MEA Bencana Bagi Indonesia


Sudah bukan hal yang aneh, saat kita ke pasar, menemukan beragam produk luar negeri, terutama Made in China, yang seolah sudah menjadi nafas pasar di Indonesia. Betapa tidak, barang-barang produk China begitu melimpah ruah memenuhi pasar-pasar. Mulai dari barang-barang kecil seperti peniti, jarum, gunting, hingga ke barang besar seperti ponsel dan motor.

Bukan hanya dari China saja, barang-barang hasil impor di Indonesia pun datang dari berbagai negara lain, khususnya negara-negara ASEAN. Lantas, mengapa hal ini terjadi? Apakah Indonesia tidak sanggup memproduksi sekedar jarum atau peniti? Apakah rakyat Indonesia tidak sanggup menghasilkan ponsel atau sepeda motor?

Dengan sumber daya manusia banyak, serta kualitas yang mumpuni, tentu saja Indonesia seharusnya mampu menjadi negara mandiri, yang bisa melahirkan beragam produk barang. Di tambah dengan kekayaan sumber daya alam yang melimpah ruah, Indonesia bahkan bisa jadi negara yang maju dan terdepan.

Hanya saja, semua harapan itu akan sirna, ketika Indonesia harus dihadapkan pada kenyataan, bahwa negara ini telah terjerat oleh berbagai turunan sistem kapitalis. Sistem kapitalis telah melahirkan berbagai kebijakan liberal yang pada akhirnya hanya menguntungkan pihak yang paling besar modalnya.

Untuk kasus barang-barang milik negara ASEAN yang menjarah negara ini saja, ternyata lahir dari beragam kesepakatan yang telah dilakukan oleh Indonesia dengan negara-negara ASEAN. Mulai dari ACFTA (ASEAN - China Free Trade Area), AJCEP (ASEAN - Japan Comprehensive Economic Partnership Agreement), AKFTA (ASEAN - Korean Free Trade Area ), AITIG (ASEAN - India Trade in Goods Agreement ), dan AANZFTA (ASEAN -Australia - New Zealand Free Trade Area).

Yang terbaru adalah MEA. Apa itu MEA? MEA adalah bentuk integrasi ekonomi ASEAN dalam artian adanya system perdagangan bebas antara Negara-negara ASEAN. MEA akan mengarahkan ASEAN memiliki 4 karakteristik utama, yakni (a) sebagai pasar tunggal dan basis produksi, (b) sebagai kawasan ekonomi yang berdaya saing tinggi, (c) sebagai kawasan dengan pembangunan ekonomi yang merata, dan d) sebagai kawasan yang terintegrasi penuh dengan ekonomi global. Karakteristik-karakteristik tersebut memiliki kaitan erat dan saling memperkuat satu sama lainnya.

Dalam pasar bebas semua pihak diberikan kebebasan untuk melakukan persaingan. Tidak ada pembatasan apapun, siapa yang ingin bersaing dipersilakan untuk masuk ke pasar tersebut. Ibarat bermain tinju, semuanya bisa masuk ke ring tinju tanpa memperhatikan kelas-kelasnya, apakah kelas berat, kelas ringan ataupun kelas terbang. Semua dipersilakan bermain dan bertanding secara langsung. Maka sangat bisa ditebak, siapa yang kuat dialah yang akan memenangkan pertandingan. Contoh lain adalah jika di sebuah kampung ada 100 toko kelontong yang kecil-kecil kemudian tiba-tiba dibangun sebuah mall. Maka seiring dengan berjalannya waktu, mau-tidak mau, toko-toko kelontong tersebut satu persatu akan gulung tikar.

Demikian pula sebenarnya yang terjadi dalam pasar bebas nantinya. Perusahaan-perusahaan kelas gajah milik asing akan ikut bermain dan bersaing bersama dengan perusahaan-perusahaan kelas pelanduk milik masyarakat bawah. Bisa ditebak, sesuai dengan pepatah jika dua gajah bertarung maka pelanduk mati di tengah-tengah. Artinya, fenomena persaingan di pasar bebas hanya berlaku untuk perusahaan raksasa di tingkat nasional dan internasional saja. Bukan persaingan bebas untuk rakyat semuanya yang hanya memiliki perusahaan di kelas “gurem”.

Logika ini sangat jelas terlihat dalam fakta ketika ACFTA diterapkan beberapa tahun yang lalu. Menteri Perindustrian MS Hidayat pernah mengungkapkan indikasi kerugian implementasi ACFTA antara lain menurunnya produksi (industri) sekitar 25-50 persen, penurunan penjualan di pasar domestik 10-25 persen, dan penurunan keuntungan 10-25 persen. Selain itu juga pengurangan tenaga kerja 10-25 persen.

Berdasarkan data dari Institute for Global Justice (IGJ), penerapan ACFTA sejak 2005 telah menimbulkan berbagai persoalan perdagangan dan industri. Selama periode 2005-2010, total impor dari China meningkat sebesar 226,32 persen. Komposisinya mencapai 20,32 persen dari total impor Indonesia. Data tersebut menunjukkan sepanjang 2006-2008 tercatat 1.650 industri bangkrut karena tidak sanggup bersaing dengan membanjirnya produk China di pasar dalam negeri. Akibatnya, sebanyak 140.584 tenaga kerja terpaksa kehilangan pekerjaan karena perusahaan gulung tikar (bisnis-jabar.com).

Dari paparan di atas, pada hakikatnya MEA sama sekali tidak akan pernah mewujudkan kesejahteraan. Sebaliknya, sebagaimana yang terjadi akibat kesepakatan ACFTA, rakyat Indonesia akan semakin dirugikan.

MEA secara garis besarnya akan merusak tatanan ekonomi negara. Aset-aset penting akan semakin mudah dikuasai oleh investor asing. Barang-barang impor menggusur produk lokal. Nilai tukar rupiah pun naik-turun.

MEA juga akan mengancam sektor pertanian. Sebab, daya saing sektor ini masih rendah. Dukungan pemerintah terus dikurangi seperti mencabut dan mengurangi berbagai subsidi pertanian. Akibatnya, banyak petani yang tidak mau lagi bertani. Deputi Bidang Statistik Distribusi Barang dan Jasa Badan Pusat Statistik (BPS) Sasmito Hadi Wibowo, mengungkapkan penurunan produksi padi tahun 2014 terjadi di Pulau Jawa sebesar 0,83 juta ton (kabarbisnis.com). Penurunan produksi ini diperparah dengan wacana presiden Jokowi yang akan menghapus subsidi pupuk tahun 2015, sebagaimana diungkapkan oleh Aviliani, Sekretaris Umum ISEI (Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia),‎‎ setelah mengadakan pertemuan pada bulan Januari 2015, dengan Presiden Jokowi di Kantor Presiden, Jakarta (finance.detik.com). Hal ini tidak aneh, sebab pasca reformasi 1998, sejak Indonesia tunduk kepada IMF, subsidi di bidang pertanian dikurangi, pembangunan pertanian melambat, liberalisasi pasar diberlakukan dan peran Bulog dikebiri.

Pemberlakuan pasar bebas juga akan menyebabkan komersialisasi sektor publik, misalnya sektor pendidikan dan kesehatan. Ditambah, arus investasi dan jasa termasuk bidang kesehatan dan pendidikan tersebut makin deras membanjiri. Para investor ASEAN akan mudah mendirikan rumah sakit dan sekolah berkelas Internasional. Pada akhirnya, pendidikan kian tak terjangkau, kesehatan semakin mahal. Pemerintah bertambah abai, rakyat terus jadi korban. 

Ancaman lain yang tak kalah berbahaya, yaitu kehancuran sendi kehidupan keluarga. Saat beban hidup makin berat, lowongan kerja untuk laki-laki semakin sulit, maka setiap laki-laki ‘terpaksa’ akan menggadaikan tanggung jawabnya sebagai pencari nafkah keluarga, kemudian bergeser kepada perempuan yang lebih ‘bisa bersaing’ di dunia kerja, termasuk untuk menjadi TKW di luar negeri. Akibatnya, pasti bisa ditebak, yakni runtuhnya sendi-sendi rumah tangga.

Pandangan dalam Islam

MEA sejatinya adalah liberalisasi ekonomi, yang menyingkirkan peran dan tanggung jawab pemerintah pada sektor ekonomi dan pengurusan rakyat. Sebab, semuanya diserahkan kepada individu dan mekanisme pasar. Padahal itu jelas menyalahi Islam. Ajaran Islam menggariskan pemerintah wajib bertanggung jawab terhadap seluruh urusan rakyatnya. Rasul saw. bersabda: ”Pemimpin (kepala negara) adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas pengurusan mereka” (HR muslim).

liberalisasi pasar dalam wujud MEA ini mengharuskan minimalisasi peran negara mengatur perdagangan dan investasi luar negeri. Hal ini jelas menyalahi Islam. Dalam Islam, perdagangan luar negeri merupakan hubungan antarnegara dan itu ada dalam tanggung jawab negara. Dalam Islam negara memiliki kewenangan mengatur berbagai hubungan dan interaksi dengan negara lain, termasuk hubungan rakyatnya dengan rakyat negara lain baik dalam bidang ekonomi, perdagangan atau lainnya. Karena itu perdagangan luar negeri tidak dibiarkan bebas tanpa kontrol negara.

Selain itu, liberalisasi telah dijadikan sarana efektif bagi penjajahan oleh pihak asing dan perusahaan multinasional. Ini jelas haram. Allah SWT berfirman (artinya): “Allah sekali-kali tidak akan memberikan jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan kaum Mukmin” (TQS an-Nisa’ [4]: 141).

Liberalisasi ekonomi termasuk MEA membawa potensi ancaman dan bahaya yang besar. Dari sisi ini juga haram. Sebabnya, Nabi saw. bersabda (artinya): “Tidak boleh membahayakan orang lain dan diri sendiri di dalam Islam” (HR Ibn Majah).

Oleh karena itu seharusnya sebagai seorang Muslim, tidak boleh bersepakat dalam sesuatu yang dinyatakan keharamannya oleh syariat Islam. Perjanjian yang telah dilakukan dalam MEA, harus ditolak. Kalau sudah terjadi, maka tentu harus dibatalkan. Hanya saja, apakah mungkin pemerintah saat ini berani mengambil sikap seperti itu? Jawabannya bisa ditebak, tentu penguasa yang hanya berorientasi sekular-libelar tidak akan sanggup. Maka, hanya dengan sistem Islam dalam naungan Daulah Khilafah-lah, akan lahir pemerintah yang mandiri, maju, terdepan dan mampu memberikan kesejahteraan. Tanpa solusi palsu seperti perjanjian MEA dan semisalnya. Wallahu a’lam. [N. Vera Khairunnisa (Muslimah Aktivis Dakwah, Tinggal di Purwakarta – Jabar)] [VM]

Posting Komentar untuk "MEA Bencana Bagi Indonesia"