Fiqhi ‘ala Madzhab Al Imam Al Syafi’i, Juz 7, hal 289]
Sementara saat ini, siapapun kepala negaranya dalam sistem demokrasi yang dianut sekarang oleh Indonesia, jelas bukan untuk menjalankan syariat Islam, tapi hukum (konstitusi) sekuler yang dibuat oleh manusia atas prinsip suara terbanyak di parlemen.
Dalam
kondisi sekarang yang wajib kita lakukan adalah mempersiapkan sistem
negara yang berdasarkan syariah Islam, yang dikenal dengan sistem
Khilafah. Dalam sistem Khilafah yang berlaku adalah syariah Islam. Jadi
siapapun pemimpin yang terpilih nanti wajib menjalankan syariah Islam
yang menjadi hukum resmi negara.
Rosulullah
saw sendiri mencontohkan saat fase Mekkah , ketika sistem Islam memang
belum siap karena kekuasaan dan keamanan belum sepenuhnya ditangan umat
Islam , Rosulullah saw tidak terlibat sama sekali dalam sistem hukum dan
kepemimpinan jahiliyah saat itu. Bahkan saat dibujuk dengan kekuasan
(tahta) untuk menjadi pemimpin oleh kafir Quraisy, Rosulullah saw
menolak.
Sebab
beliau tahu kekuasaan yang diberikan itu bukan untuk menjalankan sistem
Islam secara penuh, tetapi sekedar kompromi politik. Rosulullah saw
tahu persis konsekuensi menerima bujukan itu berarti mencampurkan antar hak dan batil, sesuatu yang sangat bertentangan dengan prinsip Islam.
Sikap
Rosulullah SAW sekaligus mencerminkan penolakan terhadap sikap
pragmatisme yang hanya memikirkan bagaimana kekuasaan dapat diraih.
Padahal kalau menggunakan logika pragmatisme sekarang, apa salahnya
Rosulullah mengambil kekuasaan saat itu, bukankah ada gunanya walaupun
sedikit ? Bukankah dengan kekuasan itu, kaum muslim sedikit terlepas
dari siksaan ? Bukankah dakwahnya akan lebih lapang ?
Sekali lagi Rosulullah SAW tetap berpegang pada prinsip perjuangan yang
tidak mengenal kompromi dan tidak mau terlibat dalam sistem kufur yang
ada . Meskipun Rosulullah saw dan sahabat-sahabatnya kemudian harus
menghadapi ujian yang berat, berupa hinaan, cercaan, siksaan, hingga
pembunuhan.
Penggunaan kaedah ahwanusysyarain maupun akhofudhdhororoin tidak
bisa dijadikan alasan membenarkan bergabung dengan sistem kufur. Apa
yang disebut syar atau dhoror haruslah berdasarkan syariah Islam bukan
semata-mata hawa nafsu kita. Yang disebut dhoror dalam Islam misalnya
kalau memang mengancam nyawa. Itupun kalau kondisinya harus memilih dan
tidak ada pilihan lain (deadlock).
Menurut
pengarang kitab, Nazhm al-Qawâ’id al-Fiqhiyah,di antara dalil kaidah
ini adalah QS al-Baqarah:173. Pada ayat ini disinggung dua bahaya.
Pertama: bahaya yang mengancam jiwa. Kedua: adalah bahaya memakan
bangkai. Kemudian Allah memberikan petunjuk untuk menghindari bahaya
yang lebih besar, yaitu bahaya yang mengancam jiwa dengan cara menempuh
bahaya yang lebih ringan: memakan bangkai. Itupun tentunya kalau tidak
ada pilihan lain.
Sementara
kalau sekarang kita tidak memilih apakah itu akan mengancam nyawa ?
Apakah sekarang kita sudah tidak ada pilihan lain (deadlock). Tentu saja
tidak. Kita tidak dalam kondisi terpaksa (sehingga terancam nyawa )
sehingga harus memilih para calon yang semuanya buruk(berdasarkan
syariah Islam). Ini bukan pula kondisi deadlock. Ada hal
yang sekarang bisa kita lakukan sesegera dan secepat mungkin , yakni
berjuang mewujudkan Khilafah Islam. Semakin cepat kita berjuang dan
mewujudkan , tentu saja makin baik.
Apakah
kalau kita tidak memilih berarti apatis dan tidak berarti? Tentu saja
tidak. Kalaupun kita tidak memilih, bukan berarti diam. Kita justru
terus memperjuangkan syariah Islam dengan sungguh-sungguh dan secepat
mungkin . Yang salah , kalau sudah tidak memilih kemudian kita bersikap
diam tidak melakukan apa-apa.
Pilihan
untuk tidak memilih bukan pula tidak berarti. Dihadapan Allah SWT kalau
kita tidak memilih karena menghindarkan diri dari keharaman , jelas
akan mendapat pahala yang besar. Disamping itu, tidak
memilih adalah salah satu bentuk perlawanan terhadap sistem kufur yang
ada dan upaya menghilangkan legitimasinya. Sebab kalau seluruh umat
Islam tidak memilih , karena pemimpin yang ada tidak menerapkan syariah
Islam, tentu saja demokrasi akan kehilangan legitimasinya. Hal ini
justru akan mempercepat keruntuhan sistem sekuler yang rusak.
Sebaliknya,
dengan partisipasi umat Islam dalam pemilihan ini meskipun sudah tahu
pemimpinnya tidak akan menerapkan syariah Islam, justru akan memperkokoh
dan memperpanjang umur dari sistem sekuler yang sebenarnya sudah
bangkrut.
Seharusnya kita berjuang sekuat tenaga secara maksimal. Yang terjadi sekarang, malah bersikap minimalis . Memilih untuk mendapat
sedikit keuntungan , namun sebaliknya telah mengorbankan hal yang
prinsip dalam perjuangan yakni sikap istiqomah dan berpegang teguh pada
dinul haq (Islam) . Belum lagi , bagaimana bentuk pertanggungjawaban
kita dihadapan Allah SWT kelak. Apa jawaban kita kalau Allah SWT
bertanya kepada kita nanti : kenapa anda memiliki pemimpin yang tidak menjalankan sistem Islam padahal anda bisa menolaknya ? [Farid Wadjdi]
Posting Komentar untuk "Memilih yang Terbaik diantara yang Buruk"