Jihad dan Mekanismenya Dalam Islam
Jihad adalah puncak ajaran Islam. Ketika umat meninggalkannya, selain berdosa, umat pasti terhina. Jihad merupakan bagian dari ajaran Islam. Itulah adalah prinsip yang dinyatakan oleh Rasulullah. Namun, jihad sebagai bagian dari syariah harus diterapkan dengan benar sesuai ketentuan syariah.
ilustrasi |
Bagi Non-Muslim jihad ini lebih dibenci lagi, apalagi para penguasa-penguasa negara barat yang selama ini membantai Umat Islam di sana dan mengekploitasi kekayaaan alam di sana. Jihad adalah sandungan paling berat bagi mereka. Mereka juga pasti masih memahami, bagaimana nenek moyangnya, harus berhadapan dengan Umat Islam yang mengumandangkan jihad melawan mereka.
Bagaimana sesungguhnya Islam memandang jihad? Bagaimana klasifikasi jihad? Dan bagaimana jihad itu dilakukan?
*****
Harus diakui saat ini banyak yang salah paham tentang jihad. Saat ini, jihad dibenci, baik oleh sebagain umat Islam atau oleh non Muslim.
Oleh karena itu, ajaran Islam tentang jihad ini paling banyak diselewengkan, baik secara sadar atau tidak sadar. Bagi sebagian umat Islam yang mengaku humanis, pasti akan merasa tertuduh saat disebut kata jihad. Sehingga sering sekali mereka melakukan defensif apologetik, membantah secara serampangan dan asal-asalan.
Ada sebagian tokoh Umat Islam yang mengatakan bahwa jihad itu bukan perang, tetapi melawan nafsu. Terus terang, pernyataan ini, meskipun berbunyi melawan nafsu, tetapi sebetulnya dikendalikan oleh nafsu, yaitu nafsu untuk memaksa ajaran Islam agar sesuai dengan nafsunya. Pernyataan itu memang didasarkan pada hadits Nabi. “Kita kembali dari jihad kecil (al-jihad al-ashghar) kepada jihad besar (al-jihad al-akbar). Para sahabat bertanya, “ Apa jihad besar itu?” Nabi bersabda,”Yaitu jihad memerangi nafsu (jihad an-nafs)”. Kita tidak akan membahas keshahihan hadits ini. Tetapi, tampak dari hadits ini bahwa pernyataan ini diucapkan Rasulullah setelah beliau melakukan peperangan. Bagaimana orang sanggup melakukan jihad besar (melawan nafsu), padahal jihad kecil aja tidak berani? Hadits ini sama sekali tidak untuk meremehkan jihad, apalagi untuk mengubah makna jihad sekedar mengendalikan nafsu.
Ada lagi sebagian tokoh Umat Islam, yang memaknai bahwa jihad dilakukan hanyalah untuk pertahanan. Inilah yang kemudian dinamakan jihad difa’i (defensif). Mereka berdasar pada ayat al qur’an: “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.”(QS: Al-Baqarah Ayat: 190). Lalu, dengan rapat-rapat menyembunyikan ayat-ayat al qur’an yang memberi kesan jihad hujumy (jihad ofensif). Meraka, mengatakan bahwa Islam adalah damai dan jihad itu hanya untuk pertahanan saja.
Ada lagi sebagian umat Islam yang terlalu bersemangat, sehingga segala sesuatu harus diselesaikan dengan jihad. Perbedaan pendapat dengan sesama umat Islam diselesaikan dengan saling jihad. Menegakkan Khilafah harus dengan jihad. Mengoreksi pemimpin harus dengan jihad. Dan lain sebagainya. Mereka berdasar pada ayat al qur’an “Apabila sudah habis bulan-bulan haram, maka perangilah orang-orang musyrik itu di mana saja kalian jumpai mereka.” (QS. At-Taubah: 5). Akhirnya jihad dilaksanakan tanpa ilmu dan menyimpang dari ajaran Islam yang lurus. Akhirnya, jihad tidak lebih seperti peperangan yang dilakukan oleh orang-orang tak bermoral, dan lebih tragis lagi jihad hanya menjadi topeng atas segala perilaku jahat dan biadab yang dilakukan atas nama agama.
Akhirnya, banyak yang semakin muak dengan jihad dan dengan Islam.
*****
Jika kita telaah dengan cermat dan teliti terhadap nash-nash dalam Islam, serta sejarah hidup Rasulullah, maka akan tampak bahwa jihad adalah ajaran Islam yang sangat agung.
Dalam bahasa Arab, jihad memiliki makna bahasa mahupun makna syar'i. Secara bahasa, jihad bermakna: mengerahkan kemampuan dan tenaga yang ada, baik dengan perkataan maupun perbuatan (Fayruz Abadi, Kamus Al-Muhith). Sementara dalam pengertian syar'i, umumnya para fukaha mendefinisikan jihad sebagai: upaya memerangi orang-orang kafir dalam rangka meninggikan kalimat Allah. Jihad bukan sekedar perang melawan hawa nafsu. Inilah yang dipahami oleh para ulama dari berbagai dalil baik dari al qur’an atau dari hadits. Hal ini bisa dilihat, dari berbagai kitab para ulama. Menurut mazhab Hanafi, misalnya dinyatakan dalam kitab Badaa’i’ as-Shana’i’; menurut mazhab Maliki, seperti termaktub dalam kitab Munah al-Jalil; menurut adzhab Syafi’i, sebagaimana dinyatakan dalam kitab al-Iqna’; dan menurut madzhab Hambali, seperti yang dituturkan dalam kitab al-Mughniy, karya Ibn Qudaamah.
Secara historis tampak bahwa hukum jihad ini diwajibkan Allah, setelah Rasulullah hijrah ke Madinah, maka ayat-ayat Makiyah yang memuat kata jihad lazimnya bermakna bahasa. Adapun ayat-ayat Madaniyah tentang jihad bermakna syar'i.
Jika ditelaah dari aktivitas jihad yang dilakukan Rasulullah, maka akan tampak bahwa ada dua jenis jihad yang dilakukan oleh Rasulullah, yaitu jihad difa’i (defensif) dan jihad hujumy (ofensif). Jihad ofensif adalah jihad pertahanan, artinya umat Islam diserang, lalu memberikan perlawanan fisik, inilah yang dinamakan jihad defensif. Sementara jihad ofensif adalah jihad dimana Umat Islam yang datang dengan mengirimkan pasukan, bukan didatangi oleh pasukan musuh.
Jihad defensif dilakukan saat Umat Islam diserang. Jihad ini bisa dilakukan, baik Umat islam memiliki pemimpin (Khalifah) atau tidak. Jihad ini harus dilakukan oleh Umat. Umat tidak boleh diam saja, saat mereka dijajah oleh negara-negara kufur.
Sementara jihad ofensif dilakukan, saat dakwah secara damai dihalang-halangi oleh kekuatan fisik. Jihad tidak dimaksudkan untuk memaksa orang non Muslim agar masuk Islam. Sebab, tidak boleh ada paksaan dalam masalah agama. Allah berfirman: “Tidak ada paksaan untuk memasuki agama Islam, sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat.” (QS. Al-Baqoroh: 256).
Jihad ofensif itu adalah ajaran Islam yang spesifik. Artinya, jihad ofensif ini dilakukan saat kondisinya memang menuntut hal itu. Jihad ofensif tidak boleh dilakukan tanpa ada peristiwa yang mengiringinya. Jihad adalah pilihan terakhir, setelah beberapa pilihan sebelumnya tidak berhasil ditempuh.
Jadi, jihad ofensif adalah aktivitas fisik untuk menghilangkan halangan-halangan fisik, dalam dakwah. Jihad ofensif inilah yang dilakukan oleh Rasulullah saw. dan para Sahabat setelah mereka berhasil mendirikan Daulah Islam di Madinah. Mereka tidak pernah berhenti berjihad dalam rangka menghilangkan halangan-halangan fisik demi tersebarluasnya dakwah Islam dan demi tegaknya kalimat-kalimat Allah. Dengan jihad ofensif itulah, dakwah Islam tersebar ke seluruh dunia dan wilayah kekuasaan Islam pun semakin meluas, menguasai berbagai belahan dunia. Ini adalah fakta sejarah yang tidak dapat dibantah.
Karena itu, jihad hanya dilakukan sebagai pilihan terakhir, yaitu saat dakwah di halang-halangi secara fisik. Di dalam banyak haditsnya, setiap jihad Rasulullah selalu menyampaikan: “Apabila kamu menjumpai musuhmu dari orang-orang musyrik maka tawarkanlah kepada mereka tiga perkara, mana saja yang mereka pilih terimalah dan jangan ganggu mereka.” Kemudian beliau menyebutkan tiga alternatif itu dengan urut yaitu: masuk Islam, kemudian bayar jizyah, dan kemudian perang. (Sunan Abi Daud Kitabul Jihad No: 2612 hal: 402).
Saat jihad telah jadi pilihan akhir, maka jihad harus dilaksanakan sesuai dengan syariah Islam. Tidak boleh sembarangan. Islam memiliki ajaran yang rinci, detil, dan praktis dalam hal ini.
Mekanisme dan batasan-batasan jihad terangkum dalam nasihat Abu Bakar kepada pasukan Umat Islam saat kepada pasukan yang menuju Syam, “Aku berwasiat, hendaklah kalian selalu bertaqwa kepada Allah. Berperanglah di jalan Allah dan perangilah orang-orang kafir. Sesungguhnya Allah akan membela-Nya. Janganlah kalian berbuat dzalim (aniaya), jangan kalian berkhianat, janganlah kalian merasa takut, janganlah kalian membuat kerusakan di muka bumi, dan janganlah kalian melanggar perintah pimpinan. Apabila kalian bertemu dengan musuh, berikanlah kepada mereka tiga pilihan. Jika mereka menerimanya, janganlah kalian memerangi mereka. Kemudian ajaklah mereka untuk berhijrah ke tempat orang-orang Islam dan beritahukan kepada mereka, jika mereka telah berada di tempat (dar) kaum Muslim, mereka memiliki hak dan kewajiban yang sama seperti yang dimiliki orang Islam. Namun, jika mereka memeluk Islam dan tidak bersedia turut berhijrah ke tempat kaum Muslim, katakanlah kepada mereka, bahwa status mereka sama dengan kaum Muslim yang tinggal di perkampungan yang jauh dari orang-orang Islam, mereka tidak akan memperoleh bagian ghanimah, kecuali jika mereka turut berperang bersama kaum Muslim.
Apabila mereka menolak untuk memeluk Islam, tawarkanlah kepada mereka untuk membayar jizyah (menjadi warga negara yang baik). Jika mereka bersedia membayarnya, janganlah kalian memerangi mereka. Akan tetapi jika mereka tidak mau membayar jizyah (tidak mau menjadi warga Khilafah yang baik) dan tidak mau memeluk Islam, maka perangilah mereka. Tetapi, janganlah kalian tebang pohon-pohon kurma, janganlah kalian membakar (rumah-rumah), janganlah kalian membinasakan binatang-binatang ternak, dan janganlah kalian menghancurkan tanaman buah-buahan maupun rumah-rumah peribadatan. Janganlah kalian membunuh anak-anak kecil, orang-orang tua, maupun kaum wanita. Jika kalian menjumpai sebagian orang mencari perlindungan di rumah-rumah peribadatan, janganlah kalian mengganggu mereka. Akan tetapi, jika kalian menjumpai orang-orang jahat yang berteman dengan setan, bunuhlah mereka seluruhnya” (Kanzul ‘Ummal, jilid II hal 295).
Jadi, tampak bahwa jihad itu bukan sekedar perang. Di sana terdapat filosofi, aturan, dan batasan yang sangat jelas.
*****
Saat ini, banyak Umat Islam yang menolak jihad ofensif, ada juga yang kesulitan dalam menjelaskan jihad ofensif.
Berikut ini akan dicontoh dua jihad hujumy (ofensif) yang terjadi pada masa Rasulullah, yaitu perang Mu’tah dan perang Bani Quraidzah.
Pada masa Rasulullah telah terjadi banyak peperangan besar dan sangat berat. Namun, peperangan paling heroik dan dan paling dahsyat yang dialami umat Islam di zaman Rasulullah, mungkin adalah perang Mu’tah. Perang ini terjadi dengan kekuatan Umat Islam hanya 3000 pasukan melawan pasukan terkuat di muka bumi saat itu, yaitu pasukan Romawi dengan kaisarnya Heraclius yang membawa sebanyak 200.000 pasukan. Luar biasa! Bisakah Anda membayangkan jalannya peperangan tersebut?
Pasukan super besar tersebut merupakan pasukan aliansi antara kaum Nasrani Romawi dan Nasrani Arab sekitar dataran Syam, jajahan Romawi. Perang terjadi di daerah Mu’tah (Sekarang masuk wilayah Yordania), pada tahun 8 H atau tahun 629 M.
Perang ini termasuk jihad hujumy (ofensif), yakni Umat Islam yang memulai perang. Apakah perang ini ada penyebabnya? Tentu saja.
Penyebab perang Mu’tah ini bermula ketika Rasulullah mengirim sahabatnya bernama al-Harits bin Umair al-‘Azdi yang dikirim ke penguasa Bashra (Romawi Timur) bernama Hanits bin Abi Syamr Al-Ghassani yang baru diangkat oleh Kekaisaran Romawi. Ini terjadi, pasca ditanda-tanganinya perjanjian damai dengan Makkah, yang dinamakan perjanjian Hudaibiyah. Saat itu, dimanfaatkan Rasulullah untuk mendakwahkan Islam ke raja-raja dan para pemimpin dunia saat ini. Para sahabat Nabi yang diutus ini membawa surat Rasulullah, yang intinya berisi ajakan agar masuk Islam.
Namun sayangnya, al-Harits ini di tengah perjalanan, dicegat dan ditangkap penguasa setempat bernama Syurahbil bin ‘Amr al-Ghassani, pemimpin dari bani Gasshaniyah (daerah jajahan Romawi) dan dibawa ke hadapan kaisar Romawi Heraclius. Setelah itu, kepala beliau dipenggal.
Pelecehan dan pembunuhan utusan negara termasuk menyalahi aturan internasional dan juga pelanggaran hukum syariah. Membunuh utusan sama saja ajakan untuk berperang. Hal inilah yang membuat Rasulullah mengambil keputusan yang tegas, meski sangat berat. Keputusan itu adalah jihad hujumy (ofensif). Rasul mengirim pasukan, bukan didatangi pasukan.
Setelah sebelumnya berunding dengan para Shahabat, lalu diutuslah pasukan Islam sebanyak 3000 orang untuk berangkat ke daerah Syam, sebuah pasukan terbesar yang dimiliki kaum muslim saat itu. Rasulullah sadar betul bahwa melawan penguasa Bushra berarti juga melawan pasukan Romawi yang notabene adalah pasukan terbesar dan adidaya di muka bumi ketika itu.
Rasulullah bersabda: “Pasukan ini dipimpin oleh Zaid bin Haritsah, bila ia gugur komando dipegang oleh Ja’far bin Abu Thalib, bila gugur pula panji diambil oleh Abdullah bin Rawahah –saat itu beliau meneteskan air mata- selanjutnya bendera itu dipegang oleh seorang ‘pedang Allah’ dan akhirnya Allah Subhânahu wata‘âlâ memberikan kemenangan. (HR. al-Bukhari)
Ini pertama kali Rasulullah mengangkat tiga panglima sekaligus dalam suatu peperangan, karena beliau mengetahui kekuatan militer Romawi yang tak tertandingi pada waktu itu. Di sini, kami tidak akan membahas jalannya dan suasana pertarungan yang teramat sangat dahsyat, dan tercatat dalam sejarah sebagai peperangan terhebat di dunia. Silahkan dibaca sendiri di berbagai buku sejarah dan buku siroh, di sana dijelaskan dengan detil berbagai peristiwa yang mengagumkan dan mempesona.
Fokus kami di sini adalah memberi penekanan bahwa perang Mu’tah ini termasuk jihad hujumy (ofensif). Rasul mengirim pasukan, bukan didatangi pasukan. Meski, tentu saja, jihad ofensif ini dilakukan dengan alasan yang kuat dan dengan mekanisme yang telah ditentukan dalam syariah Islam dengan sangat detil.
*****
Diantara jihad hujumy (ofensif) yang dilakukan Rasulullah adalah perang Bani Quraidzah.
Perang Bani Quraizhah terjadi pada tahun 5 H, yakni setelah perang Ahzab (atau perang Khandaq). Mengapa Rasulullah memutuskan untuk menyerang (hajama) Bani Quraidzah?
Penyebab utama perang Bani Quraizhah adalah Kaum Yahudi Bani Quraizhah yang mengkhianati perjanjian dengan kaum Muslimin. Terutama saat suasana yang sangat genting, yaitu perang Ahzab. Perang Ahzab ini termasuk jihad difa’i (defensif). Perang Ahzab sendiri adalah perang yang paling krusial, sebab Daulah Madinah diserang oleh pasukan kafir multinasional, yaitu gabungan dari berbagai kabilah yang ada di Arab, makanya dinamakan ahzab (jama’ dari hizb yang artinya kelompok).
Saat perang Ahzab terjadi, seharusnya Bani Quraizhah membela dan mempertahankan kota Madinah dari serangan pasukan ahzab bersama-sama kaum muslim, karena begitulah bunyi piagam Madinah. Tetapi, mereka malah berbalik membantu musuh. Mereka merusak perjanjian dan justru mau melakukan penyerangan dari dalam kota. Jika itu benar-benar terjadi, secara perhitungan matematis, Umat Islam akan habis. Inilah perang urat syaraf yang paling kritis, meski dalam perang ini tidak terjadi kontak senjata.
Suasana yang sangat menegangkan itu digambarkan Allah dalam al qur’an: “Dan ingatlah, ketika segolongan di antara mereka berkata: Hai penduduk Yatsrib (Madinah), tidak ada tempat bagi kamu, maka kembalilah kamu. Dan sebagian dari mereka minta izin kepada Nabi untuk kembali pulang dengan berkata: Sesungguhnya rumah-rumah kami terbuka, tidak ada yang menjaganya, padahal rumah-rumah itu sekali-kali tidaklah terbuka. Mereka tidak lain hanyalah hendak lari. Kalau Yatsrib (Madinah) diserang dari segala penjuru, kemudian diminta kepada mereka supaya murtad, niscaya meneka mengerjakannya. Dan mereka tiada akan berhenti untuk muntad itu, melainkan dalam waktu yang singkat. Dan sesungguhnya mereka itu telah berjanji kepada Allah dahulu: Mereka tidak akan berbalik mundur. Dan penjanjian dengan Allah itu akan dimintakan pertanggungjawaban. Katakanlah: Lari itu sekali-kali tidaklah benguna bagimu, jika kamu melarikan diri dari kematian atau pembunuhan. Dan kalau kamu terhindar dari kematian itu, kamu juga tidak akan mengecap kesenangan kecuali sebentar saja.” (QS. Al-Ahzab:13-16)
Kami tidak akan membahasa suasana sebelum dan saat peperangan yang sangat menegangkan itu. Silahkan dibaca dalam buku-buku sejarah dan siroh Nabawiyah. Singkatnya, berkat pertolongan Allah, pasukan ahzab ditarik mundur dan berkat manuver politik yang sangat brilian dari Rasulullah, Bani Quraidzah yang sudah siap-siap menyerang dari dalam kota, tidak jadi menyerang.
Apa yang dilakukan Rasulullah, setelah pasukan Ahzab pulang?
Rasulullah memutuskan jihad hujumy (ofensif) untuk menyerang Bani Quraidzah dan memberi pelajaran yang seharusnya. Rasulullah memerintahkan agar pasukan Islam segera berangkat menuju benteng Bani Quraidzah. Rasulullah kemudian mengumpulkan para sahabat dan bersabda agar mereka segera menuju ke sana “ Janganlah sekali-kali salah satu diantara kalian shalat Ashar kecuali di daerah Bani Quraizhah”. (HR. Bukhari).
Kekuatan kaum muslimin berjumlah 3.000 pasukan 30 diantaranya penunggang kuda. Rasulullah menunjuk Ali bin Abi Thalib sebagai pembawa bendera perang dan mengangkat Ibnu Ummi Maktum sebagai pemimpin sementara di Madinah. Rasulullah dan para sahabat mengepung Bani Quraizhah selama 25 hari, akhirnya mereka menyerah. Lalu mereka mendapatkan sanksi yang sangat tegas dari Rasulullah.
Perang Bani Quraidzah ini termasuk jihad hujumy (ofensif). Rasulullah mengirim pasukan, bukan didatangi pasukan kafir. Alasan utamanya adalah karena mereka telah berkhianat kepada daulah Islam.
Dengan dua contoh ini, sangat jelas bagi kita, bahwa jihad itu memang ada dua, yaitu jihad hujumy (ofensif) dan jihad difa’i (defensif). Itulah yang dilakukan Rasulullah dan para sahabatnya.
*****
Untuk memperjelas bagaimana mekanisme dan filosofi jihad dalam Islam, berikut ini akan kita lihat sejarah pembebasan Kota Samarkand (sekarang bagian dari Negara Uzbekistan) oleh pasukan Islam dengan jihad. Pembebasan Kota Samarkand ini termasuk kejadian unik, karena TIDAK SESUAI dengan mekanisme jihad yang diajarkan oleh Islam. Terkadang, suatu permasalahan menjadi jelas saat ada kesalahan dan penyimpangan. Hikmah dari kejadian tersebut, kita dapat belajar dari kesalahan dan penyimpangan yang terjadi pada masa lalu, dan bagaimana Khalifah menyelesaikan masalah tersebut.
Kejadian ini terjadi pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz (cicit dari Umar Bin Khattab), dari Kekhilafahan Bani Umayyah, pada tahun 98H. Pembebasan ini dipimpin komandan yang sangat terkenal, yakni Qutaibah bin Muslim Al Bahili.
Pasukan Islam yang dipimpin Qutaibah memasuki kota pada malam hari ketika penduduk tengah tertidur lelap sehingga pembebasan dapat dilakukan dengan cepat tanpa adanya pertumpahan darah dan perlawanan berarti.
Namun setelah pembebasan, penduduk Samarkand mengetahui bahwa komandan perang Islam tidak menerapkan prosedur jihad dari Nabi Muhammad SAW, bahwa ketika kaum muslimin ingin membebaskan suatu wilayah, mereka harus menawarkan tiga pilihan kepada penduduk daerah tersebut, yaitu pertama mengajak mereka kepada Islam, kedua membayar Jizyah (menjadi warga negara yang baik), dan jika dua pilihan tidak disepakati maka pilihan terakhir adalah jihad (berperang).
Penduduk Samarkand kemudian mengutus para pendeta untuk bertemu langsung dengan pemimpin tertinggi kaum muslimin (Khalifah) untuk mengadukan hal tersebut. Para pendeta lalu mengadakan perjalanan darat dari Samarkand (Uzbekistan) menuju Damaskus (Suriah) hingga sampai ke pusat kota.
Ketika mereka mengadukan perihal penaklukan Samarkand yang menyalahi prosedur, Khalifah Umar bin Abdul Aziz hanya menulis perintah sederhana di atas secarik kertas untuk mengadakan peradilan bagi komandan perang Qutaibah dan meminta para pendeta memberikan surat tersebut kepada hakim yang memimpin Samarkand pada saat itu.
Maka para pendeta segera pulang dengan terheran-heran, hanya membawa secarik kertas dengan tulisan atas nama Khalifah. Mereka kembali melakukan perjalanan panjang pulang ke Samarkand dan menyerahkan surat tersebut kepada hakim Samarkand sepeninggal Qutaibah yang melanjutkan misi jihadnya ke arah timur. Membaca surat dari Khalifah Umar bin Abdul Aziz, hakim langsung memerintahkan utusan untuk membawa Qutaibah kembali ke Samarkand. Selang beberapa waktu kemudian sampailah Qutaibah beserta pasukannya. Pengadilan pun dimulai dan tidak sampai lima menit kemudian keputusan dicapai. Ya, itulah peradilan Islam. Sangat jelas, efektif dan efisien. Tidak bertele-tele seperti zaman sekarang. Secara garis besar hanya terjadi beberapa percakapan sebagai berikut. Pertama, hakim mempersilahkan penggugat untuk menyampaikan gugatannya:
Pendeta: Wahai hakim, sesungguhnya komandan kaum muslimin Qutaibah bin Muslim telah masuk ke negeri kami tanpa memberi kami tawaran yang berlaku atas kami, sebagaiman setiap negeri diberi peringatan terlebih dahulu untuk tunduk pada Islam, membayar Jizyah, atau berperang. Akan tetapi kali ini mereka tidak menawarkan kepada kami.
Hakim: Wahai Qutaibah, apakah yang mereka dakwahkan kepadamu benar adanya?
Qutaibah bin Muslim: Semoga Allah memperbaiki urusan qadhi. Perang itu tentang strategi (khid’ah). Samarkand adalah negeri kuat yang telah menjadi penghalang pembebasan (futuhat). Aku tahu, jika kami saling berperang, darah akan mengalir seperti derasnya air sungai. Kemudian Allah menunjukiku pada strategi ini. Dengan penyergapan ini kami telah menjaga darah kaum Muslimin dan juga darah musuh kami. Ya, kami telah menyergap mereka secara tiba-tiba. Kami telah menyelamatkan mereka dan mengenalkan mereka kepada Islam.
Hakim: Wahai Qutaibah, apakah Anda telah mengajak mereka terlebih dahulu kepada Islam, membayar jizyah atau berperang?
Qutaibah bin Muslim: Tidak, tapi kami langsung menyergap mereka karena bahaya mereka sebagaimana yang telah aku sampaikan pada Anda.
Hakim: Wahai Qutaibah, Anda telah mengiyakan apa yang didakwakan maka selesailah persidangan ini. Maka aku putuskan, dalam waktu tiga hari, engkau harus segera perintahkan seluruh tentara kaum Muslim untuk keluar dari Samarkand dengan ringan sebagaimana saat kalian memasukinya. Dan menyerahkan kembali Samarkand kepada warganya dan memberi kesempatan kepada mereka untuk melakukan persiapan perang. Hal itu sebagai bentuk pelaksanaan dari hukum Allah dan sunnah Rasul-Nya.
Setelah pengadilan selesai, maka dalam tiga hari ribuan pasukan muslim ditarik hingga tidak tersisa satu pun di dalam kota Samarkand. Para penduduk terheran-heran dengan seakan tidak percaya menyaksikan ketaatan kaum muslimin terhadap pemimpinnya. Pengadilan yang dilakukan benar-benar lugas dan adil, menunjukkan kesempurnaan dari agama yang mereka peluk. Maka beramai-ramailah penduduk Samarkand masuk Islam dengan menyebut kalimat Syahadat mengiringi kepergian pasukan Qutaibah dari Samarkand.
Itulah penerapan Islam yang Islam yang sangat mengagumkan. Non-Muslim melihat dengan mata kepala sendiri, bagaimana keagungan dan keadilan ajaran Islam. Akhirnya mereka masuk Islam dengan berbondong-bondong (afwajan). Tanpa ada paksaan sedikit pun. Hingga detik ini, anak cucu mereka tetap memluk Islam, dan istiqomah dalam Islam meskipun beberapa waktu yang lalu mereka didzalimi oleh para penguasa tiran Sosialisme dan saat ini mereka didzalimi oleh penguasa diktator Karimov.
*****
Itulah penjelasan tentang jihad dalam Islam.
Jihad adalah bagian dari ajaran Islam. Secara syar’i jihad bermakna perang dan secara bahasa bermakna sungguh-sungguh.
Terdapat dua jenis jihad, yaitu jihad ofensif dan defensif. Jihad defensif dilakukan saat Umat Islam di serang. Jihad ofensif dilakukan saat dakwah dihalang-halangi oleh kekuatan fisik. Jihad defensif bisa jalan tanpa Khalifah, tetapi jihad ofensif hanya bisa jalan dengan komando dari Khalifah.
Jihad tidak boleh dilakukan dengan sembarangan. Jihad bukan sekedar perang. Jihad bukan pelampiasan nafsu untuk membunuh dan menghancurkan. Jihad harus dilaksanakan sesuai dengan syariah Allah yang agung. Wallahu a’lam. [Ust. Choirul Anam] [www.visimuslim.com]
Posting Komentar untuk "Jihad dan Mekanismenya Dalam Islam"