Muhasabah
Baginda Nabi Muhammad saw. pernah bersabda, sebagaimana dituturkan oleh Syaddad bin Aus ra., “Orang yang cerdas adalah orang yang selalu mengendalikan hawa nafsunya dan beramal untuk kehidupan setelah kematian…” (HR at-Tirmidzi; hadis hasan).
Dikatakan bahwa di antara pengertian “orang yang mengendalikan hawa nafsunya” (mân dâna nafsahû) dalam hadis di atas adalah orang yang selalu menghisab dirinya di dunia sebelum dirinya dihisab pada Hari Kiamat. Terkait dengan hadis ini, Umar bin al-Khaththab ra. pernah berkata, “Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab oleh Allah SWT kelak. Bersiaplah menghadapi Hari Perhitungan yang amat dahsyat. Sesungguhnya hisab pada Hari Kiamat akan terasa ringan bagi orang yang selalu menghisab diri ketika di dunia.” (Lihat: Al-Mubarakfuri, Tuhfah al-Ahwadzi bi Syarh Jamî’ at-Tirmidzi).
*****
Muhâsabah (menghisab diri), sebagai salah satu pesan inti dari hadis di atas, sangatlah penting dilakukan oleh setiap Muslim. Dengan sering melakukan muhâsabah, ia akan mengetahui berbagai kelemahan, kekurangan, dosa dan kesalahan yang ia lakukan. Dengan itu, ia akan terdorong untuk selalu melakukan perbaikan diri. Dengan itu pula, dari tahun ke tahun, dari bulan ke bulan, dari hari ke hari, bahkan dari waktu ke waktu ia menjadi semakin baik. Imannya makin kuat; ketakwaannya makin kokoh; shalatnya makin khusyuk; amal shalihnya makin bertambah dan dosa-dosanya makin berkurang karena semakin jarangnya ia bermaksiat; semangat dakwahnya makin bergelora; pengorbanannya makin besar; akhlaknya makin terpuji—ia makin ikhlas, makin tawaduk, makin wara’, makin menjaga setiap amanah dan makin taqarrub kepada Allah SWT.
Sayangnya, karena berbagai kesibukan, entah karena sibuk mencari nafkah, atau berdakwah, seorang Muslim sering tak sempat lagi ber-muhâsabah; waktunya habis oleh ragam aktivitas yang ia lakukan. Ada juga yang jarang ber-muhâsabah bukan karena sibuk, tetapi karena memang ia lalai.
Tentu, jarangnya seorang Muslim melakukan muhâsabah merupakan musibah. Betapa tidak. Dengan jarangnya ber-muhâsabah (menghisab diri), seorang Muslim sering merasa tidak ada yang kurang pada dirinya; ia merasa dirinya baik-baik saja. Padahal boleh jadi, imannya makin rapuh, ketakwaannya makin terkikis, shalatnya tidak lagi khusyuk, amal shalihnya sudah jauh berkurang, dosa-dosanya makin bertambah, semangat dakwah hampir-hampir padam, pengorbanannya makin menipis, akhlaknya makin jauh dari islami—mulai sering muncul ketidakikhlasan, ketidaktawadukan, ketidak-wara’-an, ketidakamanahan dan makin jauh dari Allah SWT. Namun, semua itu sering tidak ia sadari karena kepekaan spiritual memang telah hilang dari dirinya akibat jarangnya ia melakukan muhâsabah.
Akibat lebih jauh, ia sering merasa tidak berdosa atau bersalah saat shalatnya lalai dan tidak khusyuk, saat amal shalihnya semakin berkurang, saat halaqah-nya jarang-jarang, saat melalaikan banyak amanah dakwah dan saat melakukan banyak dosa; seperti sering melihat hal-hal yang haram, mendengar hal-hal yang sia-sia, melakukan hal-hal yang syubhat, dll. Ia pun tidak lagi merasa menyesal saat sering meninggalkan shalat berjamaah, saat jarang melakukan shalat malam, saat shalat subuhnya suka terlambat, saat tidak mampu lagi berpuasa sunnah, saat jarang membaca al-Quran, saat tidak lagi bisa menangis ketika berdoa, dll. Tentu, semua itu, sekali lagi karena jarangnya ia melakukan muhâsabah.
Kita tampaknya perlu merenungkan kembali keteladanan Baginda Nabi Muhammad saw. dan para Sahabat beliau yang mulia. Baginda Nabi Muhammad saw., misalnya, pernah semalaman tidak dapat tidur karena khawatir memikirkan sebutir kurma—hanya sebutir kurma—yang terlanjur beliau makan di suatu tempat. Pasalnya, belakangan beliau berpikir bahwa kurma itu mungkin bagian dari kurma sedekah yang disediakan untuk fakir-miskin. Itulah yang menjadi beban pikiran beliau semalaman.
Abu Bakar ash-Shiddiq ra. pernah memuntahkan kembali makanan, yang baru belakangan beliau ketahui, bahwa makanan itu ternyata merupakan pemberian dari tukang ramal. Saat beliau ditanya, mengapa berlaku demikian, beliau menjawab, “Andai untuk memuntahkan makanan itu saya harus menebusnya dengan nyawa saya, saya pasti akan melakukannya. Sebab, saya pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda, ’Badan yang tumbuh dengan makanan yang haram maka api neraka lebih baik baginya.’ Saya sangat khawatir dengan itu.” (Kanz al-’Umal).
Hal yang sama dilakukan oleh Umar bin al-Khaththab ra. Beliau pernah memuntahkan kembali air susu yang beliau minum, karena baru belakangan beliau tahu, bahwa ternyata air susu itu berasal dari unta sedekah. Seketika beliau memasukkan jarinya ke mulutnya dan memuntahkan kembali air susu itu (Imam Malik, Al-Muwaththa).
Diriwayatkan pula, pada zaman Khalifah Utsman bin Affan ra., seorang Anshar sedang shalat di tengah-tengah kebunnya. Lalu pandangannya tertuju pada buah-buahan ranum yang bergantungan di dahan-dahan pepohonan. Usai shalat, ia pun menyesal. Ia lalu segera mewakafkan kebunnya miliknya itu demi ’menebus’ kesalahannya (Imam Malik, Al-Muwaththa’).
Secuil kisah di atas—yang benar-benar nyata—mungkin bagi kita semacam kisah-kisah ’manusia langit’ yang sepertinya mustahil kita teladani. Asumsi semacam itu sesungguhnya hanyalah menunjukkan, bahwa kita benar-benar sudah sangat jauh dengan keteladanan Baginda Nabi saw., para Sahabat dan generasi salafush-shalih dulu. Mengapa? Karrena mungkin—salah satunya—kita jarang melakukan muhâsabah. Kalaupun kita melakukannya, mungkin itu kita lakukan setahun sekali, saat pergantian tahun atau saat ’berulang tahun’, atau mungkin saat terkena musibah. Padahal dosa dan kemaksiatan kita lakukan setiap hari, bahkan mungkin setiap waktu. Tentu, semua dosa dan kemaksiatan itu sangat mudah kita lupakan, karena muhâsabah setahun sekali tak mungkin bisa mendeteksi seluruh dosa setiap hari, apalagi setiap waktu. Dosa setiap hari atau setiap waktu hanya akan mudah dideteksi jika kita melakukan muhâsabah setiap hari atau setiap waktu. Mudah-mudahan kita semua bisa melakukannya.
Wa mâ tawfîqî illâ billâh wa ’alayhi tawakkaltu wa ilayhi unîb. []
Posting Komentar untuk "Muhasabah"