Hentikan Pelecehan Simbol-simbol Islam!
Dalam setengah tahun terakhir banyak terjadi kasus pelecehan simbol-simbol Islam. Ada kasus peredaran sandal merek Nike dan Glacio dengan motif hiasan lafal Allah, bahkan kaligrafi surat al-Ikhlas. Sampul al-Quran dijadikan terompet. Lembaran al-Quran dijadikan kertas petasan. Celana bermotifkan kaligrafi surat al-Ikhlas. Loyang kue bertuliskan ayat al-Quran. Azan mengiringi nyanyian Natal dalam perayaan Natal yang dihadiri oleh Presiden Jokowi. Karpet sajadah dijadikan alas penari yang menarikan tari Saman lalu dilanjutkan para penari yang menarikan tari Bali dalam sebuah acara Kemenag DKI. Yang paling akhir adalah kasus yang diungkap oleh seorang netizen di akun facebook-nya pada Kamis (8/1/2016) bahwa ada sepatu merek La Koka bertuliskan kaligrafi Arab berupa penggalan QS Yusuf ayat 64: “fallâh khayrun hâfizhan”. Sepatu itu diduga dibeli di Surabaya (Hidayatullah.com, 9/1/2016).
Alasan Tak Logis
Dalam sebagian besar kasus penghinaan simbol Islam selalu muncul alasan: tidak sengaja atau tidak tahu. Alasan ini sungguh tidak logis. Sebabnya, desain motif hiasan sandal, sepatu, atau fesyen lainnya perlu proses panjang dan persetujuan untuk sampai ke proses produksi. Sama halnya dengan alasan tidak tahu. Sungguh aneh jika masih ada yang tidak tahu tulisan lafal Allah dalam huruf Arab atau tulisan al-Quran. Semua orang pun paham, sajadah tak pantas dijadikan alas menari. Jadi, alasan tidak sengaja atau tidak tahu, dalam banyak kasus pelecehan simbol Islam, jelas sulit bisa diterima nalar.
Apa yang terjadi itu jelas menunjukkan adanya ketidakpedulian dan menggampangkan masalah. Karena itu, terlepas dari apakah ada rekayasa atau terpisah satu sama lain, kasus yang terus berulang ini jelas menunjukkan adanya masalah besar.
Respon Keliru
Sering muncul sikap dan respon yang salah kaprah dan keliru. Di antaranya: menganggap enteng masalah; menganggap hanya kecelakaan, hanya oknum dan lainnya. Tak jarang, kasus yang ada malah digunakan untuk menyebarkan ide-ide “menenangkan” semisal seruan umat Islam harus sabar, umat Islam jangan terlalu fanatik, umat Islam harus memperluas toleransi dan sebagainya.
Penanganan kasus juga hampir tidak pernah tuntas. Tidak ada pula hukuman yang bisa membuat efek jera. Sekadar contoh, dalam kasus sandal bertuliskan lafal Allah, produsennya PT Pradipta Perkasa Makmur berjanji akan menghentikan produksi; sisa sandal yang belum dipasarkan akan dimusnahkan; sandal yang sudah terlanjur beredar di pasaran dan yang sampai ke tangan konsumen akan ditarik; dan Perusahaan akan menggantinya dengan desain sandal yang baru. Pemiliknya, Low Hwa, seorang warga keturunan Cina, juga meminta maaf kepada seluruh umat Islam. Setelah itu, meski dikatakan proses hukumnya akan terus berlanjut, hingga kini tidak jelas bagaimana kesudahannya.
Akibat Faktor Individu dan Sistem
Menurut Syaikh Muhammad bin Said al-Qahthani, setidaknya ada enam faktor seseorang terjerumus melakukan pelecehan agama. Pertama, benci dan dengki terhadap kandungan nilai-nilai agama. Kedua, celaan atau balas dendam terhadap pelaku kebaikan. Ketiga, bercanda yang berlebihan dan ingin menertawakan orang lain. Keempat, sombong dan merendahkan orang lain. Kelima, taklid buta terhadap musuh-musuh Allah SWT. Keenam, cinta harta yang berlebihan sehingga dia akan mencarinya dengan cara apapun (Al-Qahthani, Al-Istihzâ’ bi ad-dîn wa Ahluhu).
Selain keenam latar belakang individual itu, maraknya pelecehan terhadap simbol-simbol Islam juga banyak dipengaruhi oleh faktor sistem. Selama ini sistem hukum yang ada tidak memiliki ketegasan. Sanksi hukum tidak membuat jera pelaku pelecehan sekaligus gagal mencegah pihak lain untuk melakukan hal yang sama. Akibatnya, tak sedikit kasus pelecehan ini menguap begitu saja. Kasus sandal Nike, sandal Glacio, terompet sampul al-Quran, petasan dari lembaran al-Quran, loyang bertuliskan ayat al-Quran, celana bermotif kaligrafi surat al-Ikhlas, dan kasus lainnya, proses hukumnya tak jelas dan apalagi sanksinya. Beberapa tahun sebelumnya, kasus takbir “Allahu Akbar” yang diganti dengan “anjinghu akbar”, ungkapan “tuhan membusuk”, “kawasan bebas tuhan” dll yang terjadi di beberapa kampus perguruan tinggi juga berlalu begitu saja. Pelafalan azan di acara peringatan Natal dan sajadah dijadikan alas menari, bukan hanya berlalu begitu saja, malah juga diopinikan sebagai toleransi, sikap moderat dan menghargai kearifan lokal.
Akar Masalahnya Sekularisme
Sekularisme yang mendoktrinkan pemisahan agama dari kehidupan dan negara dijadikan pondasi. Berlandaskan sekularisme itu agama Islam tidak boleh dijadikan dasar pengaturan negara dan masyarakat; pemimpin harus terbuka, tidak memihak satu agama dan pengaturan berbagai urusan rakyat tidak berpatokan pada Islam.
Sekularisme menjadikan individu tak peduli dan meremehkan hal-hal berbau agama. sekularisme membuat orang menganggap enteng simbol-simbol agama, bahkan menganggap sikap mengagungkan simbol-simbol agama sebagai kefanatikan.
Dengan landasan sekularisme, paham liberalisme tumbuh subur. Kebebasan disakralkan. Penghinaan terhadap simbol-simbol Islam pun lantas dibenarkan sebagai ekspresi dari kebebasan dan bagian dari HAM.
Dalam bingkai sekularisme bermunculan paham dan perilaku nyeleneh dengan mengatasnamakan toleransi, pluralisme, sinkretisme maupun Islam Nusantara. Demi toleransi azan mengiringi lagu Natal (Jpnn.com, 29/12/15). Untuk menunjukkan Islam menyatu dengan budaya Nusantara dilakukan tarian di atas karpet shalat. Aneka ragam kebatinan dianggap sebagai keragaman Islam Nusantara.
Sekularisme mengharuskan negara sekular netral dari agama; tidak boleh memihak agama apapun dan harus melindungi kebebasan. Negara sekular tidak mungkin melindungi kemuliaan agama, khususnya Islam. Kalaupun memproses hukum pelaku penghinaan simbol Islam, maka itu bukan karena negara berkewajiban melindungi kemuliaan Islam, namun justru untuk mencegah anarkisme, meredakan emosi dan kemarahan umat sekaligus melindungi kebebasan dan HAM.
Solusi Islam
Simbol-simbol Islam akan terus mengalami penghinaan selama sekularisme terus dijalankan. Sebabnya, sekularisme yang menjadi akar masalahnya. Karena itu mencampakkan sekularisme beserta ide-ide turunannya harus dilakukan. Ini seperti ketika Saad bin Abi Waqash bertanya kepada Umar ra. tentang apa yang harus diperbuat dengan buku-buku Persia yang di antaranya memuat ajaran dan filsafat Persia. Umar ra. berkata:
أُطْرَحُوْهَا فِي الْمَاءِ، فَإِنْ يَكُنْ مَا فِيْهَا هُدَى فَقَدْ هَدَانَا اللهُ بِأَهْدَى مِنْهُ، وَإِنْ يَكُنْ ضَلاَلاً فَقَدْ كَفَانَا اللهُ
Buang saja buku-buku itu ke air (sungai/laut). Jika di dalamnya ada petunjuk maka sungguh Allah telah menunjuki kita dengan yang lebih baik dari itu (yakni Islam). Jika di dalamnya terdapat kesesatan maka sungguh Allah telah mencukupi kita (Târîkh Ibnu Khaldun, I/631).
Dalam Islam negara harus dibangun di atas landasan akidah Islam. Dalam Islam, negara wajib melindungi kemuliaan Islam. Dalam Islam, negara juga wajib membina keimanan dan ketakwaan individu rakyat. Dengan ketakwaan itulah, secara faktor individu, penghinaan terhadap Islam tak akan terjadi karena ketakwaan akan melahirkan sikap menganggungkan Islam. Allah SWT berfirman:
)ذَٰلِكَ وَمَن يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِن تَقْوَى الْقُلُوبِ(
Demikianlah (perintah Allah). Siapa saja yang mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati (TQS al-Hajj [22]: 32).
Negara juga wajib mendidik rakyat bahwa pelecehan terhadap Islam, ajaran dan simbol-simbolnya merupakan dosa besar, bahkan bisa menyebabkan pelakunya kafir keluar dari Islam. Rakyat harus dipahamkan bahwa sanksi hukuman atas pelecehan terhadap Islam itu juga sangat berat.
Tidak ada perbedaan pendapat di antara ulama bahwa hukuman bagi penghina Islam adalah hukuman mati jika dia tidak mau bertobat. Jika dia bertobat maka gugurlah hukuman mati dari dia, hanya saja negara tetap memberikan ‘pelajaran’ kepada dia sesuai dengan ketetapan khalifah, dengan memperhatikan tingkat penghinaannya. As-Shaidalani (w. 427H), ulama dari kalangan Syafiiyyah, menyatakan bahwa pencaci Allah dan Rasul-Nya, jika bertobat, tobatnya diterima, tidak dihukum mati; namun tetap diberi ‘pelajaran’ dengan dicambuk 80 kali (Mughni al-Muhtâj, 5/438). Hukuman yang tegas itu akan bisa memberi efek jera. Pelakunya tidak akan mengulanginya lagi dan orang lain akan tercegah dari melakukan penghinaan terhadap Islam.
Wahai Kaum muslim:
Negara yang tidak berlandaskan Islam, termasuk berlandaskan sekularime, tidak akan dan tidak bisa diharapkan untuk melindungi kemuliaan Islam. Hanya negara yang berlandaskan Islam yang akan melindungi Islam. Karena itu hanya dengan mengambil serta menerapkan Islam secara menyeluruh sajalah kita akan meraih kemuliaan dan bisa melindungi kemuliaan Islam. Hal itu hanya dilakukan dengan cara menerapkan syariah Islam secara total dan menyeluruh di bawah sistem Khilafah Rasyidah ‘ala minhaj an-nubuwwah. WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Al-Islam edisi 789, 4 Rabiul Akhir 1437 H – 15 Januari 2016 M] [VM]
Posting Komentar untuk "Hentikan Pelecehan Simbol-simbol Islam!"