Tanggapan Atas Artikel: Khilafah Ala Minhājin Nubuwah dan Khilafah Ala Minhāji Dāisy
Situs Aljazeera pada (8/7/2014) mempublikasikan artikel berjudul “Khilafah Ala Minhājin Nubuwah dan Khilafah Ala Minhāji Dāisy”, yang ditulis oleh Syaikh Dr Ahmad Raissouni, wakil ketua Persatuan Ulama Islam Internasional (al-Ittihād al-’Ālami li ‘Ulamā’i al-Muslimīn), yang dipimpin oleh Syaikh Yusuf al-Qaradawi. Dalam artikel tersebut, Raissouni mengklaim bahwa “Syara’ tidak pernah mewajibkan kami selamanya untuk menegakkan sesuatu yang bernama Khilafah, atau Khilafah Islam. Syara’ juga tidak pernah mewajibkan kami untuk menegakkan bentuk atau model tertentu terkait Khilafah atau negara ini. Dan syara’ tidak pernah memerintah kami—meski hanya satu kalimat—dimana kami menyebut penguasanya Khalifah, dan menyebut sistem yang memerintah kami dengan Khilafah.”
Berikut ini, kami akan menjelaskan realitas Khilafah, status hukumnya menurut syariah, dan dalil-dalil yang mewajibkan untuk menegakkannya.
Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum Muslim di dunia untuk menegakkan syariah Islam, dan mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia. Khilafah hakikatnya adalah Imamah, sebab Imamah dan Khilafah maknanya adalah sama. Ada banyak hadits shahih yang menggunakan dua kata ini dengan makna yang sama, bahkan tidak ada satu nash (dalil) pun yang menggunakan salah satu kata dengan makna yang berbeda dari makna kata yang lain; tidak dalam al-Qur’an, dan tidak pula dalam as-Sunnah, karena keduanya ini saja yang merupakan nash-nash syariah.
Mengangkat Khalifah adalah wajib atas semua kaum Muslim di seluruh penjuru dunia. Mengangkat Khalifah sama seperti menjalankan kewajiban-kewajiban lainnya, yang telah diwajibkan oleh Allah SWT kepada kaum Muslim. Mengangkat Khalifah adalah keharusan, dimana dalam mewujudkannya tidak ada pilihan atau menghindar. Sehingga mengabaikannya merupakan kemaksiatan terbesar, yang pelakunya akan disiksa oleh Allah SWT dengan siksa yang amat pedih.
Sementara dalil wajibnya mengangkat Khalifah bagi seluruh kaum Muslim adalah a-Qur’an, as-Sunnah, dan Ijma’ Shahabat.
Adapun dalil al-Qur’an, Allah SWT memerintahkan kepada Rasul-Nya saw supaya memutuskan perkara di antara kaum Muslim menurut apa yang Allah turunkan. Sedang perintah Allah kepada Rasul-Nya ini secara tegas. Allah SWT berfirman dengan menyeru Rasulullah saw: “maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu.” (TQS. Al-Māidah [5] : 48).
Dan firman-Nya: “dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu.” (TQS. Al-Māidah [5] : 49).
Sementara itu, seruan pada Rasulullah saw adalah seruan terhadap umatnya juga, selama tidak ada dalil yang mengkhususkan bahwa itu hanya bagi Rasulullah saw saja. Sedang di sini, tidak ada dalil yang mengkhususkannya, sehingga itu menjadi seruan bagi kaum Muslim untuk mendirikan pemerintahan. Sementara pendirian Khilafah itu tidak ada artinya kecuali mendirikan pemerintahan dan kekuasaan.
Di samping itu, Allah SWT mewajibkan kaum Muslim agar menaati ulil amr, yakni penguasa. Sehingga ini menjadi dalil wajibnya ada ulil amr (penguasa) bagi kaum Muslim. Allah SWT berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu.”(TQS. An-Nisā’ [4] : 59).
Tentu dalam hal ini, Allah SWT tidak memerintah untuk taat pada orang yang tidak ada wujudnya. Sehingga ini menjadi dalil wajibnya membentuk ulil amr (penguasa). Perintah membentuk ulil amr (penguasa) ini status hukumnya bukan sunnah atau mubah, melainkan wajib. Sebab memutuskan perkara sesuai dengan apa yang diturunkan Allah adalah wajib. Ketika Allah SWT memerintahkan supaya menaati ulil amr (penguasa), maka itu adalah perintah untuk membentukulil amr (penguasa). Sedang adanya ulil amr (penguasa) menyebabkan diterapkannya hukum-hukum Islam. Sebaliknya, dengan tidak membentuk ulil amr (penguasa), menyebabkan disia-siakannya hukum-hukum Islam. Dengan demikian, membentuk ulil amr (penguasa) adalah wajib, karena dengan tidak membentuk ulil amr (penguasa), menyebabkan sesuatu yang haram, yaitu menyia-nyiakan hukum-hukum Islam.
Sedang as-Sunni, Imam Muslim meriwayatkan dari jalan Nafi’ yang mengatakan bahwa telah berkata kepadaku Ibnu Umar, dimana ia telah mendengar Rasulullah saw bersabda: “Siapa saja yang melepaskan tangan dari ketaatan, ia akan menjumpai Allah pada Hari Kiamat kelak tanpa memiliki hujjah, dan siapa saja yang mati, sedangkan di pundaknya tidak terdapat baiat (kepada Khalifah), maka ia mati seperti kematian Jahiliah.” Nabi saw. telah mewajibkan kepada setiap Muslim agar di pundaknya terdapat baiat. Beliau juga menyifati orang yang mati, yang di pundaknya tidak terdapat baiat, sebagai orang yang mati seperti kematian Jahiliah (dalam keadaan berdosa). Sementara baiat tidak akan terjadi—setelah Rasulullah saw—kecuali kepada Khalifah, bukan kepada yang lain. Dalam hal ini, Rasul mewajibkan setiap Muslim agar di pundaknya ada baiat kepada Khalifah, dan Rasul tidak mewajibkan setiap Muslim membaiat (secara langsung) kepada Khalifah. Jadi, yang wajib adalah adanya baiat di pundak setiap Muslim, yakni adanya Khalifah dimana dengan adanya, maka ada baiat di pundak setiap Muslim. Dengan demikian, adanya Khalifah berarti telah ada di pundak setiap Muslim baiat, sama saja ia membaiat secara langsung atau tidak. Sehingga hadits tersebut menjadi dalil wajibnya mengangkat Khalifah, bukan dalil wajibnya setiap individu rakyat membaiat kepada Khalifah, sebab yang dicela Rasulullah adalah tidak adanya baiat di pundak seorang Muslim hingga ia meninggal, bukan mencela tidak adanya baiat.
Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya Imam (Khalifah) itu laksana perisai, tempat orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya.” (HR. Muslim).
Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hazim yang mengatakan bahwa ia telah menghadiri majlis Abu Huraira selama lima tahun, sehingga ia mendengar Abu Hurairah menceritakan hadits dari Nabi saw, dimana Nabi saw bersabda: “Dulu Bani Israel diurus dan dipelihara oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi meninggal, nabi yang lain menggantikannya. Sesungguhnya tidak ada nabi sesudahku dan akan ada para Khalifah, yang berjumlah banyak.” Para Sahabat bertanya, “Lalu apa yang engkau perintahkan kepada kami?” Nabi saw. bersabda, “Penuhilah baiat yang pertama, yang pertama saja, dan berikanlah kepada mereka hak mereka. Sesungguhnya Allah akan meminta pertanggungjawaban mereka atas apa saja yang mereka urus.”
Dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah saw bersabda: “Siapa saja yang membenci sesuatu dari amirnya, maka hendaklah ia bersabar. Sebab tidak seorang pun di antara rakyat yang keluar (memberontak) dari kekuasaan meski sejengkal, lalu ia mati dalam keadaan demikian, kecuali ia mati seperti mati jahiliyah (berdosa).” (HR. Muslim).
Di dalam hadis-hadis ini terdapat ikhbār (pemberitahuan) dari Rasulullah saw bahwa akan ada banyak pemimpin bagi kaum Muslim; juga di dalamnya ada sifat bagi Khalifah sebagai junnah (perisai) atau wiqāyah (pelindung). Sifat yang diberikan oleh Rasul saw. bahwa Imam adalah perisai merupakan ikhbār (pemberitahuan) yang mengandung pujian terhadap eksistensi seorang Imam (Khalifah). Ikhbâr ini merupakan tuntutan karena ikhbār dari Allah dan Rasul saw. jika mengandung celaan, maka ia merupakan tuntutan untuk meninggalkan, yakni larangan; jika mengandung pujian, maka ia merupakan tuntutan untuk melakukan. Jika aktivitas yang dituntut itu pelaksanaannya menyebabkan tegaknya hukum-hukum Islam, atau pengabaiannya menyebabkan disia-siakannya hukum-hukum Islam, maka tuntutan itu adalah tuntutan tegas (wajib).
Juga, dalam hadits-hadits tersebut, bahwa kaum Muslim akan diurus oleh para Khalifah, artinya kaum Muslim dituntut untuk mengangkatnya; di dalam hadits-hadits tersebut haram seorang Muslim keluar (memberontak) dari kekuasaan, artinya menegakkan kekuasaan dan pemerintahan bagi seorang Muslim adalah perintah wajib. Mengingat Rasulullah saw memerintahkan supaya taat kepada Khalifah, dan diperintah memerangi siapa saja yang merebut kekuasaan darinya, ini artinya perintah untuk mengangkat Khalifah, dan menjaga kekhilafahannya dengan memerangi setiap orang yang berusaha merebutnya.
Imam Muslim meriwayatkan bahwa Nabi saw bersabda: “Siapa saja yang telah membaiat seorang Imam (Khalifah) serta telah memberikan genggaman tangannya dan buah hatinya, maka hendaklah ia menaatinya sesuai dengan kemampuannya. Lalu jika datang orang lain yang hendak merebut kekuasaannya, maka penggallah leher (bunuhlah) orang itu.” Perintah menaati Imam (Khalifah) adalah perintah untuk mengangkatnya, dan perintah untuk memerangi orang yang merebutnya adalah qarīnah (indikasi) keharusan adanya satu orang Khalifah.
Adapun Ijmak Sahabat, maka mereka radhiyallahu ‘anhum (semoga Allah meridhai mereka) telah berkonsensus (berijmak) atas wajibnya mengangkat khalifah (pengganti) Rasulullah saw setelah wafatnya. Mereka telah berijmak untuk mengangkat Khalifah Abu Bakar, lalu Umar, kemudian Utsman setelah mereka semua wafat. Sesungguhnya tampak jelas penegasan Ijmak Sahabat terhadap kewajiban pengangkatan khalifah dari sikap mereka yang menunda penguburan jenazah Rasulullah saw. saat Beliau wafat. Mereka lebih menyibukkan diri untuk mengangkat khalifah (pengganti) Beliau, padahal menguburkan jenazah setelah kematiannya adalah wajib. Sehingga haram atas orang yang berkewajiban mengubur jenazah melakukan aktivitas lain hingga jenazah benar-benar telah dikuburkan. Sementara itu, para sahabat yang berkewajiban mengurus jenazah Rasul saw. dan menguburnya, ternyata sebagian dari mereka lebih menyibukkan diri untuk mengangkat Khalifah dan menunda pemakaman jenazah Beliau sampai dua malam. Padahal mereka mampu mengingkarinya dan mampu menguburkan jenazah Rasulullah saw. Dengan demikian, realitas tersebut merupakan Ijmak Sahabat yang menunjukkan keharusan untuk lebih menyibukkan diri dalam mengangkat khalifah daripada menguburkan jenazah. Hal itu tidak akan terjadi kecuali bahwa mengangkat khalifah lebih wajib daripada memakamkan jenazah.
Para Sahabat seluruhnya juga telah berijmak sepanjang kehidupan mereka mengenai kewajiban mengangkat khalifah. Meski mereka berbeda pendapat mengenai seseorang yang dipilih sebagai khalifah, mereka tidak berbeda pendapat sama sekali atas kewajiban mengangkat khalifah, baik ketika Rasul saw. Wafat maupun saat Khulafaur Rasyidin wafat. Walhasil, Ijmak Sahabat ini merupakan dalil yang jelas dan kuat atas kewajiban mengangkat khalifah.
Kewajiban menegakkan agama dan menerapkan hukum-hukum syariah dalam semua urusan dunia dan akhirat adalah wajib atas kaum Muslim dengan dalil yang sumbernya pasti (qath’iy tsubut) dan maknanya jelas (qath’iy dilālah). Semua itu tidak mungkin terlaksana kecuali dengan seorang penguasa yang memiliki kekuasaan. Kaidah syar’iyah mengatakan:mā lā yatimmul wājibu illā bihi fahuwa wājib (sesuatu kewajiban yang tidak sempurna kecuali adanya sesuatu, maka sesuatu itu wajib pula keberadaannya). Sehingga dari sisi ini pula, maka mengangkat Khalifah hukumnya wajib.
Dalil-dalil tersebut jelas bahwa pembentukan pemerintahan dan kekuasaan bagi kaum Muslim adalah wajib; dan jelas bahwa pengangkatan Khalifah yang mengurusi pemerintahan dan kekuasaan adalah wajib atas kaum Muslim dalam rangka menerapkan hukum-hukum Islam, bukan sekedar mengurus pemerintahan dan kekuasaan. Mengingat mengangkat Khalifah untuk menerapkan hukum-hukum Islam dan mengemban dakwah Islam itu wajib atas kaum Muslim merupakan perkara yang tidak ada syubhat (keraguan) terkait kewajibannya melalui nash-nash syariah yang sahih. Meski ini adalah kewajiban yang diwajibkan oleh Allah SWT terhadap kaum Muslim, yaitu menerapkan hukum Islam dan menjaga tanah air kaum Muslim, namun kewajiban ini adalah fardhu kifayah, yakni apabila sebagian telah menegakkannya, maka kewajiban itu telah terwujudkan, sehingga yang lain gugur dari kewajiban tersebut. Dan apabila sebagian tidak mampu menegakkannya, meski sebagian telah berusaha menegakkannya, maka kewajiban ini tetap fardhu (wajib) atas seluruh kaum Muslim. Dan kewajiban itu tidak akan gugur dari setiap Muslim selama kaum Muslim masih hidup tanpa Khalifah.
Sehingga berdiam diri dari kewajiban mengangkat Khalifah adalah kemaksiatan terbesar, sebab ia berdiam diri dari melaksanakan kewajiban di antara kewajiban Islam terpenting, bahkan pelaksanaan hukum-hukum Islam bergantung padanya, dan terwujudnya Islam dalam kehidupan juga bergantung padanya. Dengan demikian, kaum Muslim telah berdosa besar karena berdiam dirinya mereka dari kewajiban mengangkat Khalifah bagi kaum Muslim.
Sebenarnya pernyataan Raissouni ini meniru pernyataan lama yang dikemukakan oleh Ali Abdul Razak dalam bukunya yang terkenal “al-Islām wa Ushūlul Hukmi, Islam dan dasar-dasar pemerintahan” (1925), dimana ia mengklaim bahwa “Yang benar adalah, bahwa agama Islam berlepas diri dari Khilafah yang dikenal oleh kaum Muslim; juga berlepas diri dari keinginan dan kekaguman, serta dari kebanggaan dan kekuatan yang mengitarinya. Khilafah bukan sesuatu dari rencana agama, bukan, serta bukan peradilan dan yang lainnya, seperti tugas-tugas pemerintahan, dan pusat-pusat negara. Namun semua itu hanyalah rencana politik murni, tidak ada kaitannya dengan agama. Islam tidak mengakuinya dan tidak mengingkarinya, tidak memerintahnya dan tidak melarangnya, namun Islam membiarkan kami agar dalam hal ini kami merujuk pada hukum akal, pengalaman umat dan kaidah-kaidah politik”.
Dulu ulama senior al-Azhar telah mengatasi fitnah Ali Abdul Razak, dengan mengadilinya dan memutuskan untuk mengeluarkannya dari kelompok ulama; juga dewan etik peradilan syariah di Kementerian Hukum memutuskan untuk memecatnya dari peradilan syariah. Dengan demikian, Persatuan Ulama Islam Internasional (al-Ittihād al-’Ālami li ‘Ulamā’i al-Muslimīn) harus meminta pertanggungjawaban Raissouni atas pernyataannya tersebut! [Ustman Bakhash (Direktur Kantor Media Pusat Hizbut Tahrir)]
Sumber: hizb-ut-tahrir.info, 14/7/2014
Posting Komentar untuk "Tanggapan Atas Artikel: Khilafah Ala Minhājin Nubuwah dan Khilafah Ala Minhāji Dāisy"