[Wawancara] Muhammad Ismail Yusanto, Jubir HTI: Walisongo itu Utusan Khilafah
Hizbut Tahrir yang secara konsisten menyeru dan membina
masyarakat agar turut memperjuangkan khilafah, dengan tegas malah
menolak pendeklarasian khilafah oleh ISIS. Mengapa? Temukan jawabannya
dalam wawancara wartawan Media Umat Joko Prasetyo dengan Juru Bicara
Hizbut Tahrir Indonesia Muhammad Ismail Yusanto. Berikut petikannya.
Bagaimana Hizbut Tahrir melihat pendeklarasian khilafah oleh ISIS?
Sikap Hizbut Tahrir sangatlah jelas. Intinya, HT menolak keabsahan
kekhalifahan yang dideklarasikan oleh ISIS dengan khalifahnya bernama
Abu Bakar Al Baghdadi, karena tidak memenuhi empat syarat sekaligus.
Yakni, pertama, khilafah semestinya menguasai satu wilayah otonom, bukan berada di bawah sebuah negara. Kedua, semestinya khilafah mengontrol penuh keamanan dan rasa aman di wilayah itu. Ketiga, khilafah semestinya mampu menerapkan syariah Islam secara adil dan menyeluruh (kaffah). Keempat, pengangkatan khalifah semestinya memenuhi seluruh syarat-syarat pengangkatan (surutul in’iqadz), yaitu Muslim, laki-laki, baligh, berakal, merdeka, adil dan mampu, serta ia dibaiat dengan prinsip ridha wal ikhtiyar
(kerelaan dan pilihan) oleh umat Islam di wilayah itu setelah opini
tentang khilafah berkembang dan menjadi kesadaran umum di tengah
masyarakat. Kenyataannya, semuanya tak terpenuhi.
Lagi pula, metode perjuangan yang digunakan ISIS tidaklah sesuai
dengan metode Rasulullah SAW. Rasulullah SAW tidak menempuh jalan
kekerasan, apalagi menghancurkan tempat ibadah, melakukan pembunuhan
tanpa haq dan sebagainya.
Jadi, pasca deklarasi, ISIS sesungguhnya tetaplah sebagai milisi
bersenjata, bukan khilafah. Haruslah diingat, bahwa khilafah adalah
negara yang punya bobot, proklamasinya akan menjadi peristiwa yang hebat
dan mengguncang dunia. Bukan seperti sekarang, yang justru menjadi
bahan cemoohan di mana-mana.
Setelah meledaknya soal ISIS, apakah terlihat ada upaya monsterisasi istilah “khilafah” dengan mengaitkannya dengan ISIS?
Ada. Yakni dimanfaatkannya pemberitaan soal ISIS ini untuk
menciptakan stigmatisasi negatif, terorisasi, dan kriminalisasi terhadap
simbol dan istilah-istilah Islam seperti syariah dan khilafah.
Tanda-tanda tanda-tanda ke arah sana sudah ada.
Mengapa monsterisasi istilah “Khilafah” bisa terjadi di negeri yang mayoritas penduduknya Muslim ini?
Betul, Indonesia adalah mayoritas Muslim. Bahkan disebut-sebut
sebagai negara dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia. Justru
karena itulah banyak pihak yang tidak menghendaki umat Islam di negeri
ini bangkit. Sebab, bila itu terjadi tentu akan sangat berpengaruh
terhadap konstelasi politik dunia, khususnya di dunia Islam.
Berbagai upaya dilakukan untuk mencegah hal itu terjadi. Di antaranya
dengan memunculkan kesan buruk dan menakutkan terhadap sejumlah ajaran
kunci dalam Islam: syariah dan khilafah. Di situlah terjadi monsterisasi
atau kriminalisasi istilah khilafah. Harapannya, bila orang-orang takut
dan punya kesan buruk, maka dengan mudah didorong untuk menjauhi dan
menolak ajaran Islam yang sesungguhnya sangat mulia itu.
Oleh karena itu, kita harus waspada jangan sampai isu ISIS dijadikan
alat untuk menjauhkan Islam dari umat Islam. Juga jangan sampai
penolakan terhadap ISIS, berkembang menjadi penolakan terhadap ide
khilafah. Harus dibedakan antara tindak kekerasan ISIS dengan ide
khilafah sebagai gagasan yang berasal dari Islam.
Bagaimana peran khilafah dalam penyebaran Islam di Indonesia?
Bisa dikatakan tak akan ada Islam di Indonesia tanpa peran khilafah.
Orang sering mengatakan bahwa Islam di Indonesia, khususnya di tanah
Jawa disebarkan oleh Walisongo. Tapi tak banyak orang tahu, siapa
sebenarnya Walisongo itu? Dari mana mereka berasal? Tidak mungkin to mereka tiba-tiba ada, seolah turun dari langit?
Dalam kitab Kanzul ‘Hum yang ditulis oleh Ibn Bathuthah yang
kini tersimpan di Museum Istana Turki di Istanbul, disebutkan bahwa
Walisongo dikirim oleh Sultan Muhammad I. Awalnya, ia pada tahun 1404 M
(808 H) mengirim surat kepada pembesar Afrika Utara dan Timur Tengah
yang isinya meminta dikirim sejumlah ulama yang memiliki kemampuan di
berbagai bidang untuk diberangkatkan ke pulau Jawa.
Jadi, Walisongo sesungguhnya adalah para dai atau ulama yang diutus
khalifah di masa Kekhilafahan Utsmani untuk menyebarkan Islam di
Nusantara. Dan jumlahnya ternyata tidak hanya sembilan (Songo). Ada 7
angkatan yang masing-masing jumlahnya sekitar sembilan orang. Memang
awalnya dimulai oleh angkatan I yang dipimpin oleh Syekh Maulana Malik
Ibrahim, asal Turki, pada tahun 1400 an. Ia yang ahli politik dan
irigasi itu menjadi peletak dasar pendirian kesultanan di Jawa sekaligus
mengembangkan pertanian di Nusantara. Seangkatan dengannya, ada dua
wali dari Palestina yang berdakwah di Banten. Yaitu Maulana Hasanudin,
kakek Sultan Ageng Tirtayasa, dan Sultan Aliudin. Jadi, masyarakat
Banten sesungguhnya punya hubungan biologis dan ideologis dengan
Palestina.
Lalu ada Syekh Ja’far Shadiq dan Syarif Hidayatullah yang di sini
lebih dikenal dengan sebutan Sunan Kudus dan Sunan Gunung Jati. Keduanya
juga berasal dari Palestina. Sunan Kudus mendirikan sebuah kota kecil
di Jawa Tengah yang kemudian disebut Kudus – berasal dari kata al Quds
(Jerusalem).
Dari para wali itulah kemudian Islam menyebar ke mana-mana hingga
seperti yang kita lihat sekarang. Oleh karena itu, sungguh aneh kalau
ada dari umat Islam sekarang yang menolak khilafah. Itu sama artinya ia
menolak sejarahnya sendiri, padahal nenek moyangnya mengenal Islam tak
lain dari para ulama yang diutus oleh para khalifah.
Apakah khilafah perlu ditegakkan lagi dalam kondisi kekinian?
Iya, harus. Kita tahu, sejak runtuhnya khilafah Islam pada 3 Maret
1924 M, 92 tahun lalu, umat Islam kehilangan institusi pemersatu umat,
penegak syariah dan pelaksana dakwah. Wilayah dunia Islam yang semula
sangat luas kemudian dikerat-kerat oleh negara kafir penjajah menjadi
negara kecil-kecil yang berdiri atas dasar nasionalisme. Harkat martabat
umat dilecehkan, darah umat ditumpahkan, dan pemikiran umat
disimpangkan.
Pendek kata, tanpa khilafah, umat mengalami keterpurukan yang luar
biasa, yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Benarlah, ketika para ulama
menyebut tiadanya khilafah itu sebagai ummul jarâim ataupangkal timbulnya aneka penderitaan, keburukan dan kejahatan.
Maka, menegakkan khilafah merupakan kewajiban besar bagi seluruh umat Islam untuk tegakknya kembali izzul Islam wal Muslimin. Para ulama menyebut sebagai min a’dhamil wajibaat.
Oleh karena itu, wajib pula bagi kita semua untuk mengerahkan segenap
daya dan upaya guna mewujudkan cita-cita mulia ini. Inilah al-qadhiyyatul Muslimin al-mashîriyyah, atau persoalan utama umat Islam di seluruh dunia yang sesungguhnya.
Bagaimana metode penegakan kembali khilafah yang sesuai dengan contoh Nabi?
Ringkasnya, penegakan kembali khilafah sesuai yang dicontohkan Nabi
diawali dengan kegiatan pembinaan dan pengkaderan. Ini tahap pertama,
yang disebut marhalah tatsqif wa takwin.
Selanjutnya tahap interaksi dengan umat (tafa’ul ma’al ummah) dan perjuangan politik (kifahus-siyasi)
melalu usaha pembentukan opini dan kesadaran umat yang dilakukan secara
langsung melalui seminar, diskusi, tabligh akbar dan lainnya, ataupun
secara tidak langsung melalui media cetak, elektronik maupun online, serta usaha diraihnya dukungan tokoh umat dari kalangan ahlul quwwah melalui kontak dan pendekatan intensif hingga tercapai tahap istilamul hukmi (penyerahterimaan kekuasaan). [mediaumat.com, 29/8/2014]
Posting Komentar untuk "[Wawancara] Muhammad Ismail Yusanto, Jubir HTI: Walisongo itu Utusan Khilafah"