Demokrasi Sistem Kufur

Demokrasi terus didengang-dengungkan. Setiap persoalan yang ada selalu saja penyelesaiannya didasarkan pada demokrasi. Akhir-akhir ini, setelah Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo menjadi presiden terpilih, yang akan naik menjadi penggantinya adalah Basuki Cahya Purnama alias Ahok, seorang keturunan Cina beragama Kristen. Ratna Sarumpaet mengaku memberikan dukungan, “Saya dukung kamu karena kamu Cina, Kristen.”

ilustrasi - Demokrasi
Namun, penolakan pun muncul dari kalangan umat Islam. Habib Muchsin mengatakan, “Kami menolak Ahok karena secara syar’i sebagai Muslim haram dipimpin oleh non-Muslim. Selain itu, Ahok ini banyak menyakiti hati umat Islam.”

Sikap ini bukan tanpa alasan. Fakta menunjukkan, Ahok telah mengeluarkan instruksi pelarangan penyembelihan hewan kurban di tempat umum, termasuk sekolah dan masjid. Ini merupakan wujud penggerusan syiar Islam. Ahok juga berencana membuat lokalisasi pelacuran. Muhammadiyah menolak rencana tersebut. Menanggapi respon tersebut Ahok mengatakan, “Jangan munafik, emang nggak ada prostitusi di DKI? Ngapain munafik? Itu aku nyindir aja,” ucap Ahok.

Ahok juga melarang tablig akbar yang menutup jalan dan melarang takbir keliling. Sebaliknya, dia besarkan perayaan tahun baru Masehi/Kristen 2013 dan 2014 dengan membangun 16 panggung hiburan yang menghabiskan dana Pemprov DKI miliaran rupiah serta menutup jalan protokol Sudirman Thamrin, Jakarta.

Dalam demokrasi semua itu legal. Wajar saja, Ketua DPP Hizbut Tahrir Indonesia menyatakan, “Demokrasilah yang menjadikan orang-orang kafir menjadi penguasa.”

Demokrasi telah didudukkan sebagai akidah. Ketua Umum Gerakan Pemuda (GP) Ansor Nahdlatul Ulama, Nusron Wahid, dalam acara Indonesia Lawyers Club (ILC, 14/10/2014) mengatakan, “Memang hukum itu dapat bersumber dari hukum adat, hukum agama dan konstitusi. Namun, kita ini bukan negara agama. Dalam masalah publik, konstitusi harus di atas hukum agama.”

Ia melanjutkan, “Tidak apa-apa non-Muslim menjadi pemimpin umat Islam asal membawa kesejahteraan bagi rakyat.”

Inilah demokrasi! Hukum Islam didudukkan di bawah hukum manusia. Agama Islam dipisahkan dari pengaturan kehidupan. Padahal banyak ayat al-Quran yang melarang hal ini. Di antaranya firman Allah SWT yang maknanya, “Janganlah orang Mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang Mukmin. Siapa saja yang berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali karena memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka (TQS Ali Imran[3]: 28).

Berkaitan dengan hal ini, Imam Besar Front Pembela Islam mengatakan bahwa Indonesia adalah negara musyawarah. Namun, oleh rezim yang berkuasa sejak awal kemerdekaan hingga hari ini diselewengkan menjadi negara demokrasi. Akibatnya, selama puluhan tahun rakyat dicekoki dengan pemahaman demokrasi. “Demokrasi lebih bahaya dari babi. Jika kita colek babi itu terkena najis mughaladhah, yang jika dibersihkan 7 kali maka kembali suci. Jika dimakan dagingnya kita akan berdosa, namun tidak jatuh kafir. Sebaliknya, jika demokrasi di benak kaum Muslim maka dia ridha hukum Allah dipermainkan sehingga dia bisa murtad keluar dari Islam. Demokrasi bisa memurtadkan kita,” tegas Habib.

Sejak awal, Hizbut Tahrir menerbitkan sebuah buku yang menjelaskan hakikat demokrasi. Buku itu berjudul Ad-Dîmuqrâthiyah Nizhâm Kufr, Yahrumu Akhdzuha aw Tathbîquha aw ad-Da’wah ilayha (Demokrasi Sistem Kufur; Haram Mengambil, Menerapkan atau Mempropagandakan).

Demokrasi memang bukan sekadar perkara teknikal. Sebaliknya, demokrasi merupakan sistem keyakinan. Demokrasi telah mendudukkan hukum manusia di atas hukum Allah SWT. Demokrasi telah memberikan hak pembuatan hukum—yang merupakan hak Allah SWT—kepada manusia. Padahal seorang Muslim mestinya terikat pada syariah Islam, bukan pada hukum buatan manusia.

Namun, banyak orang yang juga sudah paham tentang demokrasi dan tetap berpegang pada hukum Allah SWT. Awal Oktober 2014, saya bertemu dengan seorang jenderal. Beliau menyatakan, “Sebagai seorang Muslim kita wajib menerapkan syariah Islam. Ini adalah akidah kita.”

Saya saat itu merasa heran. Jarang rasanya ada seorang tentara yang memiliki keyakinan demikian. Namun, saya segera tersadar dan bersyukur. “Ya Allah, rupanya umat Islam ini masih memiliki orang-orang kuat yang memiliki keberpihakan kepada hukum-Mu,” bisik hati saya. “Saya yakin, Saad bin Muadz abad ini memang ada,” tambah bisikan saya.

Ada catatan menarik tentang seorang ulama yang disampaikan oleh Dr. Ahmad Ibrahim Khidhir, Al-Muntada al-Islami London. Ulama tersebut sebelumnya memandang perlu untuk berbicara di mimbar-mimbar dan menulis di berbagai surat kabar. Namun, setelah sekian lama ia memandang perlunya menempuh jalan demokrasi dengan mendaftarkan diri untuk menjadi anggota parlemen. Tujuannya, mencari cara baru untuk menegakkan kalimatulLah. Dengan itu rakyat dapat menerapkan syariah Islam dan mengembalikan mereka ke dalam pangkuan Islam. “Berikan suaramu kepadaku supaya aku bisa memperbaiki dunia dengan din,” begitu mottonya.

Apa yang dia simpulkan setelah lamanya bergelut di parlemen? “Islam tidak dipandang perlu dalam sistem demokrasi parlemen ini!”

Ulama yang menjadi wakil rakyat itu pun mempersiapkan perkataan yang membekas, berdiri di podium, seraya mengatakan kepada seluruh anggota parlemen, “Wahai para wakil rakyat yang aku hormati. Aku bukanlah penyembah jabatan dan aku bukan orang yang tamak dengan kursi semata. Dulu motto yang aku gunakan untuk orang-orang di daerah pemilihanku adalah, ‘Berikan suaramu kepadaku supaya kami memperbaiki dunia dengan din.’ Dulu aku mengira bahwa cukup untuk merealisasikan tujuan tersebut dengan cara mengajukan berbagai rancangan undang-undang Islam. Namun, ternyata majelis ini menunjukkan kepadaku bahwa majelis ini tidak memberikan hak hukum kepada Allah, kecuali harus melalui hawa nafsu partai kalian, dan partai-partai kalian tidak mungkin untuk membiarkan kalimatullâh hiyal ‘ulya (kalimat Allah itu tinggi)…”

WalLahu a’lam. [Muhammad Rahmat Kurnia; DPP Hizbut Tahrir Indonesia]

Posting Komentar untuk "Demokrasi Sistem Kufur"