Ilusi Kebebasan Berbicara
Dialog adalah salah satu cara untuk bertukar pikiran atau gagasan diantara dua orang atau banyak orang secara intelektual. Dialog bukan dimaksudkan untuk melakukan transaksi tawar menawar untuk mencapai suatu kesepakatan tertentu. Dialog juga bukan dimaksudkan sebagai sarana adu pendapat untuk mencari keunggulan pendapat sendiri dan mengalahkan pendapat orang lain. Dialog dimaksudkan sebagai sebuah percakapan intelektual untuk mengerti dan memahami pikiran atau gagasan orang lain secara obyektif.
Namun demikian tidak semua orang bisa mengembangkan dialog dengan sikap jujur dan berani. Beberapa hari lalu saya dikeluarkan dari sebuah group media sosial, hanya karena saya melemparkan sebuah gagasan tentang kondisi umat Islam yang tertindas. Mayoritas anggota dan penguasa (baca admin) group tidak sependapat dengan gagasan-gagasan yang saya utarakan. Alih-alih mengembangkan dialog dengan cara mengutarakan gagasan-gagasan mereka, saya justru dikeluarkan dari group yang anggotanya adalah para sarjana yang seharusnya mempunyai intelektualitas cukup untuk mengembangkan dialog.
Hal yang saya alami adalah sebuah potret kecil dari sebuah masyarakat besar yang selalu membanggakan kebebasan berbicara, sebuah masyarakat yang sangat bangga dengan sebutan masyarakat demokrasi. Saya teringat bulan Agustus lalu diadakan pagelaran ide-ide berbahaya (Festival of Dangerous Ideas) di Sydney. Salah satu peserta Uthman Badar, juru bicara Hizb ut-Tahrir Australia, dilarang bicara pada acara tersebut. Alasan pelarangan karena gagasan yang akan disampaikan, yaitu “Honour killings are morally justified”, dianggap akan memprovokasi pemikiran orang-orang dalam diskusi nantinya. Sementara Salman Rusdhie yang mempunyai gagasan-gagasan ekstrim dan berbahaya bagi umat Islam, diberi kebebasan penuh untuk menyampaikan gagasan-gagasannya di acara tersebut. Sebuah atraksi standar ganda yang sangat mencolok dipertontonkan dalam masyarakat yang mengagung-agungkan kebebasan berbicara. (Lihat : Festival of Dangerous Ideas : Standar Ganda Demokrasi).
Pada tanggal 20 Oktober 2014, Wassim Doureihi anggota senior Hizb ut-Tahrir Australia, diundang dalam sebuah sesi panel yang diadakan oleh mahasiswa Australian National University (ANU) yang tergabung dalam Woroni (The Australian National University Student Newspaper). Atas campur tangan Public Relation Australian National University (ANU), acara yang bertema “The Rationality of Terror” dibatalkan. Menurut Woroni dalam website resminya: “Peristiwa pelarangan ini menunjukkan bahwa Australian National University (ANU) sangat tidak nyaman untuk memungkinkan terselenggaranya diskusi yang bebas-mengalir tentang Terorisme dan Islam. Pada hari Senin 20 Oktober, karena gangguan oleh tim Public Relation ANU, Woroni terpaksa membatalkan forum dengan tema ‘The Rasionalitas of Terror”‘, sebuah forum yang banyak menarik peminat kelompok media nasional”. (http://www.woroni.com.au/news/irrationality-of-the-terrified-reputation-trumps-free-discussion-at-the-anu/).
Menurut Woroni, pada awalnya beberapa pembicara keberatan akan hadirnya Wassim Doureihi di acara tersebut, tetapi sebagian besar dari mereka bersedia sebagai pembicara. Tetapi, dalam waktu empat hari, semua akademisi mundur. Sekali lagi sebuah atraksi yang nyata bahwa tidak ada tempat untuk berbicara, ketika berbicara tentang Islam yang benar dan jujur, bahkan dalam lingkungan akademis yang seharusnya berani mengembangkan dialog-dialog terbuka dan bebas. [www.visimuslim.com]
Sumber : bambangpk.com, 22/10/2014
Posting Komentar untuk "Ilusi Kebebasan Berbicara"