[Wawancara] Jubir HTI : Besar, Peran Khilafah Di Nusantara
Pengantar Redaksi:
Kembali istilah khilafah disalahpahami, bahkan cenderung ditakuti. Khilafah dituding berdarah-darah, akan memecah-belah, tak punya peran sejarah di negeri ini, ancaman bagi NKRI, dsb. Benarkah tudingan tersebut?
Tentu tidak. Faktanya, pada masa lalu, Khilafah malah sanggup menyatukan hampir dua pertiga bagian wilayah di dunia. Pada masa Khilafah, banyak umat manusia masuk Islam dengan penuh kerelaan, tanpa merasa dipaksa. Di negeri ini, fakta bahwa umat Islam adalah mayoritas merupakan hasil dari kerja dakwah Walisongo yang justru merupakan utusan resmi Khilafah saat itu. Lagi pula, ancaman nyata saat ini adalah ideologi Kapitalisme sekular dengan demokrasi dan ekonomi liberalnya,bukan Khilafah. Bagaimana menjelaskan semua ini?
Ismail Yusanto (Jubir HTI) |
Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Ustadz HM Ismail Yusanto menjelaskan secara panjang-lebar seputar wacana di atas melalui wawancara dengan Redaksi berikut ini.
Belakangan banyak pertanyaan bahkan cap negatif yang kembali ditempelkan pada ide khilafah, bahwa Khilafah akan memecah-belah bangsa. Bagaimana pandangan Ustadz tentang hal ini?
Ini termasuk dari apa yang sering kita sebut “monsterisasi” ajaran Islam. Siapapun pasti akan merasa takut bila mendengar pernyataan seperti itu. Dulu, dalam pidatonya di Amuntai, Kalimantan Selatan, pada tahun 1953, Presiden Soekarno juga mengatakan kurang lebih sama: bila Islam dijadikan dasar negara, Indonesia akan pecah. Pernyataan ngawur ini langsung dibantah oleh KH Wahid Hasyim. Dengan tegas ayahanda Gus Dur itu menyatakan bahwa apa yang disampaikan oleh Soekarno itu sebagai pernyataan mungkar. Karena itu umat Islam wajib menolaknya. Kini, orang kembali pernyataan ngawur: Khilafah akan memecah-belah bangsa.
Benarkah Khilafah akan memecah-belah bangsa? Substansi Khilafah itu ada tiga. Pertama: ukhuwah. Khilafah akan menyatukan umat Islam seluruh dunia. Jadi, alih-alih memecah-belah bangsa, Khilafah justru akan memperkuat persatuan, bukan hanya di antara bangsa Indonesia, tetapi juga dengan bangsa dari negeri Muslim lain. Itulah mengapa dulu HTI sangat keras menentang jajak pendapat yang hendak dilakukan di Timor Timur karena pasti akan membuat propinsi termuda itu bakal lepas dari kesatuan wilayah Indonesia. Benar saja, setelah jajak pendapat itu Timor Timur benar-benar lepas.
Kedua: syariah. Khilafah ditegakkan untuk menerapkan syariah Islam secara kaffah. Dengan itu akan terwujud kerahmatan Islam yang telah dijanjikan oleh Allah SWT. Mengatakan bahwa syariah akan memecah-belah bangsa, apalagi bila itu dikatakan oleh seorang Muslim, adalah sebuah kebodohan yang tak termaafkan. Bagaimana bisa mereka mengatakan seperti itu, sementara faktanya justru sistem sekular-kapitalis-liberal itulah yang telah membuat negara ini selalu dalam himpitan berbagai persoalan yang tak berkesudahan dalam semua aspek kehidupan? Mengapa mereka tidak mengatakan bahwa sistem sekuler itulah yang telah merusak bangsa dan negara ini?
Ketiga: dakwah. Khilafah ditegakkan untuk mendakwahkan Islam ke seluruh dunia. Berkat dakwah yang dilakukan oleh Khilafah pada masa lalu, Islam bisa sampai ke negeri ini. Sebagian dari para ulama yang disebut walisongo adalah utusan Khalifah yang dikirim untuk berdakwah di negeri ini. Kerajaan Islam pertama di Nusantara, Samudera Pasai, adalah bukti nyata bagaimana dakwah Islam melalui Khilafah mempengaruhi perkembangan sosial politik di kawasan Serambi Makkah. Bukan hanya di wilayah Aceh, kekuasaan politik Islam juga berdiri di berbagai tempat di Jawa (Kesultanan Cirebon, Demak, Mataram, Gresik dan lainnya), juga di kawasan Sumatera bagian selatan, Kalimantan, Sulawesi dan Maluku. Jadi, bagaimana bisa disebut Khilafah ini memecah belah bangsa? Mestinya, kafir penjajah itulah yang harus dituding sebagai pemecah-belah bangsa, karena faktanya setelah kedatangan penjajah itu negeri yang semula hidup damai menjadi hancur berantakan.
Namun, ada juga yang menuduh, Khilafah nanti akan berdarah-darah?
Mengikuti thariqah atau metode dakwah Rasulullah, Khilafah haruslah diperjuangan melalui dakwah fikriyah, siyasiyah dan la ‘unfiyah (non-kekerasan). Namun, demi tujuan monsterisasi, Khilafah lantas digambarkan secara mengerikan supaya orang takut lalu menjauh. Mereka tentu merujuk pada apa yang terjadi di Irak dan Suriah saat ini. Ingat, awalnya revolusi di Suriah berjalan damai, namun kemudian ditanggapi dengan langkah militer oleh rezim Bashar Assad. Tak ada pilihan, umat di sana tentu harus mempertahankan diri. Itulah yang kini terjadi sekarang. Perang antara rezim Bashar Assad yang tidak ingin mundur dari kekuasaan dan kelompok mujahidin. Begitu juga apa yang terjadi di Irak. Sebagai reaksi atas invasi AS ke Irak, berdiri kelompok-kelompok perlawanan. Meski formalnya sebagian tentara AS sudah ditarik dari Irak, penjajahan AS atas wilayah yang pernah menjadi pusat kekhilafahan pada masa lalu itu terus berlangsung. Karena itu perlawanan juga terus berlangsung. Jadi, Irak dan Suriah adalah zona perang. Karena itu kita tentu tidak bisa menilai keadaan di sana dengan kacamata keadaan negeri ini. Jadi, darimana mereka bisa mengatakan bahwa Khilafah itu berdarah-darah?
Seruan Khilafah itu dianggap mengawang dan tidak menyentuh konteks kerakyatan. Benarkah?
Sebagai sebuah konsep, tentu saja Khilafah masih bersifat teoretik. Namun, sebagai sebuah teori, sistem Khilafah bisa diuji secara keilmuan. Apakah gagasan-gagasannya cukup rasional atau tidak, aplikabel atau tidak, termasuk tentang bagaimana berbagai problem nyata yang saat ini tengah dihadapi oleh rakyat bisa diselesaikan oleh Khilafah melalui penerapan syariah. Tentu nanti juga pasti akan berbicara tentang peningkatan kesejahteraan rakyat, kewajiban penyelenggaraan pendidikan dan layanan kesehatan bermutu dan gratis untuk rakyat, pengelolaan sumberdaya alam oleh negara agar benar-benar dapat dinikmati hasilnya oleh rakyat dan sebagainya. Juga tentang pentingnya perwujudan pemimpin yang amanah, tidak korup, mandiri serta strategi pengembangan peradaban yang bertumpu pada jatidiri sebagai sebuah bangsa yang religius. Jadi, bagaimana bisa dikatakan bahwa Khilafah tidak menyentuh kehidupan rakyat secara nyata?
Namun, Khilafah dianggap datang dari Arab dan khas Arab, terlepas dari konteks keindonesiaan, jadi tidak pas untuk Indonesia?
Banyak orang di negeri ini paham bahwa Islam di Indonesia, khususnya di tanah Jawa disebarkan oleh Walisongo. Namun, tak banyak orang tahu dari mana mereka, para wali itu, berasal. Tidak mungkin kan mereka tiba-tiba ada. Inilah bagian sejarah penting yang tidak banyak dipahami oleh umat Islam. Kalau kita baca buku sejarah seperti Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, yang ditulis oleh Azyumardi Azra, Sejarah Wali Songo: Misi Pengislaman di Tanah Jawa karangan Budiono Hadi Sutrisno, atau Menemukan Sejarah: Wacana Pergerakan Islam di Indonesia yang ditulis oleh Ahmad Mansur Suryanegara, nyatalah bahwa sesungguhnya Walisongo adalah para ulama yang diutus oleh Sultan Mahmud 1 dari Khilafah Utsmaniyah untuk menyebarkan Islam di Nusantara. Para wali ini datang dimulai dari Maulana Malik Ibrahim, asli Turki, ahli politik dan irigasi. Dialah peletak dasar pendirian kesultanan di Jawa sekaligus mengembangkan pertanian di Nusantara. Ia wafat di Gresik sehingga dikenal dengan sebutan Sunan Gresik. Seangkatan dengannya, ada 2 wali dari Palestina yang berdakwah di Banten, yaitu Maulana Hasanudin, kakek Sultan Ageng Tirtayasa, dan Sultan Aliyuddin. Jadi, masyarakat Banten sesungguhnya punya hubungan biologi dan ideologi dengan Palestina. Juga diutus Syaikh Ja’far Shadiq dan Syarif Hidayatullah. Keduanya juga dari Palestina. Keduanya dikenal di sini sebagai Sunan Kudus dan Sunan Gunung Jati. Sunan Kudus mendirikan kota kecil di Jawa Tengah, dengan nama Kudus, mengambil nama al-Quds (Jerusalem).
Kita saat ini adalah Muslim. Penduduk mayoritas negeri ini adalah juga Muslim. Kemusliman itu telah amat berpengaruh dalam dinamika kehidupan bangsa dan negara ini, termasuk dalam tahap-tahap awal perjuangan kemerdekaan. Itu semua tidak bisa lepas dari jasa para khalifah pada masa lalu yang tak henti melancarkan dakwah ke seluruh penjuru dunia, khususnya ke negeri ini. Jadi bagaimana kita bisa mengatakan, Khilafah tidak punya peran terhadap negeri ini. Karena itu siapa saja yang menolak Khilafah itu sama artinya ia menolak sejarahnya sendiri.
Ada anggapan, dulu memang ada kerajaan Islam, tetapi bukan Khilafah. Lalu para para pendahulu bangsa ini sepakat memilih model negara bangsa dan itu dianggap sudah final. Itulah yang ditunjukkan oleh sejarah. Karena itu seruan Khilafah dikatakan ahistoris, sama saja mengingkari sejarah negeri dan bangsa ini. Bagaimana?
Seperti sudah disinggung, kerajaan-kerajaan (tepatnya kesultanan-kesultanan) Islam dulu itu dibentuk tak lain sebagai representasi Kekhilafahan. Karena itu, misalnya, Sultan Mataram bergelar Sayidin Panatagama, artinya tuan yang menata atau mengatur (dengan) agama. Indonesia merdeka dengan bentuk seperti sekarang ini juga tidak lepas dari keadaan di Dunia Islam pasca runtuhnya Kekhilafahan pada 1924. Wilayah Dunia Islam yang semula sangat luas itu, kemudian dikuasai penjajah. Lalu mulai tahun 1930-an wilayah itu mulai dimerdekakan satu-persatu, termasuk wilayah Nusantara. Jadi, seruan penegakan Khilafah sejatinya adalah mewujudkan kembali tiga substansi Khilafah yang tadi disebut, yang akan membawa rahmat atau kebaikan termasuk kepada negeri ini.
Adakah sumbangan Khilafah untuk negeri ini? Kalau ada, apa buktinya?
Banyak lah. Yang utama tentu saja adalah Islamnya kita, mayoritas penduduk negeri ini. Juga berjalannya sejumlah hukum-hukum Islam, baik menyangkut perkara al-ahwal al-syakhsiyyah seperti soal ibadah, nikah ataupun soal muamalah seperti soal jual-beli dan lainnya. Bahkan semangat jihad dan perlawanan terhadap penjajah dalam diri pejuang dulu tak lain muncul dari ajaran Islam. Tak terbayang bagaimana negara ini bisa merdeka tanpa spirit jihad. Tak kalah pentingnya adalah sumbangan bahasa Arab terhadap terbentuknya bahasa Indonesia. Banyak sekali kata-kata dalam bahasa Indonesia seperti rakyat, dewan, perwakilan, musyawarah, kertas, kursi dan banyak lain lainnya. Semua itu merupakan sumbangan dari bahasa Arab yang masuk ke wilayah ini bersama masuknya Islam. Boleh disebut, tidak akan terbentuk bahasa Indonesia tanpa sumbangan bahasa Arab.
Jadi siapa sebenarnya yang mengancam negeri ini dan harus dilawan itu?
Secara riil, sesungguhnya ada dua ancaman utama terhadap negeri ini, yakni sekularisme yang makin mempurukkan negeri ini dan neo-imperialisme atau penjajahan model baru yang dilakukan oleh negara adikuasa.
Sejak Indonesia merdeka, telah lebih dari 60 tahun negeri ini diatur oleh sistem sekular, baik bercorak sosialistik pada masa Orde Lama maupun kapitalistik pada masa Orde Baru dan neo liberal pada masa reformasi. Dalam sistem sekular, aturan-aturan Islam atau syariah tidak pernah secara sengaja digunakan. Di tengah-tengah sistem sekular ini lahirlah berbagai bentuk tatanan yang jauh dari nilai-nilai Islam: tatanan ekonomi yang kapitalistik, perilaku politik yang oportunistik dan machiavellistik, budaya hedonistik yang amoralistik, kehidupan sosial yang egoistik dan individualistik, sikap beragama yang sinkretistik serta sistem pendidikan yang materialistik.
Akibatnya, bukan kebaikan yang diperoleh oleh rakyat Indonesia yang mayoritas Muslim itu, melainkan berbagai problem berkepanjangan yang datang secara bertubi-tubi. Lihatlah, meski Indonesia adalah negeri yang amat kaya dan sudah lebih dari 60 tahun merdeka, sekarang ada lebih dari 100 juta orang terpaksa hidup di bawah garis kemiskinan. Beban kehidupan bertambah berat seiring dengan kenaikan harga-harga yang terus menerus terjadi. Bagi mereka yang lemah iman, berbagai kesulitan yang dihadapi itu dengan mudah mendorongnya untuk melakukan tindak kejahatan. Akibatnya, tindak kriminal seperti pencopetan, perampokan maupun pencurian dengan pemberatan serta pembunuhan dan tindak asusila, budaya permisif, pornografi dengan dalih kebutuhan ekonomi terasa semakin meningkat tajam. Wajar bila lantas orang bertanya, sudah lebih 60 tahun merdeka, hidup koq makin susah.
Ancaman kedua, neo-imperialisme. Indonesia memang telah merdeka. Namun, penjajahan ternyata tidak berakhir begitu saja. Melalui instrumen utang dan kebijakan global, lembaga-lembaga dunia seperti IMF, World Bank dan WTO dibuat oleh negara-negara Barat sebagai cara untuk melegitimasi langkah-langkah imperialistik mereka. Akibatnya, negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, tidak lagi merdeka secara politik. Melalui para kompradornya di negeri ini, mereka merancang aturan-aturan seperti UU Kelistrikan, UU Migas, UU Penamanan Modal dan lainnya serta membuat kebijakan yang menguntungkan mereka seperti penyerahan blok kaya minyak Cepu kepada Exxon Mobil, juga perpanjangan selalu kontrak untuk Freeport dan Newmont.
Kalau begitu, sejatinya ide khilafah yang ditawarkan HTI dimaksudkan untuk menyelamatkan Indonesia, seperti tercermin dalam slogan, “Selamatkan Indonesia dengan Syariah”?
Ya, betul sekali. Syariah akan menyelamatkan Indonesia dari keterpurukan akibat sistem sekular. Khilafah akan menghentikan neo-imperialisme yang kini tengah menimpa negeri-negeri Islam, termasuk Indonesia, yang dilakukan oleh negara adikuasa. Kejahatan adikuasa hanya mungkin bisa dihentikan oleh kekuatan adikuasa juga. Itulah Khilafah.
Lalu apa dan bagaimana sebenarnya makna rahmatan lil ‘alamin itu?
Sebagaimana disebut di dalam QS al-Anbiya’ ayat 107, arti rahmatan lil ‘alamin di sini, menurut Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya, adalah kebahagiaan di dunia dan akhirat. Kebahagiaan di dunia dan akhirat itu akan diperoleh bila syariah diyakini dan diterapkan secara nyata.
Mungkinkah rahmatan lil ‘alamin itu bisa diwujudkan tanpa institusi Khilafah?
Tidak mungkin. Bila kerahmatan adalah seluruh kebaikan yang bisa dibayangkan oleh manusia di antaranya keadilan, kesejahteraan, kedamaian, ketenteraman, keamanan, kesucian, yang dengan itu akan membawa manusia hidup bahagia di dunia dan akhirat, maka itu semua hanya mungkin bila kita hidup mengikuti ketentuan syariah baik dalam kehidupan pribadi, keluarga dan negara. Itulah yang dimaui oleh Khilafah.
Jadi, mengapa dan untuk siapa, Hizb selalu menulis yang semacam itu?
Untuk meyakinkan umat bahwa inilah masa depan kita. Setelah sosialisme komunisme hancur, sementara kapitalisme, sekularisme dan demokrasi makin menunjukkan kebusukannya, kemana kita akan menuju bila tidak kepada Islam. Islam macam apa bila bukan untuk penerapan syariah secara kaffah? Institusi seperti apa yang bisa diharap mampu menerapkan syariah, mewujudkan ukhuwah dan melancarkan kembali dakwah Islam ke penjuru dunia bila bukan Khilafah? [www.visimuslim.com]
Sumber : hizbut-tahrir.or.id [6/10]
Posting Komentar untuk "[Wawancara] Jubir HTI : Besar, Peran Khilafah Di Nusantara"