Dulu Boediono Persoalkan Suara Azan, Kini JK Larang Kaset Mengaji
JK (Foto : Merdeka.Com) |
Polemik seputar suara yang keluar dari pengeras suara di masjid-masjid kembali terjadi. Kali ini, Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) yang juga Ketua Dewan Masjid Indonesia berencana melarang pemutaran kaset mengaji Alquran di masjid-masjid.
Bahkan, menurut JK larangan tersebut sudah dirumuskan di Dewan Masjid.
"Kita sudah buat rumusan di Dewan Masjid, mengaji tidak boleh pakai kaset," kata JK saat membuka ijtima' ulama Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Pondok Pesantren At-Tauhidiyyah Cikura Tegal Jawa Tengah, seperti dilansir Antara, Senin (8/6).
JK lantas teringat saat berada di kampung halaman di Sulawesi Selatan. Tiap pukul 04.00 WITA sudah dibangunkan suara pengajian dari empat masjid. Namun suara pengajian tersebut berasal dari kaset, bukan langsung dari qori atau qoriah.
"Pertanyaannya kalau yang mengaji kaset apakah mengaji dapat pahala? Kita jadi terganggu, terjadi polusi suara," katanya.
Menurutnya, di Indonesia masjid dibangun berdekatan karena mayoritas penduduk bergama Muslim. Jelang subuh, setiap masjid memutar kaset pengajian dan suaranya saling bersahutan.
"Jadi jangan bangunkan orang satu jam sebelumnya. Kalau tidak jadi polusi udara. Mudah-mudahan bisa dibicarakan apakah kaset itu ada pahala atau tidak," katanya.
JK mencontohkan di Turki, agar suara adzan terdengar jelas, panggilan salat dilakukan bergantian tidak bersamaan.
"Ini hal penting menurut saya yang kelihatannya sepele, tapi harus diselesaikan bersama," ujar JK.
Pada 2012, Wapres Boediono juga pernah mempersoalkan soal pengeras suara azan dari masjid. Boediono meminta agar pengeras suara di masjid-masjid dapat diatur dan disesuaikan.
"Dewan Masjid Indonesia kiranya juga dapat mulai membahas, umpamanya, tentang pengaturan penggunaan pengeras suara di masjid-masjid. Kita semua sangat memahami bahwa azan adalah panggilan suci bagi umat Islam untuk melaksanakan kewajiban salatnya. Namun demikian, apa yang saya rasakan barangkali juga dirasakan oleh orang lain," kata Boediono dalam sambutannya membuka acara Muktamar VI Dewan Masjid Indonesia (DMI) di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta, Jumat (27/4).
"Suara azan yang terdengar sayup-sayup dari jauh terasa lebih merasuk ke sanubari kita dibanding suara yang terlalu keras, menyentak, dan terlalu dekat ke telinga kita," tambahnya.
Boediono juga berpesan agar masjid dimanfaatkan tidak hanya sebagai sarana ibadah, tapi juga dapat dijadikan sarana pendidikan, baik pendidikan Alquran maupun pendidikan dasar formal seperti TK, SD, dan SMP.
Wapres Boediono pun berharap agar umat Islam menjaga masjid agar tidak dimasuki paham-paham radikal. Apalagi sampai terpengaruh ajakan terorisme.
Saat itu, pernyataan Boediono itu langsung menuai polemik. Ada yang pro tapi banyak pula yang kontra atas pendapat Boediono itu.
Lantas bagaimanakah sesungguhnya soal pengeras suara di masjid? Adakah peraturan yang mengatur soal itu?
Kementerian Agama sesungguhnya telah mengeluarkan sebuah peraturan sejak 1978. Peraturan itu tertuang dalam Instruksi Direktur Jenderal Bimas Islam Nomor KEP/D/101/1978 tentang Tuntunan Penggunaan Pengeras Suara di Masjid, Langgar dan Musala.
Dalam instruksi itu tertulis suara azan sebagai tanda masuknya salat memang harus ditinggikan.
"Dari tuntutan Nabi, suara azan sebagai tanda masuknya salat memang harus ditinggikan. Dan karena itu penggunaan pengeras suara untuknya adalah tidak dapat diperdebatkan, yang perlu diperhatikan adalah agar suara muazin tidak sumbang dan sebaliknya enak, merdu, dan syahdu," demikian tertulis dalam poin 5 Syarat-syarat Penggunaan Pengeras Suara dalam instruksi tersebut, seperti dikutip dari website bimasislam.kemenag.go.id.
Dalam instruksi itu juga disebut mereka yang menggunakan pengeras suara (muazin, pembaca Alquran, imam salat dan lain-lain) hendaknya memiliki suara yang fasih, merdu, tidak sumbang atau terlalu kecil. Hal ini untuk menghindarkan anggapan orang luar tentang tidak tertibnya suatu masjid.
Selain itu, penggunaan pengeras suara juga harus memenuhi syarat seperti tidak boleh terlalu meninggikan suara saat berdoa, zikir, dan salat (azan tidak disebut). Sebab, pelanggaran terhadap hal itu akan menimbulkan antipati.
Tak hanya itu, penggunaan pengeras suara di masjid juga harus memenuhi syarat di mana orang yang mendengar merasa dalam keadaan siap untuk mendengarnya, bukan dalam waktu tidur, istirahat, sedang beribadah atau melakukan upacara (kecuali panggilan azan). [www.visimuslim.com]
Sumber : Merdeka.Com
Posting Komentar untuk "Dulu Boediono Persoalkan Suara Azan, Kini JK Larang Kaset Mengaji"