Antara Hari Kemenangan dan Hari Kemerdekaan
Bulan Juli dan Agustus tahun ini boleh dikatakan sebagai bulan sakral bagi umat Islam. Mengapa demikian ? Sebab di dua bulan ini umat Islam berturut-turut merayakan 2 hari bersejarah sekaligus yaitu hari kemenangan 1 Syawal 1436 H dan hari kemerdekaan 17 Agustus 2015. Datangnya hari kemenangan disambut dengan penuh suka cita oleh seluruh umat Islam setelah sebulan lamanya berpuasa menahan hawa nafsu, lapar dan dahaga. Di sisi lain, hari kemerdekaan membuat umat Islam bersyukur bahwa perjuangan mereka membebaskan negeri ini dari penjajahan Belanda berbuah kenikmatan lepasnya bangsa ini dari kezholiman dan intimidasi bangsa lain. Namun di balik semua ini, terbetik sebuah pertanyaan, apakah benar bangsa ini khususnya umat Islam sudah menang dan merdeka dalam arti yang sesungguhnya ?
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, merdeka berarti bebas (dari penghambaan, penjajahan, dsb); berdiri sendiri (tidak terikat, tidak bergantung pada sesuatu yang lain). Lalu jika definisi di atas kita jadikan patokan, apakah umat Islam sudah bebas dan berdiri di atas kaki sendiri ? Umat Islam secara fisik memang sudah lepas dari penguasaan militer Belanda, namun secara pemikiran, budaya, tata nilai, aturan sampai gaya hidup seluruhnya masih membebek pada hukum positif Belanda yang saat ini bermetamorfosa menjadi penjajahan gaya baru bernama neolib, anak kandung sistem yang mempertuhankan materi alias kapitalisme. Sejatinya, umat Islam yang merdeka akan melepaskan penghambaannya terhadap hawa nafsu dan materi menuju penghambaan total kepada kepada Allah SWT termasuk dalam hal pengelolaan negara. Oleh karena itu, bangsa yang merdeka adalah bangsa yang memiliki kedaulatan utuh atas wilayah sekaligus kekayaan alamnya dan mengelolanya secara mandiri demi kesejahteraan rakyatnya.
Namun kenyataan berbicara lain. Secara de facto, bangsa ini memang pemilik wilayah dan SDA yang melimpah. Tetapi secara de jure, penguasaan dan pengelolaannya diserahkan kepada para pemodal asing atas nama investasi dan swastanisasi. Di Bengkulu saja di mana penulis berdomisili, penguasaan 80 % perusahaan tambang oleh pemodal asing menyebabkan kesenjangan sosial dan ekonomi yang berujung pada meningkatnya jumlah penduduk miskin. Bahkan provinsi ini merupakan provinsi termiskin kedua setelah Provinsi NAD. Padahal Rosulullah bersabda, ”Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api. Memperjualbelikannya adalah haram” HR Abu Dawud). Sungguh ironis, ketergantungan yang tinggi kepada asing membuat pemerintah memperpanjang izin operasi PT Freeport Indonesia di wilayah tambang Papua selama 20 tahun. Padahal keberadaan Freeport di Papua dianggap belum bisa menyejahterakan rakyat Papua. Gubernur Papua Lukas Enembe menyebut saat ini angka kemiskinan di Papua masih mencapai 31 persen dari total penduduk.
Sekalipun sudah 70 tahun merdeka, generasi muda muslim banyak yang telah melupakan jasa-jasa generasi terdahulu yang mengorbankan nyawa demi mengusir penjajah. Jangankan meneladani, mengenang jasa-jasanya pun tidak. Kehidupan hedonis barat yang serba permissif telah membius generasi muda muslim untuk tergila-gila dan mencontek habis semua yang berasal dari barat baik fun, food maupun fashion. Dengan prinsip kebebasan (disertai klaim, bukankah kita sudah merdeka ?), mereka menganggap bukan hal yang tabu lagi untuk mempertontonkan seks bebas, tawuran dan narkoba. Apalagi kebijakan terakhir Kemenkes RI tentang kampanye kondom untuk melawan wabah AIDS menjadi dalih bagi generasi muda untuk mengarusutamakan pergaulan bebas. Belum lagi gaya hidup LGBT yang sudah tidak malu-malu lagi dilakoni oleh generasi muda. Sungguh tragis, kemerdekaan yang sudah susah payah dicapai generasi pendahulunya harus tergadaikan dengan kualitas generasi sekarang yang lemah akal dan lemah moral. Lalu bagaimana generasi muda dikatakan sebagai penerus tongkat estafet kemerdekaan jika hidup mereka hanya untuk bersenang-senang dan enggan peduli dengan setumpuk persoalan bangsa ?
Makna kemerdekaan akan semakin dipertanyakan jika kita melongok kepada persoalan dunia pendidikan dan kesehatan yang menjadi hajat hidup orang banyak. Kapitalisme dalam dunia pendidikan dan kesehatan menyebabkan keduanya menjadi barang mahal yang hanya dinikmati oleh segelintir orang. Keadaan semakin diperparah dengan ulah kroni-kroni pejabat dan politisi yang memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan untuk memperkaya diri sendiri. Sementara di ranah hukum, para hakim dan jaksa seolah tak punya nyali dan tak bertaring menghadapi mafia-mafia peradilan karena semuanya dengan mudah bisa dibeli.
Inilah pseudo kemerdekaan (kemerdekaan semu) yang secara rutin hampir kita peringati setiap tahun dengan ajang perlombaan dan pendirian gapura di setiap sudut kampung. Sama halnya dengan hari kemenangan yang kerap kali kita rayakan dengan penuh sukacita, pakaian baru dan makanan serba enak. Sedangkan menurut ulama, “tidaklah hari raya itu bagi orang yang berpakaian baru, namun hari raya itu adalah bagi orang yang memiliki ketaqwaan baru.” Jadi orang-orang yang benar-benar merayakan hari kemenangan adalah orang-orang yang berhasil melalui ujian atas kesabarannya mengendalikan diri menang melawan hawa nafsu demi meraih predikat taqwa. Itupun tidak lantas membuat orang-orang ini merayakannya dengan suka cita dan kegembiraan. Mengapa ? Sebab setelah Ramadhan semua keistimewaan dan keberkahan Ramadhan kembali menghilang, setan-setan kembali dilepas dari belenggunya, pintu-pintu surga ditutup, pintu-pintu neraka dibuka kembali. Itulah sebabnya kenapa Rasulullah dan sahabatnya menangis pada saat Ramadhan pergi meninggalkan mereka. Sementara mereka bergembira dan bersuka cita ketika Ramadhan datang.
Oleh karena itu, dipenghujung bulan Syawwal tahun ini, kita patut merenung sekaligus bercermin, apakah kita sudah siap untuk menjalani bulan-bulan berikutnya dengan sukses. Sebab taqwa yang kita raih sebagai buah Ramadhan harus kita wujudkan baik dalam diri, keluarga, masyarakat dan negara agar dapat meraih kemerdekaan hakiki untuk terwujudnya umat terbaik yang membangun peradaban dunia. Dan tidaklah kemerdekaan dan kemenangan hakiki dapat kita raih kecuali dengan kembali tegaknya hukum-hukum Islam dalam naungan negara Khilafah. [Indah Kartika Sari, SP (Ketua Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia DPD I Bengkulu)] [www.visimuslim.com]
Posting Komentar untuk "Antara Hari Kemenangan dan Hari Kemerdekaan"