Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pejabat ‘Saling Sandera’, Rakyat Makin Sengsara

Akhir-akhir ini, pentas politik di negeri ini kembali diramaikan oleh perseteruan yang melibatkan KPK dan Polri. Kasus ini mengingatkan publik pada kasus “Cicak vs Buaya” beberapa tahun sebelumnya, yang juga melibatkan KPK dan Polri.

Cicak vs Buaya
Karena Presiden Jokowi

Kasus ini bermula saat KPK menetapkan Komjen Pol. Budi Gunawan (BG) sebagai tersangka. Padahal BG telah diajukan oleh Presiden Jokowi ke DPR sebagai calon tunggal Kapolri untuk menggantikan Jenderal Sutarman. Meski BG sudah ditetapkan sebagai tersangka, pencalonan BG sebagai Kapolri tetap diproses dalam Sidang Pleno DPR. DPR pun setuju dan menerima. Namun, karena BG jadi tersangka, Presiden Jokowi memutuskan menunda pelantikan BG sebagai Kapolri. Jokowi lalu memberhentikan dengan hormat Jenderal Sutarman dari jabatan Kapolri dan mengangkat Wakapolri Komjen Badrodin Haiti sebagai pelaksana tugas Kapolri.

Setelah itu bermunculan upaya yang dianggap oleh publik sebagai balas dendam kepada KPK karena menjadikan BG sebagai tersangka. Mula-mula beredar foto yang memperlihatkan Ketua KPK Abraham Samad berpose mesra dengan Putri Indonesia. Belakangan banyak pihak mengungkap bahwa foto itu hasil rekayasa.

Berikutnya, Pelaksana Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto membeberkan adanya pertemuan Ketua KPK Abraham Samad dengan dirinya dan kader PDI-P lainnya sebelum Pilpres. Saat itu, katanya, Samad melobi PDIP agar dapat menjadi calon wakil presiden bagi Jokowi. Karena itu Abraham dituduh melanggar kode etik KPK. Beberan itu menimbulkan kesan bahwa penetapan BG jadi tersangka karena Samad sakit hati tidak dijadikan cawapres bagi Jokowi.

Lalu, Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto (BW) ditangkap oleh Bareskrim Mabes Polri. BW dituduh mengarahkan saksi untuk memberikan keterangan palsu dalam sidang sengketa Pilkada Kotawaringin Barat Kalteng di MK. Namun, itu terjadi pada 2010 lalu.

Kemudian, Wakil Ketua KPK Adnan Pandu Praja dilaporkan ke Bareskrim. Ia dituduh telah menguasai saham PT. Daisy Timber di Berau, Kalimantan Timur dengan cara-cara yang tidak benar. Namun, kasus itu pun sudah lama, yakni terjadi pada tahun 2006 (Lihat: Republika.co.id, 24/1).

Selanjutnya, Presidium Jatim Am dari Aliansi Masyarakat Jawa Timur, Fathorrasjid, menyatakan bahwa pihaknya akan melaporkan Zulkarnain ke Bareskrim. Zulkarnain diduga menerima uang suap sekitar Rp 5 miliar pada 2010 untuk menghentikan penyidikan perkara penyelewengan anggaran Program Penanganan Sosial Ekonomi Masyarakat (P2SEM) Jawa Timur pada 2008. Saat itu Zulkarnain menjabat Kepala Kejaksaan Tinggi Jatim (Lihat: Tempo.co.id, 26/1).

Alhasil, ketua dan semua wakil ketua KPK dilaporkan ke polisi. Tak pelak, publik menilai semua itu sebagai upaya kriminalisasi KPK.

Semua hiruk-pikuk itu terjadi karena keputusan Presiden Jokowi yang ngotot mencalonkan BG sebagai calon tunggal Kapolri menggantikan Jenderal Sutarman. Andai Jokowi tidak ngotot melakukan itu, niscaya kisruh ini tak terjadi. Kengototan Jokowi itu dipertanyakan banyak pihak. Pasalnya, penggantian Kapolri tidak mendesak sebab Jenderal Sutarman baru akan pensiun Oktober 2015 atau masih 10 bulan lagi. Lagi pula sudah banyak diberitakan bahwa BG termasuk jenderal Polri yang diduga memiliki rekening gendut. Jika dalam penyusunan kabinet Jokowi melibatkan KPK dan PPATK untuk menjamin menterinya bersih, maka dalam pencalonan Kapolri mestinya Jokowi jauh lebih berkeinginan untuk melibatkan KPK dan PPATK. Namun, hal itu malah tidak dilakukan oleh Jokowi.

Alhasil, Presiden Jokowilah yang semestinya menjadi orang yang paling bertanggung jawab atas kisruh yang terjadi ini. Semua ini terjadi karena Presiden Jokowi.

Politik ‘Saling Sandera’

Kisruh yang terjadi ini untuk kesekian kalinya membuktikan betapa penegakan hukum masih sarat dengan kepentingan, terutama kepentingan politik. Kisruh ini juga membuktikan bahwa politik ‘saling sandera’ terus terjadi. Masing-masing pihak mengetahui kelemahan atau cacat pihak lain. Semua ini lantas dijadikan alat tawar-menawar demi kepentingan masing-masing. Jika pihak lain tidak sejalan maka cacatnya pun diungkap.

Kasus penetapan BG sebagai tersangka mengesankan adanya kepentingan di balik hal itu. Selain prosesnya yang dinilai oleh sebagian pihak sangat cepat, juga waktunya dilakukan setelah BG diajukan sebagai calon tunggal Kapolri dan sebelum disetujui DPR dan dilantik. Padahal dalam beberapa kasus, KPK sudah menetapkan tersangkanya, namun kasusnya kini tidak jelas lanjutannya. Contohnya adalah mantan Menteri Agama Suryadharma Ali, mantan Menteri ESDM Jero Wacik, mantan anggota DPR Sutan Bhatoegana, mantan Ketua BPK/Dirjen Pajak Hadi Purnomo dan mantan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari. Semuanya sudah ditetapkan sebagai tersangka, tetapi hingga kini mereka belum ditahan. Prosesnya terkesan lambat, bahkan kelanjutannya tidak jelas.

Di sisi lain, pelaporan atas pimpinan KPK terkait dengan kasus-kasus lama. Kasus Adnan terjadi tahun 2006. Kasus Zulkarnaen terjadi tahun 2010. Kasus BW terjadi tahun 2010. Semuanya diungkap lagi saat ini. Mengapa baru saat ini diungkap dan dilaporkan? Mengapa tidak sejak saat kasus itu terjadi? Mengapa pula bukti-bukti atas kasus-kasus itu—jika memang ada—tidak disampaikan dalam fit and proper test pada saat proses seleksi pimpinan KPK kala itu?

Jadi, ada kesan kuat bahwa berbagai kasus seolah disimpan dan tidak diungkap untuk dijadikan alat tawar. Kasus-kasus itu dijadikan alat untuk mencegah pihak lain menggagalkan total kepentingan masing-masing pihak, atau mencegah berbagai pihak saling mengungkap kasus pihak lainnya, atau mendorong berbagai pihak untuk berkompromi. Akhirnya, ada semacam ‘ancaman’: siapapun yang berani berulah maka cacat dan kasusnya akan diungkap. Itulah politik ‘saling sandera’ satu pihak atas pihak lain.

Di sisi lain, kepentingan rakyat makin terpinggirkan. Rakyat makin sengsara. Alhasil, doktrin demokrasi bahwa dengan pemilihan langsung oleh rakyat akan dihasilkan penguasa dan politisi yang mendengarkan aspirasi rakyat hanyalah ilusi.

Buah Demokrasi

Sistem politik demokrasi yang mahal dan bertumpu pada popularitas, meniscayakan politik ‘saling sandera’ terjadi. Hal itu menjadi bagian yang tak terpisahkan dari sistem demokrasi. Dalam sistem demokrasi, siapa pun tak bisa menjadi penguasa dan pejabat kecuali jika mendapat dukungan politik dan modal. Karena itu dalam sistem demokrasi peran cukong politik dan cukong modal sangat menentukan. Tentu tidak ada sesuatu yang gratis. Cukong politik (parpol dan khususnya elit parpol) dan cukong modal (para kapitalis) pada akhirnya akan sangat berpengaruh terhadap penguasa dan kebijakannya. Jadilah penguasa dalam sistem demokrasi tersandera oleh cukong politik dan cukong modal itu. Apalagi jika penguasa itu bukan orang yang berkuasa dalam parpol; pengaruh atau bahkan kontrol dari para cukong itu jauh lebih terasa dan kelihatan. Itulah yang secara kuat bisa dirasakan terjadi di negeri ini saat ini, mulai dari penyusunan menteri hingga penunjukkan calon Kapolri. Ke depan hal itu masih akan terus terjadi.

Dengan sistem demokrasi seperti itu, di belakang para politisi, penguasa dan pejabat, semuanya ada kepentingan politik dan ekonomi (modal) yang terus menyertai. Agar kepentingan semua pihak bisa diwujudkan, semua pihak harus terus berkompromi satu sama lain. Agar kompromi itu terus terjadi maka salah satu caranya adalah dengan saling menyandera satu sama lain. Dengan begitu masing-masing pihak akan terkontrol dan tidak saling berulah sehingga merugikan kepentingan mereka sendiri.

Dengan demikian politik ‘saling sandera’ menjadi bagian tak terpisahkan dari sistem demokrasi. Politik ‘saling sandera’ ini akan terus ada dalam sistem demokrasi. Pasalnya, masing-masing pihak ingin mengamankan kepentingan mereka berikut kepentingan para cukong politik dan cukong modal yang mengontrol di belakang mereka.

Pangkal semua ini adalah pemberlakuan sistem demokrasi di negeri ini. Semua yang terjadi juga menjadi bukti bahwa demokrasi hanya menawarkan ilusi demi ilusi: ilusi kesejahteraan, ilusi keadilan, ilusi kedaulatan, ilusi rezim yang senantiasa mendengarkan aspirasi rakyat dan ilusi-ilusi lainnya. Semua itu pada akhirnya menjadi bukti kebobrokan sistem demokrasi. Pada titik inilah tepat direnungkan firman Allah SWT:

أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ
Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki. Hukum siapakah yang lebih baik dibandingkan dengan hukum Allah bagi orang-orang yang yakin? (TQS al-Maidah [5]: 50).

Sistem demokrasi adalah sistem jahiliah. Ayat tersebut dengan jelas menyatakan bahwa selain sistem dan hukum yang berasal dari Allah adalah sistem dan hukum jahiliah.

Segera Campakkan Demokrasi

Umat Islam tentu hanya meyakini kebenaran Islam serta keadilan sistem dan hukum yang berasal dari Allah. Untuk membuktikan keyakinan itu umat ini harusnya segera meninggalkan sistem dan hukum jahiliah—termasuk sistem demokrasi—dan segera mengambil sistem dan hukum Allah SWT. Bentuk konkretnya adalah: segera campakkan sistem demokrasi kapitalisme; segera terapkan syariah Islam secara total dan menyeluruh di bawah naungan sistem pemerintahan Islam, yaitu Khilafah ar-Rasyidah ‘ala minhaj an-nubuwwah.

WalLâh a’lam bi ash-shawâb.[Al-Islam edisi 741, 9 Rabiuts Tsani 1436 H – 30 Januari 2015 M] [visimuslim.com]

Posting Komentar untuk "Pejabat ‘Saling Sandera’, Rakyat Makin Sengsara"

close